Minggu, 26 Juli 2015

Pengelolaan Sumberdaya Alam



IMPLIKASI ALIH KEWENANGAN DALAM PENGELOLAAN  SUMBER DAYA ALAM  PASCA BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2014 TENTANG                     PEMERINTAHAN DAERAH*
Oleh: Iskandar**

A.      Pendahuluan

Penyelenggaraan pemerintahan daerah memasuki era baru yaitu dengan digantikannya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Lahirnya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dilatarbelakangi adanya berbagai permasalahan yang timbul dari pelaksanaan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 selama ini. Beberapa permasalahan yang terjadi diantaranya lemahnya fungsi gubernur dan pemerintah pusat dalam melakukan pengawasan terhadap kabupaten/kota, munculnya raja-raja kecil dengan arogansi kekuasaannya karena merasa memiliki basis politik yang kuat (dipilih oleh rakyat secara langsung). Dengan lemahnya pengawasan dan adanya arogansi kekuasaan, memunculkan berbagai kebijakan yang cenderung melanggar hukum dan melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB).[1] Kondisi ini terlihat dari fakta yang ada yaitu tidak sedikit para kepala daerah terjerat dalam berbagai kasus tindak pidana korupsi dan pelanggaran hukum lainnya.
Pelanggaran hukum dan AUPB yang sering terjadi terutama terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam, khususnya pada sektor kehutanan dan perkebunan,[2] pertambangan,[3] dan sektor kelautan dan perikanan. Kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yang bersifat eksploitatif, dengan dalih untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD), justru menimbulkan permasalahan bagi lingkungan hidup.  Dampak negatif dari kebijakan yang melanggar hukum dan AUPB menyebabkan terjadinya berbagai pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup dan musnahnya berbagai sumberdaya alam dan potensi sumberdaya alam yang seharusnya dapat dimanfaatkan dan dikembangkan secara berkelanjutan.[4]
Atas dasar fakta tersebut di atas, melalui Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, beberapa urusan pemerintahan pada sektor sumberdaya alam, yang semula merupakan kewenangan pemerintah kabupaten/kota “ditarik” dan “dialihkan” menjadi kewenangan pemerintah provinsi dan pusat. Pengalihan ini dimaksudkan agar penyelenggaraan urusan pemerintahan pada sektor dimaksud jauh lebih bersih, akuntabel, efektif-efisien, dan mampu memberikan jaminan bagi upaya pelestarian fungsi lingkungan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Pertanyaannya, apakah maksud pengalihan kewenangan tersebut dapat terwujud, karena masih banyak faktor dan variabel lain yang juga ikut menentukan atau menjadi menyebab, misalnya sistem pemilukada yang masih sarat dengan kecurangan dan politik uang, sehingga ada kecenderungan, kepala daerah terpilih tentunya akan berusaha mengembalikan semua biaya politik yang dikeluarkan melalui berbagai kebijakan, faktor mentalitas para penyelenggara negara, sistem pengawasan yang hanya bersifat hirarkhis (vertikal) artinya tidak ada atau masih kurangnya partisipasi masyarakat dalam pengawasan (horizontal), dan sebagainya. Bila demikian, berarti alih kewenangan dimaksud belum tentu dapat menjadi solusi dari berbagai persoalan di atas.
Bagaimana apabila setelah kewenangan terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam tersebut dialihkan menjadi urusan provinsi dan pusat, ternyata pengelolaan lingkungan hidup dan sumberdaya alam tidak menjadi lebih baik dan bahkan rakyat semakin tidak merasakan keadilan dan kesejahteraan dari pemanfaatan sumberdaya alam tersebut?, sebagaimana amanat Sila ke-5 dari Pancasila, Alinea ke-4 Pembukaan dan Pasal 33 UUD NKRI tahun 1945.  Apakah lalu kemudian kewenangan tersebut akan dikembalikan lagi pada kabupaten/kota?, atau urusan pemerintahan tersebut tidak perlu didesentralisasikan, dan menjadi urusan pusat melalui skema sentralisasi dan atau dekonsentrasi dan atau tugas pembantuan?, seperti pada saat berlakunya undang-undang tentang pemerintahan daerah sebelumnya.
Persoalan dampak negatif yang timbul berupa pencemaran/kerusakan lingkungan dan sumberdaya alam, perbuatan melanggar hukum dan pelanggaran AUPB oleh aparatur (melakukan kolusi, korupsi dan nepotisme) dalam pengelolaan sumberdaya alam, bukan disebabkan oleh diberikannya kewenangan pada suatu wilayah (kabupaten/kota), melainkan tergantung pada bagaimana mentalitas dan kualitas para penyelenggara urusan pemerintahan tersebut. Bila mentalitas dan kualitas para penyelenggaranya tidak baik, semakin besar kekuasaan dan kewenangan yang diberikan kepadanya, maka akan semakin besar pula peluang dan kesempatannya untuk melakukan penyimpangan.[5]
Pada acara seminar ini, sesuai dengan surat permintaan dari penyelenggara (WALHI-Bengkulu), yang mengangkat tema: “Mendorong Efisiensi Pemberlakuan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang pemerintahan Daerah Terhadap Perbaikan dan Penataan Izin Pertambangan dan Perkebunan di Provinsi Bengkulu.” Menurut penyaji, mungkin lebih tepat “mendorong efektivitas” bukan “mendorong efisiensi”. Oleh karena itu, pada tulisan  singkat ini, penyaji hanya menelaah beberapa implikasi yang mungkin terjadi dari pemberlakuan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang pemerintahan Daerah. Tema sentral yang diangkat dalam tulisan ini, yaitu Implikasi Alih Kewenangan Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Pasca Berlakunya Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, dengan membahas dua isu hukum yaitu bagaimana pengaturan dan pembagian urusan pemerintahan dan apa implikasi dari alih kewenangan dalam pengelolaan sumberdaya alam, khususnya pada sektor kehutanan, pertambangan, kelautan dan perikanan. Telaah atau kajian bersifat yuridis normatif[6], yaitu dengan mengkaji bahan hukum. Analisis bahan hukum dilakukan secara yuridis kualitatif  dengan berdasarkan ketentuan peraturan-perundang-undangan dan asas-asas hukum. Hasil analisis dideskripsikan dan ditarik kesimpulan sebagai jawaban atas isu hukum yang diangkat.

B.       Hasil Kajian dan Pembahasan

1. Pengaturan dan Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Sumberdaya Alam
Sebagaimana diamanatkan oleh UUD-NKRI Tahun 1945, terdapat urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat yang dikenal dengan istilah urusan pemerintahan absolut dan ada urusan pemerintahan konkuren. Urusan pemerintahan konkuren terdiri atas urusan pemerintahan wajib dan urusan pemerintahan pilihan yang dibagi antara pemerintah pusat, daerah provinsi, dan daerah kabupaten/kota. Urusan pemerintahan wajib dibagi dalam urusan pemerintahan wajib yang terkait pelayanan dasar dan urusan pemerintahan wajib yang tidak terkait pelayanan dasar. Untuk urusan pemerintahan wajib yang terkait Pelayanan Dasar ditentukan Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk menjamin hak-hak konstitusional masyarakat.
Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Daerah provinsi dengan Daerah kabupaten/kota walaupun urusan pemerintahan sama, perbedaannya akan nampak dari skala atau ruang lingkup urusan pemerintahan tersebut. Walaupun Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota mempunyai urusan pemerintahan masing-masing yang sifatnya tidak hierarki, namun tetap akan terdapat hubungan antara pemerintah pusat, daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota dalam pelaksanaannya dengan mengacu pada Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) yang dibuat oleh Pemerintah Pusat. Prinsip pembagian urusan pemerintahan konkuren yaitu akuntabilitas, efisiensi, eksternalitas dan strategis nasional.
Berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, klasifikasi urusan pemerintahan, sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) Urusan Pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum. Pada Ayat (2), disebutkan bahwa Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Ayat (3) Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota.
Urusan Pemerintahan Konkuren yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1) bahwa urusan pemerintahan konkuren sebagaimana di maksud dalam Pasal 9 ayat (3) yang menjadi kewenangan Daerah terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan. Ayat (2) menyebutkan bahwa Urusan Pemerintahan Wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas Urusan Pemerintahan yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar. Pada ayat (3) bahwa Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Urusan Pemerintahan Wajib yang sebagian substansinya merupakan Pelayanan Dasar.
Pada Pasal 12 ayat (2) disebutkan bahwa Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2); Ayat (3) menyebutkan bahwa Urusan Pemerintahan Pilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) meliputi: a. kelautan dan perikanan; b. pariwisata; c. pertanian; d. kehutanan; e. energi dan sumber daya mineral; f. perdagangan; g. perindustrian; dan h. transmigrasi. Dalam Pasal 13 ayat (1) disebutkan bahwa Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi serta Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) didasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional. Pada Ayat (3) dinyatakan bahwa Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kriteria Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi adalah: a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah kabupaten/kota; b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah kabupaten/kota; c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas Daerah kabupaten/kota; dan/atau d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh Daerah Provinsi. Ayat (4) menyatakan bahwa Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kriteria Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota adalah: a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya dalam Daerah kabupaten/kota; b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya dalam Daerah kabupaten/kota; c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya hanya dalam Daerah kabupaten/kota; dan/atau d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh Daerah kabupaten/kota.
Pada Pasal 14 ayat (1) disebutkan bahwa Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan sumber daya mineral dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi. Ayat (2) bahwa Urusan Pemerintahan bidang kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan pengelolaan taman hutan raya kabupaten/kota menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota. Sedangkan pada ayat (5) dinyatakan bahwa Daerah kabupaten/kota penghasil dan bukan penghasil mendapatkan bagi hasil dari penyelenggaraan Urusan Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Ayat (6) bahwa Penentuan Daerah kabupaten/kota penghasil untuk penghitungan bagi hasil kelautan adalah hasil kelautan yang berada dalam batas wilayah 4 (empat) mil diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan. Batas wilayah 4 (empat) mil dalam ketentuan ini hanya semata-mata untuk keperluan penghitungan bagi hasil kelautan, sedangkan kewenangan bidang kelautan sampai dengan 12 (dua belas) mil tetap berada pada Daerah provinsi.
Pasal 15 ayat (1) bahwa Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi serta Daerah kabupaten/kota tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari undang-undang ini. Ayat (2) bahwa Urusan pemerintahan konkuren yang tidak tercantum dalam Lampiran undang-undang ini menjadi kewenangan tiap tingkatan atau susunan pemerintahan yang penentuannya menggunakan prinsip dan criteria pembagian urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13. Ayat (3) bahwa Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan peraturan presiden. Sedangkan ayat (4) mengatur bahwa Perubahan terhadap pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak berakibat terhadap pengalihan urusan pemerintahan konkuren pada tingkatan atau susunan pemerintahan yang lain ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Ayat (5) menyatakan bahwa Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilakukan sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip dan kriteria pembagian urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
Dalam Pasal 16 ayat (1) disebutkan bahwa Pemerintah Pusat dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) berwenang untuk: a. menetapkan norma, standar, prosedur, dan criteria dalam rangka penyelenggaraan Urusan Pemerintahan; dan b. melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. Pada ayat (5) bahwa Penetapan norma, standar, prosedur, dan criteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak peraturan pemerintah mengenai pelaksanaan urusan pemerintahan konkuren diundangkan.
Pengaturan dalam Pasal 17 ayat (4) disebutkan bahwa apabila dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5) Pemerintah Pusat belum menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria, Penyelenggara Pemerintahan Daerah melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. Selanjutnya dalam Pasal 20 ayat (1) bahwa Urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan Daerah provinsi diselenggarakan: a. sendiri oleh Daerah provinsi; b. dengan cara menugasi Daerah kabupaten/kota berdasarkan asas Tugas Pembantuan; atau c. dengan cara menugasi Desa. Ayat (2) bahwa Penugasan oleh Daerah provinsi kepada Daerah kabupaten/kota berdasarkan asas Tugas Pembantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan kepada Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan dengan peraturan gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan urusan pemerintahan konkuren akan diatur dalam peraturan pemerintah (Pasal 21).
Terkait dengan kewenangan Daerah Provinsi di laut diatur dalam Pasal 27. Pada ayat (1) disebutkan bahwa Daerah provinsi diberi kewenangan untuk mengelola sumber daya alam di laut yang ada di wilayahnya. Ayat (2) Kewenangan Daerah provinsi untuk mengelola sumber daya alam di laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut di luar minyak dan gas bumi; b. pengaturan administratif; c. pengaturan tata ruang; d. ikut serta dalam memelihara keamanan di laut; dan e. ikut serta dalam mempertahankan kedaulatan negara. Ayat (3) menyebutkan bahwa Kewenangan Daerah provinsi untuk mengelola sumber daya alam di laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.
Secara lebih rinci pembagian urusan pemerintahan  tertera dalam lampiran Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari undang-undang ini yaitu sebagaimana matrik berikut:[7]

Y. PEMBAGIAN URUSAN BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN
NO
SUB URUSAN
PEMERINTAH PUSAT
DAERAH PROVINSI
DAERAH KABUPATEN/ KOTA
1
Kelautan, Pesisir, dan
Pulau-Pulau Kecil
a. Pengelolaan ruang laut di atas 12 mil dan strategis nasional.
b. Penerbitan izin pemanfaatan ruang laut nasional.
c. Penerbitan izin pemanfaatan jenis dan genetik (plasma nutfah) ikan antarnegara.
d. Penetapan jenis ikan yang dilindungi dan diatur perdagangannya secara internasional.
e. Penetapan kawasan konservasi.
f. Database pesisir dan pulau-pulau keci
a. Pengelolaan ruang laut  sampai dengan 12 mil di luar minyak dan gas bumi.
b. Penerbitan izin dan pemanfaatan ruang laut di bawah 12 mil di luar minyak dan gas bumi.
c. Pemberdayaan  masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil
-
2
Perikanan Tangkap
a. Pengelolaan penangkapan ikan di wilayah laut di atas 12 mil.
b. Estimasi stok ikan nasional dan jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan (JTB).
c. Penerbitan izin usaha perikanan tangkap untuk: a. kapal perikanan berukuran di atas 30 Gross Tonase (GT); dan b. di bawah 30 Gross Tonase (GT) yang menggunakan modal asing dan/atau tenaga kerja asing.
d. Penetapan lokasi pembangunan dan pengelolaan pelabuhan perikanan nasional dan internasional.
e. Penerbitan izin pengadaan kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan dengan ukuran di atas 30 GT.
f. Pendaftaran kapal
a. Pengelolaan penangkapan ikan di wilayah laut sampai dengan 12 mil.
b. Penerbitan izin usaha perikanan tangkap untuk kapal perikanan berukuran di atas 5 GT sampai dengan 30 GT.
c. Penetapan lokasi pembangunan serta pengelolaan pelabuhan perikanan provinsi.
d. Penerbitan izin  pengadaan kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan dengan ukuran di atas 5 GT sampai dengan 30 GT.
e. Pendaftaran kapal perikanan di atas 5 GT sampai dengan 30 GT.
a. Pemberdayaan nelayan kecil dalam Daerah kabupaten/kota.
b. Pengelolaan dan penyelenggaraan Tempat Pelelangan Ikan  TPI).
4
Pengawasan Sumber
Daya Kelautan dan
Perikanan
Pengawasan sumber daya
kelautan dan perikanan di
atas 12 mil, strategis
nasional dan ruang laut
tertentu.
Pengawasan sumber daya
kelautan dan perikanan
sampai dengan 12 mil.
-
5
Pengolahan dan
Pemasaran
a. Standardisasi dan sertifikasi pengolahan hasil perikanan.
b. Penerbitan izin pemasukan hasil perikanan konsumsi dan nonkonsumsi ke dalam wilayah Republik Indonesia.
c. Penerbitan izin usaha pemasaran dan pengolahan hasil perikanan lintas  Daerah provinsi dan lintas negara
Penerbitan izin usaha
pemasaran dan pengolahan
hasil perikanan lintas Daerah
kabupaten/kota dalam
1 (satu) Daerah provinsi
-

BB. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEHUTANAN
NO
SUB URUSAN
PEMERINTAH PUSAT
DAERAH PROVINSI
DAERAH
KABUPATEN/ KOTA
2
Pengelolaan Hutan
a. Penyelenggaraan tata hutan.
b. Penyelenggaraan  rencana pengelolaan hutan.
c. Penyelenggaraan pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan.
d. Penyelenggaraan rehabilitasi dan  reklamasi hutan.
e. Penyelenggaraan perlindungan hutan.
f. Penyelenggaraan pengolahan dan penatausahaan hasil hutan.
g. Penyelenggaraan pengelolaan kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK).
a. Pelaksanaan tata  hutan kesatuan pengelolaan hutan kecuali pada kesatuan pengelolaan hutan konservasi (KPHK).
b. Pelaksanaan rencana pengelolaan kesatuan pengelolaan hutan kecuali pada kesatuan pengelolaan hutan konservasi  KPHK).
c. Pelaksanaan pemanfaatan hutan di kawasan hutan produksi dan hutan lindung, meliputi: 1) Pemanfaatan  kawasan hutan; 2) Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu; 3) Pemungutan hasil hutan; 4)  Pemanfaatan jasa lingkungan kecuali pemanfaatan penyimpanan dan/atau penyerapan karbon.
d. Pelaksanaan rehabilitasi di luar kawasan hutan negara.
e. Pelaksanaan perlindungan hutan di hutan lindung, dan hutan produksi.
f. Pelaksanaan  pengolahan hasil hutan bukan kayu.
g. Pelaksanaan pengolahan hasil hutan kayu dengan kapasitas produksi < 6000 m³/tahun.
h. Pelaksanaan pengelolaan KHDTK untuk kepentingan religi.
-
3
Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya
a. Penyelenggaraan pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam.
b. Penyelenggaraan konservasi tumbuhan dan satwa liar.
c. Penyelenggaraan pemanfaatan secara lestari kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam.
d. Penyelenggaraan pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar.
a. Pelaksanaan perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan secara lestari taman hutan raya (TAHURA) lintas Daerah kabupaten/kota.
b. Pelaksanaan  perlindungan tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi dan/atau tidak masuk dalam lampiran  (Appendix) CITES.
c. Pelaksanaan pengelolaan kawasan bernilai ekosistem penting dan daerah penyangga kawasan suaka alam dan kawasam pelestarian alam.
Pelaksanaan pengelolaan
TAHURA kabupaten/kota.
4
Pendidikan dan
Pelatihan, Penyuluhan
dan Pemberdayaan
Masyarakat di bidang
Kehutanan
a. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan serta pendidikan menengah kehutanan.
b. Penyelenggaraan penyuluhan kehutanan nasional.
a. Pelaksanaan penyuluhan kehutanan provinsi.
b. Pemberdayaan masyarakat di bidang kehutanan.
-
5
Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai (DAS)
Penyelenggaraan pengelolaan
DAS.
Pelaksanaan pengelolaan DAS
lintas Daerah kabupaten/kota
dan dalam Daerah
kabupaten/kota dalam
1 (satu) Daerah provinsi
-
6
Pengawasan
Kehutanan
Penyelenggaraan
pengawasan terhadap
pengurusan hutan.
-
-

CC. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL
NO
SUB URUSAN
PEMERINTAH PUSAT
DAERAH PROVINSI
DAERAH
KABUPATEN/ KOTA
1
Geologi
a. Penetapan cekungan air tanah.
b. Penetapan zona konservasi air tanah pada cekungan air tanah lintas Daerah provinsi dan lintas negara.
c. Penetapan kawasan lindung geologi dan warisan geologi (geoheritage).
d. Penetapan status dan peringatan dini bahaya gunung api.
e. Peringatan dini potensi  gerakan tanah.
f. Penetapan neraca sumber daya dan cadangan sumber daya mineral dan energy nasional.
g. Penetapan kawasan rawan bencana geologi.
a. Penetapan zona konservasi air tanah pada cekungan air tanah dalam Daerah provinsi.
b. Penerbitan izin pengeboran, izin penggalian, izin pemakaian, dan izin pengusahaan air tanah dalam Daerah provinsi.
c. Penetapan nilai perolehan air tanah dalam Daerah provinsi.
-
2
Mineral dan Batubara
a. Penetapan wilayah pertambangan sebagai bagian dari rencana tata ruang wilayah nasional, yang terdiri atas wilayah usaha pertambangan, wilayah pertambangan rakyat dan wilayah pencadangan negara serta wilayah usaha pertambangan khusus.
b. penetapan wilayah izin usaha pertambangan mineral logam dan batubara serta wilayah izin usaha pertambangan khusus.
c. Penetapan wilayah izin usaha pertambangan mineral bukan logam dan batuan lintas Daerah provinsi dan wilayah laut lebih dari 12 mil.
d. Penerbitan izin usaha pertambangan mineral logam, batubara, mineral bukan logam dan batuan pada: 1) wilayah izin usaha Pertambangan yang  berada pada wilayah lintas Daerah provinsi; 2) wilayah izin usaha pertambangan yang berbatasan langsung dengan negara lain; dan 3) wilayah laut lebih dari 12 mil;
e. Penerbitan izin usaha pertambangan dalam rangka penanaman modal asing.
f. Pemberian izin usaha pertambangan khusus mineral dan batubara.
g. Pemberian registrasi izin  usaha pertambangan dan penetapan jumlah produksi setiap Daerah provinsi untuk komiditas mineral logam dan batubara.
h. Penerbitan izin usaha pertambangan operasi produksi khusus untuk pengolahan dan pemurnian yang komoditas tambangnya yang berasal dari Daerah provinsi lain di luar lokasi fasilitas pengolahan dan pemurnian, atau impor serta dalam rangka penanaman modal asing. i. Penerbitan izin usaha jasa pertambangan dan surat keterangan terdaftar dalam rangka penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing yang kegiatan usahanya di seluruh wilayah  Indonesia.
j. Penetapan harga patokan mineral logam dan batubara.
k. Pengelolaan inspektur tambang dan pejabat pengawas pertambangan.
a. Penetapan wilayah izin usaha pertambangan mineral bukan logam dan batuan dalam 1 (satu) Daerah provinsi dan wilayah laut sampai dengan 12 mil.
b. Penerbitan izin usaha pertambangan mineral logam dan batubara dalam rangka penanaman modal dalam negeri pada wilayah izin usaha pertambangan Daerah yang berada dalam 1 (satu) Daerah provinsi termasuk wilayah laut sampai dengan 12 mil laut.
c. Penerbitan izin usaha pertambangan mineral bukan logam dan batuan dalam rangka penanaman modal dalam negeri pada wilayah izin usaha pertambangan yang berada dalam 1 (satu) Daerah provinsi termasuk wilayah laut sampai dengan 12 mil laut.
d. Penerbitan izin pertambangan rakyat untuk komoditas mineral logam, batubara, mineral bukan logam dan batuan dalam wilayah pertambangan rakyat.
e. Penerbitan izin usaha pertambangan operasi produksi khusus untuk pengolahan dan pemurnian dalam rangka penanaman modal dalam negeri yang komoditas tambangnya berasal dari 1 (satu) Daerah provinsi yang sama.
f. Penerbitan izin usaha jasa pertambangan dan surat keterangan terdaftar dalam rangka penanaman modal dalam negeri yang kegiatan usahanya dalam 1 (satu) Daerah provinsi.
g. Penetapan harga patokan mineral bukan logam dan batuan.
-
3
Minyak dan Gas Bumi
Penyelenggaraan minyak  dan gas bumi.


4
Energi Baru Terbarukan
a. Penetapan wilayah kerja panas bumi.
b. Pelelangan wilayah kerja panas bumi.
c. Penerbitan izin pemanfaatan langsung panas bumi lintas Daerah provinsi.
d. Penerbitan izin panas bumi untuk pemanfaatan tidak langsung.
e. Penetapan harga listrik dan/atau uap panas bumi.
f. Penetapan badan usaha  sebagai pengelola tenaga air untuk pembangkit listrik.
g. Penerbitan surat keterangan terdaftar usaha jasa penunjang yang  kegiatan usahanya dalam lintas Daerah provinsi.
h. Penerbitan izin usaha niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain dengan kapasitas penyediaan di atas 10.000 (sepuluh ribu) ton pertahun.
a. Penerbitan izin pemanfaatan langsung panas bumi lintas Daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) Daerah provinsi.
b. Penerbitan surat keterangan terdaftar usaha jasa penunjang yang kegiatan usahanya dalam 1 (satu) Daerah provinsi.
c. Penerbitan izin, pembinaan dan pengawasan usaha niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain dengan kapasitas penyediaan sampai dengan 10.000 (sepuluh ribu) ton per tahun.
Penerbitan izin pemanfaatan
langsung panas bumi dalam Daerah kabupaten/kota.
5
Ketenagalistrikan
a. Penetapan wilayah usaha penyediaan tenaga listrik dan izin jual beli tenaga listrik lintas negara.
b. Penerbitan izin usaha penyediaan tenaga listrik lintas Daerah provinsi, badan usaha milik negara dan penjualan tenaga listrik serta penyewaan jaringan kepada penyedia tenaga listrik lintas Daerah provinsi atau badan usaha milik negara.
c. Penerbitan izin operasi yang fasilitas instalasinya mencakup lintas Daerah provinsi atau berada di wilayah di atas 12 mil laut.
d. Penetapan tarif tenaga listrik untuk konsumen dan penerbitan izin pemanfaatan jaringan untuk telekomunikasi, multimedia, dan informatika dari pemegang izin yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
e. Persetujuan harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik, rencana usaha penyediaan tenaga listrik, penjualan kelebihan tenaga listrik dari pemegang izin yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
f. Penerbitan izin usaha jasa penunjang tenaga listrik yang dilakukan oleh badan usaha milik negara atau penanam modal asing/mayoritas sahamnya dimiliki oleh penanam modal asing.
g. Penyediaan dana untuk kelompok masyarakat tidak mampu,  pembangunan sarana penyediaan tenaga listrik belum berkembang, daerah terpencil dan perdesaan.
a. Penerbitan izin usaha penyediaan tenaga listrik non badan usaha milik negara dan penjualan tenaga listrik serta penyewaan jaringan kepada penyedia tenaga listrik dalam Daerah provinsi.
b. Penerbitan izin operasi yang fasilitas instalasinya dalam Daerah provinsi.
c. Penetapan tarif tenaga listrik untuk konsumen dan penerbitan izin pemanfaatan jaringan untuk telekomunikasi, multimedia, dan informatika dari pemegang izin yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah provinsi.
d. Persetujuan harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik, rencana usaha penyediaan tenaga listrik, penjualan kelebihan tenaga listrik dari pemegang izin yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah provinsi.
e. Penerbitan izin usaha jasa penunjang tenaga listrik bagi badan usaha dalam negeri/mayoritas sahamnya dimiliki oleh penanam modal dalam negeri.
f. Penyediaan dana untuk kelompok masyarakat tidak mampu, pembangunan sarana penyediaan tenaga listrik belum berkembang, daerah terpencil dan perdesaan.
-

2. Implikasi Alih Kewenangan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam
Secara normative, pengaturan urusan pemerintahan dimaksud sepertinya sederhana, karena hanya sekedar pengalihan kewenangan dalam pengurusan dan pengelolaannya. Namun, bila dikaji dengan cermat, alih kewenangan beberapa urusan pemerintahan pada berbagai sektor dapat dipastikan akan berimplikasi secara politik (kebijakan sentralisasi dan desentralisasi), secara yuridis (terkait dengan hak dan kewajiban, tanggungjawab dan tanggung gugat). Oleh karena itu, pada tataran implementasi undang-undang ini, kiranya perlu hati-hati dan cermat, jangan sampai tujuan untuk mendorong peningkatan efektivitas pemerintahan dalam rangka memantapkan pem­bangunan secara menyeluruh dengan menekankan pembangunan keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis SDA yang tersedia, SDM yang berkualitas, serta kemampuan iptek, sebagaimana RPJMN 2015-2019, tapi yang terjadi justru sebaliknya.
a.    Implikasi terhadap struktur kelembagaan
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, berimplikasi terhadap penyelenggaraan berbagai urusan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pengelolaan sumberdaya alam. Terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam, terutama pada sektor Kelautan dan Perikanan, Kehutanan, dan  sektor energi dan sumberdaya mineral (ESDM), implikasi tersebut bukan hanya berkait dengan kewenangan (siapa melakukan apa), tapi juga berimplikasi pada struktur organisasi/kelembagaan, personil, pendanaan, sarana dan prasarana, dokumen serta berbagai kebijakan dan keputusan terkait dengan penyelenggaraan yang telah dilakukan selama ini.
Berkenaan dengan hal ini, Pasal 404 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 menyatakan bahwa serah terima personel, pendanaan, sarana dan prasarana, serta dokumen (P3D) sebagai akibat pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat, daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota yang diatur berdasarkan undang-undang ini dilakukan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak undang-undang ini diundangkan. Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 404 di atas, siklus anggaran dalam APBN dan APBD, serta untuk menghindari stagnasi penyelenggaraan pemerintahan daerah yang berakibat terhentinya pelayanan kepada masyarakat, maka penyelenggaraan urusan pemerintahan konkuren yang bersifat pelayanan kepada masyarakat luas dan masif, yang pelaksanaannya tidak dapat ditunda dan tidak dapat dilaksanakan tanpa dukungan P3D, tetap dilaksanakan oleh tingkatan/susunan pemerintahan yang saat ini menyelenggarakan urusan pemerintahan konkuren tersebut sampai dengan diserahkannya P3D.
Kementerian Dalam Negeri, telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 120/253/Sj, tanggal 16 Januari 2015 Tentang Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Setelah Ditetapkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Surat Edaran dimaksud sebagai pedoman bagi daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah selama masa transisi sebelum diterbitkannya ketentuan pelaksanaan dari undang-undang tersebut.
Dalam Surat Edaran ini disebutkan, bahwa gubernur, bupati dan walikota diminta untuk menyelesaikan secara seksama inventarisasi P3D antar tingkatan /susunan pemerintahan sebagai akibat pengalihan urusan pemerintahan konkuren paling lambat tanggal 31 Maret 2016 dan serah terima P3D paling lambat tanggal 2 Oktober 2016. Hasil inventarisasi P3D tersebut menjadi dokumen dan dasar penyusunan RKPD, KUA/PPAS dan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD Provinsi / Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2017. Gubernur, bupati/walikota segera berkoordinasi terkait dengan pengalihan urusan pemerintahan konkuren. Melakukan koordinasi dengan kementerian/lembaga terkait yang membidangi masing-masing urusan pemerintahan dan dapat difasilitasi oleh Kementerian Dalam Negeri. Melakukan koordinasi dengan pimpinan DPRD masing-masing; dan Melaporkan pelaksanaan Surat Edaran tersebut kepada Menteri Dalam Negeri.

b.   Implikasi terhadap stakeholders dan pemangku kepentingan

1)   Potensi konflik antara Pemerintah kabupaten/kota dengan Pemerintah Provinsi/Pusat
Ditarik atau dialihkannya kewenangan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan sektor sumberdaya alam dari kabupaten/kota menjadi urusan provinsi/pusat, walaupun merupakan urusan pemerintahan konkuren yang sifatnya pilihan, dapat menjadi potensi timbulnya konflik atau paling tidak dapat terjadi disharmoni hubungan antara pemerintah kabupaten dengan pemerintah provinsi/pusat. Apalagi bila kabupaten/kota tersebut memiliki banyak potensi sumberdaya alam, dan skema bagi hasil dirasakan tidak cukup memadai, maka akan menjadi pemicu timbulnya konflik yang semakin besar.  Kondisi seperti ini yang pernah terjadi pada masa berlakunya Undang-Undang No. 5 tahun 1974. Apabila tidak hati-hati dan cermat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang secara kewilayahan berada pada wilayah kabupaten/kota, tidak memperhatikan asas keadilan dan pemerataan, maka dikhawatirkan akan timbul sentimen kedaerahan yang berlebihan dan terjadi konflik kepentingan, yang tentunya akan berdampak tidak baik bagi upaya pembangunan daerah dan pembangunan nasional.

2)   Potensi konflik antara masyarakat dan pelaku usaha dengan pemerintah Provinsi/Pusat
Pengalihan kewenangan penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang sumberdaya alam ini juga dapat memicu konflik antara masyarakat dan pelaku usaha dengan pemerintah Provinsi/Pusat. Hal ini antara lain disebabkan: bagi masyarakat, akan semakin jauhnya rentang akses informasi dan pemberian perlindungan atas pemenuhan hak-hak masyarakat terutama masyarakat yang berada di sekitar usaha, manakala berhadapan dengan suatu persoalan. Sedangkan terhadap pelaku usaha, dengan semakin jauhnya rentang kendali, semakin besar peluang para pelaku usaha untuk melakukan penyimpangan, apalagi dalam pelaksanaanya nanti instrument dan sistem pengawasan tidak dilaksanakan dengan baik. Potensi konflik antara pelaku usaha dengan pemerintah provinsi/pusat dapat juga terjadi, terkait dengan masa transisi dalam alih kewenangan, seperti halnya konflik antara PT. Pelindo Bengkulu dengan pemerintah Provinsi Bengkulu (Gubernur) pada beberapa waktu yang lalu, dimana kegiatan bongkar muat barang pada pelabuhan PT. Pelindo II Bengkulu dihentikan dan dua alat bongkar muat barang disegel oleh penyidik Subdit Tipidter Dit Reskrimsus Polda Bengkulu, dengan alasan karena kegiatan pelayanan jasa bongkar muat yang dilakukan oleh PT. Pelindo II Bengkulu tidak memiliki izin dari Pemerintah Provinsi Bengkulu, padahal PT. Pelindo II Bengkulu memiliki izin berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan No. 936 Tahun 2012 tentang Pemberian Izin Usaha Kepada PT. Pelindo II (Persero), karena sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, memang merupakan kewenangan Kementerian Perhubungan dan BUMN.[8]

c.    Implikasi terhadap peraturan sektoral dan berbagai produk hukum daerah

1)   Peraturan perundang-undangan sektoral
Berkenaan dengan alih kewenangan ini, kiranya terhadap berbagai ketentuan peraturan perundangan-undangan sektoral, perlu dilakukan penyesuaian dan penyelarasan. Undang-undang yang bersifat sektoral seperti UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Pertambangan, UU Pengelolaan Pesisir, Laut, dan Pulau-pulau Kecil, UU Perikanan, dan undang-undang sektoral terkait lainnya terutama yang mengatur dan memberikan kewenangan kepada bupati/walikota dalam penyelenggaraan urusan pemerintahannya, termasuk peraturan pelaksanaanya. Penyesuaian dan penyelarasan undang-undang sektoral ini dapat saja diperdebatkan, mana yang harus menyesuaikan, apakah UU sektoral atau UU Pemda, mana yang spesialis dan mana yang generalis. Terlebih lagi untuk melakukan perbaikan/penyesuaian agar tidak bertentangan antar undang-undang tersebut, bukanlah pekerjaan yang mudah, dan butuh waktu yang panjang.

2)   Produk hukum daerah
a.   Peraturan tingkat daerah
Berbagai peraturan di tingkat daerah baik berupa peraturan daerah dan peraturan kepala daerah kabupaten/kota, yang mengatur pengelolaan sumberdaya alam yang semula menjadi kewenangannya, harus ditinjau ulang bahkan dicabut atau dinyatakan tidak berlaku. Hal ini penting, guna mewujudkan ketertiban dan memberikan kepastian hukum. Sebaliknya bagi pemerintah provinsi dan atau pemerintah pusat perlu membuat regulasi baru sebagai dasar atau payung hukum dalam pelaksanaan apa yang menjadi kewenangannya dalam melakukan pengelolaan sumberdaya alam.
b.   Keputusan (perizinan)
Dengan telah dialihkannya kewenangan bupati/walikota dalam hal pengelolaan sumberdaya alam, khususnya sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, maka bupati/walikota tidak berwenang lagi untuk menerbitkan keputusan kepala daerah terkait dengan penetapan perizinan pengelolaan sumberdaya alam dimaksud. Sedangkan terhadap keputusan perizinan yang telah dikeluarkan, berdasarkan AUPB (asas kepercayaan, asas kepastian hukum, asas keadilan, asas kebijakan yang memberatkan tidak boleh berlaku surut) seharusnya masih dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya masa izin yang diberikan.
Namun yang menjadi persoalan manakala masa izin masih berlaku cukup lama, apakah pejabat pemberi izin masih mau melakukan pengawasan atas keputusan izin yang telah dikeluarkan. Karena berdasarkan asas hukum administrasi (contrarius actus), pejabat pemberi izin merupakan pejabat yang berwenang untuk melakukan pengawasan dan penegakan hukum atas keputusan izin yang dikeluarkan, padahal kewenangan atas urusan pemerintahan dimaksud telah dicabut/dialihkan. Hal ini yang kiranya perlu dikoordinasikan antara pemerintah provinsi/pusat dengan pemerintah kabupaten/kota.
Sedangkan untuk perizinan baru, berdasar Surat Edaran Mendagri Nomor 120/253/Sj, tanggal 16 Januari 2015 Tentang Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Setelah Ditetapkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, pada angka 3 disebutkan khusus penyelenggaraan perizinan dalam bentuk pemberian atau pencabutan izin dilaksanakan oleh susunan/tingkatan pemerintahan sesuai dengan pembagian urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 dengan mengutamakan kecepatan dan kemudahan proses pelayanan perizinan serta mempertimbangkan proses dan tahapan yang sudah dilalui. Berdasarkan surat edaran ini berarti bahwa pemerintah kabupaten/kota tidak lagi memiliki kewenangan untuk menerbitkan izin baru, karena sudah menjadi kewenangan sesuai dengan ketentuan undang-undang tentang pemerintahan daerah, padahal ketentuan peraturan pelaksanaan yang bersifat teknis sebagai dasar hukum penerbitan izin baik tingkat pusat maupun provinsi belum ada. Sehubungan dengan hal ini, untuk menghindari terjadi kekeliruan, sebaiknya dilakukan moratorium sementara bagi penerbitan perizinan baru. Demikian juga untuk pencabutan izin yang sudah ada, apakah pemerintah provinsi/pusat (gubernur/menteri terkait) memiliki kewenangan untuk mencabut keputusan izin, karena yang menerbitkannya adalah bupati/walikota?

C.  Penutup

1.   Simpulan
Bahwa urusan pemerintahan di bidang pengelolaan sumberdaya alam merupakan urusan pemerintahan konkuren yang bersifat pilihan, berpotensi untuk penyerapan tenaga kerja dan pemanfaatan lahan, serta berbasis ekosistem. Pengaturan dan pembagian urusan pemerintahan di bidang pengelolaan sumberdaya alam berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah dimaksudkan sebagai upaya agar penyelenggaraan urusan pemerintahan pada sektor dimaksud jauh lebih bersih, akuntabel, efektif-efisien, dan mampu memberikan jaminan bagi upaya pelestarian fungsi lingkungan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan.
Bahwa alih kewenangan dalam peyelenggaraan urusan pemerintahan pada sektor sumberdaya alam berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, akan berimplikasi terhadap struktur kelembagaan, stakeholders dan pemangku kepentingan, peraturan sektoral dan berbagai produk hukum daerah. Untuk itu, dalam pelaksanaan kewenangan dimaksud, perlu kehati-hatian dan kecermatan guna meminimalisir implikasi yang bersifat negatif.

2.   Saran

1)   Pemerintah harus segera menerbitkan berbagai peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, guna menghindari terjadinya potensi konflik terutama terkait dengan persoalan pelaksanaan kewenangan pusat dan daerah, dan antardaerah, khususnya terkait dengan aspek perizinan. Peraturan pelaksanaan dimaksud sekaligus akan menjadi dasar bagi pemerintah provinsi dalam membuat regulasi di tingkat daerah.
2)   Pada masa transisi saat ini yang tidak lama lagi (tanggal 31 Maret 2016), perlu segera dilakukan koordinasi terkait dengan alih kewenangan dimaksud antara Pemerintah Provinsi, DPRD, Kementerian sektoral terkait dengan pemerintah kabupaten/kota, guna mengantisipasi agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan, yang pada akhirnya akan menimbulkan polemik dan potensi konflik.


Daftar Pustaka

Iskandar, 2015,  Perizinan Usaha Pelayanan Jasa Bongkar-Muat Barang PT. Pelindo II Bengkulu, Kewenangan Gubernur, dan Penegakan Hukum (Telaah Singkat Dari Aspek Hukum Adminisitasi), artikel, Biro Hukum Setda Provinsi Bengkulu.

----------, 2014, Instrumen Ekonomi Dalam Kebijakan Lingkungan  (Kajian Pengaturan Dalam Hukum Positip dan Perspektif Pengaturan Di Daerah Sebagai Solusi Alternatif Pencegahan Kerusakan Lingkungan dan Konflik Pascatambang, Jurnal Progresif, FH-UBB., Bangka Belitung.
------------, Aktualisasi Prinsip Hukum Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup Dalam Kebijakan Perubahan Peruntukan, Fungsi, dan  Penggunaan Kawasan Hutan, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 11  No. 3, September 2011, FH UNSOED, Purwokerto.
Iskandar, et.al., 2012, Potret Hukum, Mentalitas Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Suatu Kajian dari Perspektif Konsep Etika Uber Ich Sigmund Freud dan Good Governance, Penerbit Total Media, Jakarta.
---------, et.al., Kajian Pengaturan Perizinan Usaha Perkebunan Di Provinsi Bengkulu, Laporan Penelitian, Disbun Prov. Bengkulu, 2012.
---------, et.al., Kajian Pengaturan Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara Di Provinsi Bengkulu, Laporan Penelitian, Dinas ESDM Prov. Bengkulu, 2012.
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Peraturan:
UUD NKRI tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
Surat Edaran Nomor 120/253/Sj, tanggal 16 Januari 2015 Tentang Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Setelah Ditetapkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah


·    Artikel, disampaikan pada Seminar dengan Tema: Mendorong Efisiensi Pemberlakuan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang pemerintahan Daerah Terhadap Perbaikan dan Penataan Izin Pertambangan dan Perkebunan di Provinsi Bengkulu, yang diselenggarakan oleh WALHI-Bengkulu, tanggal 11 Juni 2015, di Samudra Dwinka Hotel, Bengkulu.
**Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Bengkulu.
[1] Lihat Iskandar, Aktualisasi Prinsip Hukum Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup Dalam Kebijakan Perubahan Peruntukan, Fungsi, dan  Penggunaan Kawasan Hutan, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 11  No. 3, September 2011, FH UNSOED, Purwokerto, hlm. 513.
[2] Iskandar, et.al., 2012, Kajian Pengaturan Perizinan Usaha Perkebunan Di Provinsi Bengkulu, Laporan Penelitian, Disbun Prov. Bengkulu, hlm. 23.
[3] Iskandar,  et.al., 2012,  Kajian Pengaturan Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara Di Provinsi Bengkulu, Laporan Penelitian, Dinas ESDM Prov. Bengkulu, hlm. 15.
[4] Iskandar, 2014, Instrumen Ekonomi Dalam Kebijakan Lingkungan  (Kajian Pengaturan Dalam Hukum Positip dan Perspektif Pengaturan Di Daerah Sebagai Solusi Alternatif Pencegahan Kerusakan Lingkungan dan Konflik Pascatambang, Jurnal Progresif, FH-UBB., Bangka Belitung, hlm. 5.

[5] Lihat Iskandar, et.al., 2012, Potret Hukum, Mentalitas Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Suatu Kajian dari Perspektif Konsep Etika Uber Ich Sigmund Freud dan Good Governance, Penerbit Total Media, Jakarta, hlm 245.

[6] Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 22.

[7] Lihat lampiran Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
[8] Lihat Iskandar, 2015,  Perizinan Usaha Pelayanan Jasa Bongkar-Muat Barang PT. Pelindo II Bengkulu, Kewenangan Gubernur, dan Penegakan Hukum (Telaah Singkat Dari Aspek Hukum Adminisitasi), artikel, Biro Hukum Setda Provinsi Bengkulu.