AMBIGUITAS KEDUDUKAN KEJAKSAAN REPUBLIK
INDONESIA
(Penguatan Institusi
Bergantung Sudut Pandang dan Kepentingan)*
Oleh: Iskandar**
Dalam rangka Hari Bhakti Adhyaksa Ke 55 tahun 2015,
Kejaksaan RI menyelenggarakan berbagai kegiatan. Salah satu kegiatan yang
dilaksanakan oleh Kejaksaan Tinggi Bengkulu
yaitu menyelenggarakan Seminar/Focus Group Discusion (FGD). Seminar/FGD
mengangkat tema “Penguatan Kejaksaan
Dalam Konstitusi”. Berkait dengan hal ini,
sebagai akademisi diminta ikut berpartisipasi urun rembuk, memberikan
saran pendapat.
·
Isu
Hukum
Dari
pengamatan dan telaah yang dilakukan, pembahasan terkait kedudukan Kejaksaan
dalam Konstitusi, telah dikaji, ditelaah sejak lama oleh banyak pihak, baik
kalangan akademisi, praktisisi, maupun dari kalangan warga adhyaksa sendiri
dalam berbagai forum dan momen. Hasilnya beragam pendapat yang disampaikan,
bergantung dari sudut pandang dan mungkin juga kepentingan. Namun sebagian
besar kalangan berpendapat bahwa agar kedudukan Kejaksaan RI mendapat
legitimasi yang kuat maka harus diatur dan disebutkan secara eksplisit dalam konstitusi
(UUD 1945). Pertanyaannya apakah bila telah diatur secara eksplisit dalam UUD 1945,
dapat menjamin pelaksanaan tupoksi Kejaksaan lebih baik, independen, dan
profesional? Baiknya kinerja, independensi, dan profesionalisme Kejaksaan tidak
semata ditentukan oleh pengaturan dalam UUD 1945, melainkan juga sangat
bergantung bagaimana pengaturan dalam undang-undang organik sebagai pelaksanaan
dari aturan dasarnya. Oleh karena itu, dalam tema FGD ini bila yang dimaksudkan
“penguatan Kejaksaan Dalam Konstitusi” adalah hanya upaya untuk memasukkan
pengaturan Kejaksaan dalam UUD 1945 dengan cara mengusulkan amandemen UUD 1945
kembali, kiranya bukanlah langkah yang tepat dan strategis, karena di samping
prosesnya yang tidak mudah, juga butuh waktu lama karena akan terjadi
perdebatan politik yang panjang.
*
Artikel disampaikan pada acara Seminar/FGD dengan Tema
“Penguatan Kejaksaan Dalam Konstitusi”,
yang diselenggarakan oleh Kejaksaan Tinggi Bengkulu, dalam rangka Hari Bhakti
Adhyaksa Ke-55 Tahun 2015, Senin, 13 Juli 2015, bertempat di Hotel Putri
Gading, Bengkulu.
** Dosen Fakultas Hukum Universitas Bengkulu.
Permasalahan serius yang perlu segera
ditangani saat ini yaitu terkait dengan isu hukum tentang independensi,
persoalan integritas, persoalan kinerja (tupoksi) dan hal-hal teknis lainnya.[1]
Mengatasi persoalan ini, perlu upaya atau langkah penguatan Kejaksaaan, tidak
saja penguatan secara kelembagaan tapi juga hal lainnya yang bersifat
nonkelembagaan. Untuk Penguatan Kejaksaan dimaksud sebagai pilihan dapat melalui
konstitusi (amandemen UUD 1945) dan atau melalui Revisi Undang-undang
Kejaksaan. Namun demikian, meski pilihan untuk penguatan ini melalui amandemen UUD
1945 dengan memasukkan nomenklatur lembaga Kejaksaan, tetap juga harus diikuti
dengan revisi terhadap Undang-undang Kejaksaan, baik terkait dengan pengaturan norma hukumnya
maupun hal yang bersifat teknis administratif.
Untuk itu, dalam diskusi ini pokok
permasalahan yang dibahas tidak hanya terbatas pada ruang lingkup penguatan
Kejaksaan dalam konstitusi, tapi juga dikaji/dibahas isu hukum lainnya yang
relevan dan berkait, yaitu kekuasaan/kewenangan
kejaksaan apakah bersifat atributif atau delegatif?, Kejaksaan merupakan alat
kelengkapan negara atau alat kelengkapan pemerintah?, Kejaksaan melaksanakan
urusan negara atau urusan pemerintahan?, apakah untuk penguatan Kejaksaan perlu
dilakukan amandemen UUD 1945 atau cukup melakukan perubahan atau revisi UU
Kejaksaan?, dan bagaimana keinginan dari internal warga Adhyaksa sendiri?
Kajian dilakukan secara yuridis-normatif dan teoritis-konseptual guna memahami
makna yang tersurat dan yang tersirat, diuraikan secara deskriptif-kualitatif,
lalu ditarik simpulan sebagai jawaban atas isu hukum yang diangkat.
Telaah/Pembahasan
· Kekuasaan/kewenangan Kejaksaan
apakah bersifat atributif atau delegatif?
Dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia tentang Kekuasaan Kehakiman diatur dalam Bab IX Pasal 24, Pasal 24 A,B,C, dan Pasal 25
UUD 1945. Pasal 24
ayat (1) berbunyi Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Ayat (2)
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan peradilan
agama, lingkungan militer dan lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
Mahkamah Konstitusi. Ayat (3) Badan-badan
lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam
undang-undang.
Kejaksaan
sebagai lembaga penegak hukum sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
kekuasaan kehakiman, memang secara eksplisit tidak disebutkan dalam UUD 1945. Namun, bila kita simak ketentuan
Pasal 24 ayat (3) UUD 1945, ketentuan mengenai badan-badan lain
tersebut dipertegas lagi dalam Pasal 38 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun
2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dan dalam Penjelasan dari Pasal 38 ayat (1) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
“badan-badan lain” antara lain Kepolisian, Kejaksaan,
Advokat dan Lembaga Permasyarakatan.
Dalam konsideran menimbang Undang-undang
No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan disebutkan pada huruf a. bahwa
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara
hukum yang berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 maka penegakan hukum dan keadilan merupakan salah satu
syarat mutlak dalam mencapai tujuan nasional. Huruf b. bahwa Kejaksaan Republik
Indonesia termasuk salah satu badan yang
fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 Undang-undang
No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan disebutkan bahwa pelaksanaan
kekuasaan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, diselenggarakan oleh
Kejaksaan Agung, kejaksaan tinggi, dan kejaksaan negeri. Pasal 2 menyebutkan
bahwa: ayat (1)
Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam
undang-undang ini disebut Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang
melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan[2]
serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Ayat (2). Kekuasaan negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara merdeka.
Batasan kekuasaan
negara secara teoritis meliputi semua kekuasaan/kegiatan negara, baik di
lapangan bestuur/eksekutif, regelgeving/legislatif maupun lapangan rechspraak/ peradilan.[3] Kekuasaan
negara memiliki makna yang lebih luas dari sekedar kekuasaan pemerintahan. Dalam praktik ketatanegaraan Indonesia,
lapangan kekuasaan negara tersebut (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) dapat
dibedakan namun tidak dapat dipisahkan, karena antar kekuasaan negara tersebut akan
saling terkait.[4]
Lapangan kekuasaan negara bidang
eksekutif lebih luas dibandingkan dengan legislative dan yudikatif, bahkan dalam
praktik, pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan juga berada pada lapangan legislatif
(Sekretariat Dewan) dan yudikatif (Kepaniteraan).
Berdasarkan ketentuan
Pasal 24 ayat (3) UUD 1945, ketentuan Pasal 38 ayat (1) Undang-undang Nomor 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dan konsideran menimbang
huruf b Undang-undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan, dapat diketahui
bahwa kekuasaan/kewenangan Kejaksaan merupakan kekuasaan/kewenangan yang
bersifat atributif. Suatu kekuasaan/kewenangan yang diberikan oleh konstitusi
(hukum dasar), bukan diperoleh secara pelimpahan (delegasi) dari lembaga lain
(Presiden, Kementerian, atau Mahkamah Agung). Kekuasaan/wewenang secara
atributif tersebut untuk melaksanakan kekuasaan negara, sesuai dengan ketentuan
pengaturan kewenangannya. Kekuasaan negara dimaksud untuk
melaksanakan kekuasaan kehakiman yang
dalam hal ini adalah kekuasaan penuntutan, eksekusi putusan pengadilan dan
kewenangan lain berdasarkan undang-undang.
·
Kejaksaan
merupakan alat kelengkapan negara atau alat kelengkapan pemerintah?
Konsideran
menimbang huruf c Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan berbunyi bahwa
untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang
melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh
kekuasaan pihak mana pun. Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa: Kejaksaan
Republik Indonesia yang selanjutnya dalam undang-undang ini disebut Kejaksaan adalah
lembaga pemerintahan yang
melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain
berdasarkan undang-undang. Pada Penjelasan Umum, antara lain dinyatakan bahwa
diberlakukannya undang-undang ini adalah untuk pembaharuan Kejaksaan, agar kedudukan
dan peranannya sebagai lembaga
pemerintahan lebih mantap dan dapat mengemban kekuasaan Negara di bidang
penuntutan, yang bebas dari pengaruh kekuasaan pihak mana pun. Pasal 19 ayat (1)
Jaksa Agung adalah pejabat negara; ayat (2) Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Pasal 23 ayat (1) Wakil
Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan
oleh Presiden atas usul Jaksa Agung. Pasal 24 ayat (1) Jaksa Agung Muda diangkat dan diberhentikan oleh Presiden
atas usul Jaksa Agung.
Kalimat
“Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan
…”, dalam ketentuan di atas dapat ditafsirkan secara
gamlang bahwa Kejaksaan merupakan lembaga pemerintahan (Eksekutif) sebagai
bagian dari alat kelengkapan pemerintah. Tapi bila dilihat konsideran menimbang
huruf b Undang-undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan, jelas disebutkan
bahwa Kejaksaan Republik Indonesia termasuk salah satu badan yang fungsinya berkaitan
dengan kekuasaan kehakiman …” Kondisi ini menimbulkan
ketidakpastian mengenai kedudukan lembaga kejaksaan, kebingungan dan ambiguitas
dalam menentukan posisi lembaga kejaksaan, apakah kejaksaan termasuk ke dalam alat
kelengkapan negara atau alat kelengkapan pemerintah? Karena terdapat
kontradiktif antara konsideran menimbang huruf b dengan konsideran menimbang
huruf c dan Pasal 2 ayat (1) serta Penjelasan Umum Undang-undang No. 16 tahun
2004 tentang Kejaksaan.[5]
Demikian
pula ketentuan pengangkatan dan pemberhentian Jaksa
Agung, Wakil Jaksa Agung, dan Jaksa Agung Muda oleh Presiden, tidak jelas
kapasitas Presiden sebagai Kepala Negara atau sebagai Kepala Pemerintahan. Jika
kejaksaan merupakan alat kelengkapan negara, maka Presiden harus dalam
kapasitas sebagai Kepala Negara, tentunya prosedur pengisian jabatan harus
diatur sedemikian rupa, sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum, demokrasi
dan sistem ketatanegaraan Indonesia, tetapi jika Kejaksaan merupakan alat
kelengkapan pemerintah, maka adalah lazim manakala diangkat dan diberhentikan
oleh Presiden sebagai kepala pemerintahan.[6]
Apabila
dilihat dari ketentuan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945, konsideran huruf
b. Undang-undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan,
bahwa Kejaksaan Republik Indonesia termasuk salah satu badan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman
menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, jelas bahwa
Kejaksaan bukan merupakan alat kelengkapan pemerintah, tapi merupakan alat
kelengkapan negara untuk melaksanakan kekuasaan negara, bukan sebagai alat
kelengkapan pemerintah untuk melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan atau kekuasaan pemerintah yang berada di bawah
kekuasaan presiden. Demikian pula bila dilihat ketentuan Pasal 2 ayat (2)
bahwa Kekuasaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara
merdeka. Ketentuan ini menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan kekuasaan negara di
bidang penuntutan (terkait dengan kekuasaan kehakiman) harus bebas dari pengaruh
kekuasaan pihak mana pun. Dengan demikian, secara filosofis dapat dikemukakan
bahwa semestinya lembaga Kejaksaan bukan merupakan alat kelengkapan pemerintah
melainkan alat kelengkapan negara yang fungsinya sangat menentukan/urgen, agar
kekuasaan di bidang kehakiman (yudisiil) dapat diselenggarakan dengan baik.
· Kejaksaan melaksanakan
urusan negara atau urusan pemerintahan?
Pada Pasal 30
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, mengatur tugas dan wewenang Kejaksaan, yaitu:
(1)
Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai
tugas dan wewenang: a. Melakukan penuntutan; b. Melaksanakan penetapan hakim
dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; c. Melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana
pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; d. Melakukan penyidikan terhadap
tindak pidana tertentu berdasarkan Undang-Undang; e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan
untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke
Pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
(2)
Di bidang perdata dan tata usaha Negara,
Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar
pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.
(3)
Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman
umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan: a. Peningkatan kesadaran hukum
masyarakat; b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum; c. Pengamanan peredaran
barang cetakan; d. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan
masyarakat dan Negara; e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; f.
Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.
Pada
Pasal 31 Undang-undang Kejaksaan menyebutkan bahwa Kejaksaan dapat meminta
kepada hakim untuk menempatkan terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan
jiwa, atau tempat lain yang layak karena yang bersangkutan tidak mampu berdiri
sendiri disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan,
atau dirinya sendiri. Pasal 32 mengatur bahwa di samping tugas dan wewenang
tersebut dalam Undang-undang ini, Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang
lain berdasarkan undang-undang. Selanjutnya Pasal 33 mengatur bahwa dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan membina hubungan kerja sama
dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan Negara atau instansi
lainnya. Kemudian Pasal 34 menetapkan bahwa Kejaksaan dapat memberikan
pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya.
Pasal
35 Undang-undang Kejaksaan mengatur tugas dan wewenang Jaksa Agung, yaitu: a. Menetapkan
serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup
tugas dan wewenang Kejaksaan; b. Mengefektifkan proses penegakan hukum yang
diberikan oleh Undang-Undang; c. Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum;
d. Mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada kepala Mahkamah Agung dalam
perkara pidana, perdata, dan tata usaha Negara; e. Dapat mengajukan
pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi
perkara-perkara; f. Mencegah atau menangkal orang tertentu untuk masuk atau
keluar wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam
perkara-perkara pidana sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan.
Pasal 36 mengatur,
pada ayat (1) Jaksa Agung memberikan izin kepada tersangka atau terdakwa untuk
berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit dalam luar negeri, kecuali
dalam keadaan tertentu dapat dilakukan perawatan di luar negeri; ayat (2) Izin
secara tertulis untuk berobat atau menjalani perawatan di dalam negeri
diberikan oleh Kepala Kejaksaan Negeri setempat atas nama Jaksa Agung,
sedangkan untuk berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit di luar negeri
hanya diberikan oleh Jaksa Agung; ayat (3) Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat
1 dan 2, hanya diberikan atas dasar rekomendasi dokter, dan dalam hal
diperlukannya perawatan di luar negeri rekomendasi tersebut dengan jelas
menyatakan kebutuhan untuk itu yang dikaitkan dengan belum mencukupinya
fasilitas perawatan tersebut didalam negeri.
Pasal 37 mengatur pada
ayat (1) bahwa Jaksa Agung bertanggung
jawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara independent demi keadilan
berdasarkan hukum dan hati nurani; ayat (2) bahwa Pertanggungjawaban
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 disampaikan kepada Presieden dan Dewan
Perwakilan Rakyat sesuai dengan prinsip akuntabilitas.
Dari
uraian pengaturan secara normatif tugas dan wewenang Kejaksaan di atas, begitu
banyak dan luasnya tugas dan wewenang Kejaksaan, sehingga sulit untuk membedakan
mana yang merupakan urusan negara dan mana yang merupakan urusan pemerintahan.
Seperti halnya ketentuan Pasal 30 ayat (2) khususnya di bidang Tata Usaha
Negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar
pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah. Pengaturan ini sangat
jumbuh, karena dalam sengketa TUN, pihak Tergugat di PTUN adalah selalu pihak
pemerintah (pejabat TUN) bukan negara, karena pemerintah yang menerbitkan KTUN
(beschikking). Pihak Penggugat adalah
orang pribadi dan atau badan hukum perdata yang kepentingannya dirugikan. Oleh
karena itu, jika Kejaksaan bertindak mewakili pemerintah (sebagai pengacara)[7] berarti
bahwa Kejaksaan akan melawan rakyat, padahal Kejaksaan merupakan alat
kelengkapan negara yang fungsinya berhubungan dengan kekuasaan di bidang kehakiman
(yudisiil). Bila Negara merupakan personifikasi dari rakyat, maka lembaga
Kejaksaan adalah personifikasi dari rakyat. Dengan demikian berarti ketentuan
Pasal 30 ayat (2) ini bertentangan dengan filosofi dari keberadaan PTUN sebagai
badan perlindungan hukum bagi rakyat.[8]
Demikian pula ketentuan Pasal 30 ayat (3), urusan bidang ketertiban dan
ketenteraman umum termasuk atau merupakan urusan pemerintahan. Pasal 36, juga terkait
dengan pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan di bidang hukum administrasi.
Berkenaan
dengan tugas dan wewenang Kejaksaan ini, perlu dipertegas kembali, agar jelas
batas dan ruang lingkup mana yang merupakan urusan Kejaksaan sebagai alat
kelengkapan negara dan mana yang merupakan urusan pemerintahan. Tugas dan
wewenang Kejaksaan (Jaksa) adalah hanya
tugas dan wewenang yang berkenaan dengan pelaksanaan kekuasaan di bidang kehakiman
(penuntutan dan eksekutor).[9] Sedangkan tugas dan wewenang yang bersifat
administratif yang merupakan urusan pemerintahan tidak dilaksanakan oleh Jaksa,
tapi oleh badan atau lembaga lain misalnya oleh sekretariat jenderal. Hal ini
penting, guna menghindari konflik kepentingan yang menyebabkan pelaksanaan
tugas dan wewenang sebagai penegak hukum atau penuntut umum menjadi tidak
independen.[10]
· Penguatan Kedudukan Kejaksaan
melalui Amandemen Konstitusi atau Revisi Undang-Undang Kejaksaan?
Sebagaimana
telah diuraikan di muka, meski secara eksplisit tidak disebutkan dalam UUD 1945, bila disimak ketentuan Pasal 24
ayat (3) UUD 1945, ketentuan mengenai badan-badan lain
tersebut dapat dipahami salah satu yang dimaksud adalah Kejaksaan. Hal ini dipertegas
dalam Pasal 38 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Dijelaskan bahwa ketentuan mengenai badan-badan lain yang fungsinya
berkaitan dengan kekuasaan kehakiman meliputi Kepolisian Negara RI, Kejaksaan RI, dan badan-badan lain yang
diatur dengan undang-undang. Kejaksaan diatur dalam Undang-undang
No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Dengan demikian dapat
dipahami bahwa Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum, merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari sistem kekuasaan kehakiman, khususnya kekuasaan
penuntutan dan eksekusi putusan pengadilan.[11]
Namun
demikian, masih banyak pihak yang mempertanyakan tentang “Kedudukan Lembaga
Kejaksaan”. Kedudukan Kejaksaan dianggap “tidak cukup kuat” karena tidak
disebutkan secara eksplisit dalam UUD 1945, sehingga banyak pihak berpedapat
bahwa pengaturan Kejaksaan harus disebutkan secara eksplisit di dalam UUD 1945,
untuk itu maka UUD 1945 harus diamandemen (kelima). Pertanyaannya, apakah
dengan dicantumkan secara eksplisit dalam UUD 1945 dapat memberikan garansi
bahwa Kejaksaan akan menjadi kuat? Apa yang menjadi tolok ukur atau indikator
kuatnya kedudukan Kejaksaan?, jumlah perkara yang ditangani?, kualitas
tuntutan/dakwaan?, kapasitas sumberdaya?, integritas?, profesionalisme?
independensi?, mandiri/otonom? Bila demikian, apakah hal-hal teknis tersebut
harus dicantumkan dalam UUD 1945?. Apakah tidak cukup diatur dalam
Undang-undang Kejaksaan dan peraturan pelaksanaanya.
ü
Solusi
alternative untuk Penguatan Kejaksaan melalui revisi Undang-undang Kejaksaan
Amandemen UUD
1945 memang dimungkinkan sepanjang itu merupakan keputusan politik dan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. Namun demikian, mengubah UUD 1945 bukan hal yang
mudah, prosesnya membutuhkan waktu yang relatif lama, apalagi bila para elit
politik memiliki sudut pandang dan kepentingan yang berbeda, kesepakatan dan
keputusan politik akan sulit diambil. Di sisi lain kebutuhan akan perbaikan dan
peningkatan kinerja Kejaksaan harus segera dilakukan. Sebagai solusi yang dapat
dilakukan segera dan realistis yaitu melakukan perubahan atau revisi
Undang-undang Kejaksaan. Revisi yang dilakukan terkait dengan upaya penguatan
institusi Kejaksaan. Baik menyangkut kedudukan, tugas dan wewenang, Pimpinan
Kejaksaan, pengangkatan dan pemberhentian Pimpinan Kejaksaan, rekrutmen Jaksa
dan pegawai administrasi, keuangan, kesekretariatan (fungsional dan
administrasi), hal teknis seperti mekanisme rentut/rendak, dan sebagainya.
Undang-undang
Nomor 16 Tahun 2004 yang berlaku saat ini menempatkan Kejaksaan dalam kedudukan
yang ambigu sebagaimana telah diuraikan di muka. Di satu sisi, Kejaksaan
dituntut menjalankan fungsi, dan wewenangnya secara merdeka, di sisi lain,
Kejaksaan terbelenggu karena kedudukan, tugas dan wewenang berada di bawah
kekuasaan eksekutif dan atau banyak mewakili dan melaksanakan kepentingan
eksekutif. Tupoksi yang diatur sangat jumbuh, sehingga sulit dibedakan mana
kapasitas dan kualitas tupoksi yang terkait dengan kekuasaan kehakiman dan
sebaliknya. Oleh karena itu, dalam forum diskusi ini dan forum yang lain, sangat
penting kiranya untuk melakukan identifikasi, mengkaji dan menelaah serta
mengevaluasi, norma hukum dari materi muatan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, guna mengetahui dan menentukan
ketentuan norma hukum yang mana saja yang tidak relevan dan tidak mendukung
“kuatnya” Kejaksaan dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya. Tahap berikutnya
menyusun rumusan materi muatan norma hukum baru sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila sebagai Dasar Negara, yang diarahkan pada upaya penguatan kedudukan lembaga
dan kinerja Kejaksaan. Terlebih pada era modern saat ini, dunia seakan tanpa
batas, pelanggaran hukumpun seakan mengikuti. Jika saat ini Kejaksaan masih terus
berkutet dengan persoalan internal dan sibuk mencari siapa yang cocok menjadi
induk semang lembaga, atau mencari payung konstitusi, maka dapat diyakini hukum
di Republik ini tidak akan pernah kunjung tegak. Oleh karena itu, meski
perkembangan dan kemajuan ipteks demikian pesat yang dapat mempengaruhi
berbagai sendi kehidupan termasuk tatanan hukum, maka Indonesia harus tetap
berpegang teguh pada tatanan hukum Indonesia, sebagai Negara Hukum
Pancasila.
ü Bagaimana keinginan
dari internal Warga Adhyaksa?
Tugas dan kewenangan Kejaksaan yang
diberikan Undang-undang Kejaksaan saat ini tidak hanya sekedar bertindak selaku
Penuntut Umum, eksekutor, dan Penyidikan tindak pidana tertentu, tetapi juga
bertindak mewakili negara/pemerintah dalam perkara Perdata dan Tata Usaha
Negara, memberikan pertimbangan kepada instansi pemerintah, dan mewakili
kepentingan umum. Dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, Jaksa selaku
aparatur Kejaksaan bertindak untuk dan atas nama negara atau pemerintah, dan
masih banyak lagi tugas-tugas lainnya. Mungkin bagi sebagian pihak internal
Kejaksaan, banyaknya tugas dan wewenang
yang diberikan oleh undang-undang tersebut, serta dukungan dari
pemerintah (karena dianggap sebagai alat kelengkapan pemerintah), tidak akan
menjadi persoalan, bahkan mungkin menguntungkan. Namun bagi warga Adhyaksa yang
sangat menyadari kapasitas dan kualitasnya sebagai alat kelengkapan negara dalam
bidang kekuasaan kehakiman, yang dituntut tanggungjawab untuk menegakkan hukum
secara benar dan adil, tentunya akan merasa tidak nyaman. Di sinilah integritas
dan mentalitas warga Adhyaksa diuji, apakah mampu menjadi pelopor penegakan
hukum secara benar dan adil atau tidak. Hal ini sangatlah penting, karena
integritas (mentalitas anti melakukan tindakan kolusi, korupsi, dan nepotisme),
profesionalisme warga Adhyaksa akan sangat menentukan baik dan buruknya
penegakan hukum. Baiknya penegakan hukum, dengan sendirinya akan membangun
citra yang baik secara kelembagaan. Lembaga Kejaksaan yang memiliki citra
penegakan hukum yang baik, tentunya akan kuat secara konstitusional, dan pasti
akan didukung dan dicintai oleh rakyat, karena Kejaksaan merupakan institusi yang
mewakili negara untuk menyelenggarakan kepentingan rakyat di bidang hukum, dan
rakyat dapat meyakini bahwa Kejaksaan dapat menjadi gerbang pertama dalam
menemukan nilai kebenaran dan rasa keadilan. Tetapi bila yang terjadi adalah
sebaliknya, maka dapat dipastikan akan dimusuhi oleh rakyat.
·
Simpulan
Ø Kekuasaan/kewenangan
Kejaksaan merupakan kekuasaan/kewenangan yang bersifat atributif. Suatu
kekuasaan/kewenangan yang diberikan oleh konstitusi (hukum dasar), bukan
diperoleh secara pelimpahan (delegasi) dari lembaga lain (Presiden,
Kementerian, atau Mahkamah Agung). Kekuasaan/wewenang secara atributif tersebut
untuk melaksanakan kekuasaan negara, sesuai dengan ketentuan pengaturan
kewenangannya. Kekuasaan negara dimaksud untuk
melaksanakan kekuasaan kehakiman yang
dalam hal ini adalah kekuasaan penuntutan, eksekusi dan kewenangan lain
berdasarkan undang-undang.
Ø Secara
filosofis dapat dikemukakan bahwa semestinya lembaga Kejaksaan bukan merupakan
alat kelengkapan pemerintah melainkan alat kelengkapan negara yang fungsinya sangat
menentukan dapat terselenggarakannya kekuasaan di bidang kehakiman (yudisiil).
Ø Tugas
dan wewenang Kejaksaan (Jaksa) adalah hanya tugas dan wewenang yang berkenaan
dengan pelaksanaan di bidang kekuasaan kehakiman (penuntutan dan eksekutor). Tugas
dan wewenang yang bersifat administratif yang merupakan urusan pemerintahan seharusnya
tidak dilaksanakan oleh Jaksa, tapi oleh badan atau lembaga lain misalnya oleh
sekretariat jenderal, untuk menghindari konflik kepentingan yang menyebabkan
pelaksanaan tugas dan wewenang sebagai penegak hukum atau penuntut umum menjadi
tidak independen.
Ø Penguatan
Kejaksaan melalui konstitusi dapat saja dilakukan, bergantung pada sudut
pandang dan kepentingan para stakeholders
terhadap lembaga Kejaksaan. Namun solusi untuk penguatan yang dapat dilakukan
segera dan realistis yaitu melakukan perubahan atau revisi Undang-undang
Kejaksaan. Revisi yang dilakukan terkait dengan upaya penguatan institusi maupun
tupoksi Kejaksaan. Harus diatur secara jelas bab mana yang menjadi tugas
Kejaksaan sebagai penuntut umum dalam rangka pelaksaaan kekuasaan kehakiman
yang merdeka dan bab mana yang merupakan tugas administratif yang
pelaksanaannya oleh staf administrasi.
Rekomendasi
Ø Dalam
rangka penguatan kelembagaan, membangun kinerja, menghadapi semakin pesatnya
perkembangan ipteks, dunia global yang semakin tanpa batas, maka dibutuhkan
instrumen hukum berkualitas yang bersifat responsive, akomodatif, dan
antisipatif. Untuk itu maka perlu segera dilakukan revisi terhadap Undang-undang
Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan,
agar sesuai dengan kebutuhan dimaksud.
Ø Agar kualitas
hasil revisi dapat memenuhi kebutuhan dimaksud, maka perlu dilakukan kajian
akademik secara komperhensif dari segala aspek. Sehingga semakin jelas
bagaimana kedudukan dari lembaga Kejaksaan, apakah berada di ranah kekuasaan
kehakiman yang merdeka atau menjadi lembaga pemerintahan yang melaksanakan
urusan bidang eksekutif.
Ø Demikian
pula halnya jika keputusan politik menghendaki agar lembaga Kejaksaan diatur
secara khusus dalam UUD 1945, maka sebelum amandemen dilakukan, harus
disepakati terlebih dahulu mengenai kedudukan Kejaksaan sebagai lembaga negara
yang menyelenggarakan kekuasaan kehakiman yang merdeka.
Ø Dalam
melakukan revisi Undang-undang Kejaksaan dan atau melakukan amandemen UUD 45
terkait dengan pengaturan lembaga Kejaksaan, harus senantiasa memperhatikan dan
mengaktualisasikan nilai-nilai falsafah
bangsa, dasar negara Pancasila, sehingga norma yang diatur akan sejalan dengan nilai-nilai
Pancasila, dan negara hukum yang kita bangun adalah Negara Hukum Indonesia yang
berdasarkan Pancasila.
DAFTAR PUSTAKA
Bachtiar, 2015, Revitalisasi Tugas
Dan Wewenang Komisi Kejaksaan Dalam Rangka Mewujudkan Kejaksaan Yang
Profesional Dan Bermartabat, artikel, dalam https://tiar73.wordpress.com/2015/05/20/revitalisasi-tugas-dan-wewenang-komisi-kejaksaan-dalam-rangka-mewujudkan-kejaksaan-yang-profesional-dan-bermartabat/,
diunduh 12 Juli 2015.
E. Utrecht/Moh. Saleh Djindang, 1985, Pengantar Hukum Administrasi Negara
Indonesia, Pt. Ichtiar Baru, Jakarta.
Hadjon, Philipus M., et.al., 1993, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University
Press., Yogyakarta.
Kuntjoro Purbopranoto, 1978, Sedikit Tentang Sistim Pemerintahan Demokrasi, PT. Eresco, Cet.3., Bandung.
Marwan Efendi, 2005, Kejaksaan RI: Posisi dan Fungsinya Dari
Perspektif Hukum, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
https://ilhamendra.wordpress.com/
2008/05/27/kekuasaan-penuntutan/, diunduh 12 Juli 2015.
Undang Undang Dasar Negara Kesatuan
Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan.
Undang-undang No. 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman.
[1] Persoalan
serius pada lembaga Kejaksaan berupa lemahnya kinerja dan perilaku dari
aparatur Kejaksaan dalam menjalankan tugas dan wewenang yang dimilikinya.
Dugaan penyimpangan perilaku dan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh
aparatur dan/atau lembaga Kejaksaan masih secara kasat mata terlihat dan sangat
mengganggu rasa keadilan masyarakat. Kondisi yang demikian pada akhirnya
menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap lembaga Kejaksaan. Bukan hanya
dinilai tidak mampu menjadi wakil publik dalam menegakkan keadilan, Kejaksaan
juga dianggap lamban dalam menangani kasus yang mengandung perhatian publik,
dan bahkan dianggap sudah tidak bersih dan kurang berwibawa. Kejaksaan kurang
memiliki integritas dan profesionalisme di persepsikan secara luas oleh
masyarakat, lihat Bachtiar, 2015, Revitalisasi Tugas
Dan Wewenang Komisi Kejaksaan Dalam Rangka Mewujudkan Kejaksaan Yang
Profesional Dan Bermartabat, artikel, hlm. 1, dalam https://tiar73.wordpress.com/2015/05/20/revitalisasi-tugas-dan-wewenang-komisi-kejaksaan-dalam-rangka-mewujudkan-kejaksaan-yang-profesional-dan-bermartabat/,
diunduh 12 Juli 2015.
[2]
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke
pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di
sidang pengadilan, lihat Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan.
[3] Lihat Hadjon, et.al., 1993, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University
Press., Yoyakarta, hlm. 4.
[4] Dalam
praktik ketatanegaraan di Indonesia, pada dasarnya tidak sama dengan teori
pemisahan kekuasaan ini dikembangkan oleh Montesquieu, yang membagi kekuasaan ke dalam tiga bentuk
kekuasaan, yakni kekuasaan legislatif (Pouvoir
Le`gislatif), kekuasaan eksekutif (Pouvoir
excutif) dan kekuasaan yudikatif (Pouvoir
judiciair), lihat Kuntjoro
Purbopranoto, 1978, Sedikit Tentang
Sistim Pemerintahan Demokrasi, PT
Eresco, Cet.3., Bandung, hlm. 23. Lihat
juga E. Utrecht/Moh. Saleh Djindang, 1985, Pengantar
Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pt. Ichtiar Baru, Jakarta, hlm. 3.
[5] Dilihat dari sudut
kedudukan, mengandung makna bahwa kejaksaan merupakan suatu lembaga yang berada
disuatu kekuasaan eksekutif, naamun jika dilihat dari sisi kewenangan kejaksaan
dalam melakukan penuntutan berarti kejaksaan menjalankan kekuasaan yudikatif.
Disinilah terjadinya ambivalensi kedudukan kejaksaan RI dalam penegakan hukum
di Indonesia. Bila kedudukan kejaksaan sebagai suatu lembaga pemerintahan
dikaitkan dengan kewenangan kejaksaan melakukan kekuasaan Negara di bidang
penuntutan secara merdeka, berarti terdapat kontradiksi dalam pengaturannya (Dual
Obligation), lihat Marwan
Efendi, 2005, Kejaksaan RI: Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum,
PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm.
110.
[6] Kontroversi
seputar kedudukan kejaksaan dalam struktur ketatanegaraan suatu negara tidak
hanya terjadi di Indonesia saja. Di negara semaju Amerika Serikat pun
kontroversi semacam ini juga terjadi. Jaksa Agung di Amerika Serikat
digambarkan oleh Robert Palmer sebagai kondisi yang “schizophrenic”, karena memerankan dua fungsi sekaligus, yaitu
sebagai “petugas hukum” (law officer)
sekaligus juga sebagai “petugas eksekutif” (executive
officer). Persoalan rekrutmen jaksa –termasuk Jaksa Agung– ini secara
teoretis akan ikut memberikan kontribusi secara signifikan terhadap kinerja
kejaksaan sebagai lembaga yang bertugas menjalankan kekuasaan negara di bidang
penuntutan, Artikel, Memaknai
Independensi Kejaksaan Di Indonesia (Kekuasan Penuntutan), hlm. 6, lihat https://ilhamendra.wordpress.com/ 2008/05/27/kekuasaan-penuntutan/,
diunduh 12 Juli 2015.
[7] Jaksa sebagai Pengacara
Negara, pengaturan secara eksplisit tidak ditemukan di dalam UU No. 16 Tahun
2004, namun makna Jaksa sebagai pengacara Negara dapat ditafsirkan dari bunyi
ketentuan Pasal 30 ayat (2). Jaksa bertindak sebagai Pengacara Negara
sebenarnya masih dimungkinkan sepanjang betul-betul untuk mewakili hak dan
kepentingan negara (publik/rakyat), bukan untuk mewakili pemerintah apalagi
mewakili pemerintah sebagai Tergugat di PTUN.
[8] Pemerintah dapat saja
menggunakan Biro Hukum atau Bagian Hukum yang ada pada Sekretariat Daerahnya,
untuk mewakili pemerintah dalam hal terjadi persoalan hukum, baik yang bersifat
keperdataan maupun administrasi.
[9] Jaksa
adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk
bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang,
lihat Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.
[10]
Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk
melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim, lihat pasal 1 angka 2, ibid.
[11] Proses
penegakan hukum merupakan suatu sistem, maka dapat dipahami bahwa lembaga
penegak hukum tidak dapat bekerja sendiri, terlebih pada sistem peradilan
pidana. Sebagai sebuah sistem setidaknya ada lembaga penyidikan/penuntutan,
lembaga pengadilan, dan lembaga eksekusi putusan hakim. Dengan sistem yang
demikian maka kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum pidana akan dapat
diselenggarakan. Sistem tersebut sangat tidak mungkin diselengarakan oleh satu
lembaga saja secara mandiri, misalnya oleh Polisi saja, Jaksa, atau oleh Hakim
saja. Oleh karena itu apabila salah satu bagian tidak ada, maka sistem
peradilan pidana tidak dapat dilaksanakan dan berarti hukum pidana tidak dapat
ditegakkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar