Sabtu, 25 Juli 2015

Penguatan Institusi Kejaksaan RI



                       AMBIGUITAS KEDUDUKAN KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA             
 (Penguatan Institusi Bergantung Sudut Pandang dan Kepentingan)*
Oleh: Iskandar**

Dalam rangka Hari Bhakti Adhyaksa Ke 55 tahun 2015, Kejaksaan RI menyelenggarakan berbagai kegiatan. Salah satu kegiatan yang dilaksanakan oleh Kejaksaan Tinggi Bengkulu  yaitu menyelenggarakan Seminar/Focus Group Discusion (FGD). Seminar/FGD mengangkat tema “Penguatan Kejaksaan Dalam Konstitusi”. Berkait dengan hal ini,  sebagai akademisi diminta ikut berpartisipasi urun rembuk, memberikan saran pendapat.
·        Isu Hukum
Dari pengamatan dan telaah yang dilakukan, pembahasan terkait kedudukan Kejaksaan dalam Konstitusi, telah dikaji, ditelaah sejak lama oleh banyak pihak, baik kalangan akademisi, praktisisi, maupun dari kalangan warga adhyaksa sendiri dalam berbagai forum dan momen. Hasilnya beragam pendapat yang disampaikan, bergantung dari sudut pandang dan mungkin juga kepentingan. Namun sebagian besar kalangan berpendapat bahwa agar kedudukan Kejaksaan RI mendapat legitimasi yang kuat maka harus diatur dan disebutkan secara eksplisit dalam konstitusi (UUD 1945). Pertanyaannya apakah bila telah diatur secara eksplisit dalam UUD 1945, dapat menjamin pelaksanaan tupoksi Kejaksaan lebih baik, independen, dan profesional? Baiknya kinerja, independensi, dan profesionalisme Kejaksaan tidak semata ditentukan oleh pengaturan dalam UUD 1945, melainkan juga sangat bergantung bagaimana pengaturan dalam undang-undang organik sebagai pelaksanaan dari aturan dasarnya. Oleh karena itu, dalam tema FGD ini bila yang dimaksudkan “penguatan Kejaksaan Dalam Konstitusi” adalah hanya upaya untuk memasukkan pengaturan Kejaksaan dalam UUD 1945 dengan cara mengusulkan amandemen UUD 1945 kembali, kiranya bukanlah langkah yang tepat dan strategis, karena di samping prosesnya yang tidak mudah, juga butuh waktu lama karena akan terjadi perdebatan politik yang panjang.

*  Artikel disampaikan pada acara Seminar/FGD dengan Tema “Penguatan Kejaksaan Dalam Konstitusi”, yang diselenggarakan oleh Kejaksaan Tinggi Bengkulu, dalam rangka Hari Bhakti Adhyaksa Ke-55 Tahun 2015, Senin, 13 Juli 2015, bertempat di Hotel Putri Gading, Bengkulu.
** Dosen Fakultas Hukum Universitas Bengkulu.


Permasalahan serius yang perlu segera ditangani saat ini yaitu terkait dengan isu hukum tentang independensi, persoalan integritas, persoalan kinerja (tupoksi) dan hal-hal teknis lainnya.[1] Mengatasi persoalan ini, perlu upaya atau langkah penguatan Kejaksaaan, tidak saja penguatan secara kelembagaan tapi juga hal lainnya yang bersifat nonkelembagaan. Untuk Penguatan Kejaksaan dimaksud sebagai pilihan dapat melalui konstitusi (amandemen UUD 1945) dan atau melalui Revisi Undang-undang Kejaksaan. Namun demikian, meski pilihan untuk penguatan ini melalui amandemen UUD 1945 dengan memasukkan nomenklatur lembaga Kejaksaan, tetap juga harus diikuti dengan revisi terhadap Undang-undang Kejaksaan,  baik terkait dengan pengaturan norma hukumnya maupun hal yang bersifat teknis administratif.
Untuk itu, dalam diskusi ini pokok permasalahan yang dibahas tidak hanya terbatas pada ruang lingkup penguatan Kejaksaan dalam konstitusi, tapi juga dikaji/dibahas isu hukum lainnya yang relevan dan berkait, yaitu kekuasaan/kewenangan kejaksaan apakah bersifat atributif atau delegatif?, Kejaksaan merupakan alat kelengkapan negara atau alat kelengkapan pemerintah?, Kejaksaan melaksanakan urusan negara atau urusan pemerintahan?, apakah untuk penguatan Kejaksaan perlu dilakukan amandemen UUD 1945 atau cukup melakukan perubahan atau revisi UU Kejaksaan?, dan bagaimana keinginan dari internal warga Adhyaksa sendiri? Kajian dilakukan secara yuridis-normatif dan teoritis-konseptual guna memahami makna yang tersurat dan yang tersirat, diuraikan secara deskriptif-kualitatif, lalu ditarik simpulan sebagai jawaban atas isu hukum yang diangkat.


Telaah/Pembahasan
·      Kekuasaan/kewenangan Kejaksaan apakah bersifat atributif atau delegatif?
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia tentang Kekuasaan Kehakiman diatur dalam  Bab IX Pasal 24, Pasal 24 A,B,C, dan Pasal 25 UUD 1945.  Pasal 24 ayat (1) berbunyi  Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Ayat (2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan peradilan agama, lingkungan militer dan lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh Mahkamah Konstitusi. Ayat (3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.
Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kekuasaan kehakiman, memang secara eksplisit tidak disebutkan dalam  UUD 1945. Namun, bila kita simak ketentuan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945, ketentuan mengenai badan-badan lain tersebut dipertegas lagi dalam Pasal 38 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dan dalam Penjelasan dari Pasal 38 ayat (1)  disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “badan-badan lain” antara lain Kepolisian, Kejaksaan, Advokat dan Lembaga Permasyarakatan.
Dalam konsideran menimbang Undang-undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan disebutkan pada huruf a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka penegakan hukum dan keadilan merupakan salah satu syarat mutlak dalam mencapai tujuan nasional. Huruf b. bahwa Kejaksaan Republik Indonesia termasuk salah satu badan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 Undang-undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan disebutkan bahwa pelaksanaan kekuasaan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, diselenggarakan oleh Kejaksaan Agung, kejaksaan tinggi, dan kejaksaan negeri. Pasal 2 menyebutkan bahwa: ayat (1) Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam undang-undang ini disebut Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan[2] serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Ayat (2). Kekuasaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara merdeka.
Batasan kekuasaan negara secara teoritis meliputi semua kekuasaan/kegiatan negara, baik di lapangan bestuur/eksekutif, regelgeving/legislatif maupun lapangan rechspraak/ peradilan.[3] Kekuasaan negara memiliki makna yang lebih luas dari sekedar kekuasaan pemerintahan.  Dalam praktik ketatanegaraan Indonesia, lapangan kekuasaan negara tersebut (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) dapat dibedakan namun tidak dapat dipisahkan, karena antar kekuasaan negara tersebut akan saling terkait.[4] Lapangan kekuasaan negara  bidang eksekutif lebih luas dibandingkan dengan legislative dan yudikatif, bahkan dalam praktik, pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan juga berada pada lapangan legislatif (Sekretariat Dewan) dan yudikatif (Kepaniteraan).
Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945, ketentuan Pasal 38 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dan konsideran menimbang huruf b Undang-undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan, dapat diketahui bahwa kekuasaan/kewenangan Kejaksaan merupakan kekuasaan/kewenangan yang bersifat atributif. Suatu kekuasaan/kewenangan yang diberikan oleh konstitusi (hukum dasar), bukan diperoleh secara pelimpahan (delegasi) dari lembaga lain (Presiden, Kementerian, atau Mahkamah Agung). Kekuasaan/wewenang secara atributif tersebut untuk melaksanakan kekuasaan negara, sesuai dengan ketentuan pengaturan kewenangannya. Kekuasaan negara dimaksud untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman  yang dalam hal ini adalah kekuasaan penuntutan, eksekusi putusan pengadilan dan kewenangan lain berdasarkan undang-undang.
·      Kejaksaan merupakan alat kelengkapan negara atau alat kelengkapan pemerintah?
Konsideran menimbang huruf c Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan berbunyi bahwa untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak mana pun. Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa: Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam undang-undang ini disebut Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Pada Penjelasan Umum, antara lain dinyatakan bahwa diberlakukannya undang-undang ini adalah untuk pembaharuan Kejaksaan, agar kedudukan dan peranannya sebagai lembaga pemerintahan lebih mantap dan dapat mengemban kekuasaan Negara di bidang penuntutan, yang bebas dari pengaruh kekuasaan pihak mana pun. Pasal 19 ayat (1) Jaksa Agung adalah pejabat negara; ayat (2) Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Pasal 23 ayat (1) Wakil Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Jaksa Agung. Pasal 24 ayat (1) Jaksa Agung Muda diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Jaksa Agung.
Kalimat “Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan …”, dalam ketentuan di atas dapat ditafsirkan secara gamlang bahwa Kejaksaan merupakan lembaga pemerintahan (Eksekutif) sebagai bagian dari alat kelengkapan pemerintah. Tapi bila dilihat konsideran menimbang huruf b Undang-undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan, jelas disebutkan bahwa Kejaksaan Republik Indonesia termasuk salah satu badan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman …” Kondisi ini menimbulkan ketidakpastian mengenai kedudukan lembaga kejaksaan, kebingungan dan ambiguitas dalam menentukan posisi lembaga kejaksaan, apakah kejaksaan termasuk ke dalam alat kelengkapan negara atau alat kelengkapan pemerintah? Karena terdapat kontradiktif antara konsideran menimbang huruf b dengan konsideran menimbang huruf c dan Pasal 2 ayat (1) serta Penjelasan Umum Undang-undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan.[5]  
Demikian pula ketentuan pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung, Wakil Jaksa Agung, dan Jaksa Agung Muda oleh Presiden, tidak jelas kapasitas Presiden sebagai Kepala Negara atau sebagai Kepala Pemerintahan. Jika kejaksaan merupakan alat kelengkapan negara, maka Presiden harus dalam kapasitas sebagai Kepala Negara, tentunya prosedur pengisian jabatan harus diatur sedemikian rupa, sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum, demokrasi dan sistem ketatanegaraan Indonesia, tetapi jika Kejaksaan merupakan alat kelengkapan pemerintah, maka adalah lazim manakala diangkat dan diberhentikan oleh Presiden sebagai kepala pemerintahan.[6]
Apabila dilihat dari ketentuan  Pasal 24 ayat (3) UUD 1945, konsideran huruf b. Undang-undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan, bahwa Kejaksaan Republik Indonesia termasuk salah satu badan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, jelas bahwa Kejaksaan bukan merupakan alat kelengkapan pemerintah, tapi merupakan alat kelengkapan negara untuk melaksanakan kekuasaan negara, bukan sebagai alat kelengkapan pemerintah untuk melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan atau kekuasaan pemerintah yang berada di bawah kekuasaan presiden. Demikian pula bila dilihat ketentuan Pasal 2 ayat (2) bahwa Kekuasaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara merdeka. Ketentuan ini menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan kekuasaan negara di bidang penuntutan (terkait dengan kekuasaan kehakiman) harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak mana pun. Dengan demikian, secara filosofis dapat dikemukakan bahwa semestinya lembaga Kejaksaan bukan merupakan alat kelengkapan pemerintah melainkan alat kelengkapan negara yang fungsinya sangat menentukan/urgen, agar kekuasaan di bidang kehakiman (yudisiil) dapat diselenggarakan dengan baik.
·      Kejaksaan melaksanakan urusan negara atau urusan pemerintahan?
Pada Pasal 30 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, mengatur  tugas dan wewenang Kejaksaan, yaitu:
(1)   Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang: a. Melakukan penuntutan; b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan Undang-Undang;  e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke Pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
(2)   Di bidang perdata dan tata usaha Negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.
(3)   Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan: a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat; b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum; c. Pengamanan peredaran barang cetakan; d. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan Negara; e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.
Pada Pasal 31 Undang-undang Kejaksaan menyebutkan bahwa Kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menempatkan terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak karena yang bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan, atau dirinya sendiri. Pasal 32 mengatur bahwa di samping tugas dan wewenang tersebut dalam Undang-undang ini, Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang. Selanjutnya Pasal 33 mengatur bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan membina hubungan kerja sama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan Negara atau instansi lainnya. Kemudian Pasal 34 menetapkan bahwa Kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya.
Pasal 35 Undang-undang Kejaksaan mengatur tugas dan wewenang Jaksa Agung, yaitu: a. Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang Kejaksaan; b. Mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh Undang-Undang; c. Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum; d. Mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada kepala Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha Negara; e. Dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara-perkara; f. Mencegah atau menangkal orang tertentu untuk masuk atau keluar wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara-perkara pidana sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan.
Pasal 36 mengatur, pada ayat (1) Jaksa Agung memberikan izin kepada tersangka atau terdakwa untuk berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit dalam luar negeri, kecuali dalam keadaan tertentu dapat dilakukan perawatan di luar negeri; ayat (2) Izin secara tertulis untuk berobat atau menjalani perawatan di dalam negeri diberikan oleh Kepala Kejaksaan Negeri setempat atas nama Jaksa Agung, sedangkan untuk berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit di luar negeri hanya diberikan oleh Jaksa Agung; ayat (3) Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan 2, hanya diberikan atas dasar rekomendasi dokter, dan dalam hal diperlukannya perawatan di luar negeri rekomendasi tersebut dengan jelas menyatakan kebutuhan untuk itu yang dikaitkan dengan belum mencukupinya fasilitas perawatan tersebut didalam negeri.

Pasal 37 mengatur pada ayat (1)  bahwa Jaksa Agung bertanggung jawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara independent demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani; ayat (2) bahwa Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat 1 disampaikan kepada Presieden dan Dewan Perwakilan Rakyat sesuai dengan prinsip akuntabilitas.
Dari uraian pengaturan secara normatif tugas dan wewenang Kejaksaan di atas, begitu banyak dan luasnya tugas dan wewenang Kejaksaan, sehingga sulit untuk membedakan mana yang merupakan urusan negara dan mana yang merupakan urusan pemerintahan. Seperti halnya ketentuan Pasal 30 ayat (2) khususnya di bidang Tata Usaha Negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah. Pengaturan ini sangat jumbuh, karena dalam sengketa TUN, pihak Tergugat di PTUN adalah selalu pihak pemerintah (pejabat TUN) bukan negara, karena pemerintah yang menerbitkan KTUN (beschikking). Pihak Penggugat adalah orang pribadi dan atau badan hukum perdata yang kepentingannya dirugikan. Oleh karena itu, jika Kejaksaan bertindak mewakili pemerintah (sebagai pengacara)[7] berarti bahwa Kejaksaan akan melawan rakyat, padahal Kejaksaan merupakan alat kelengkapan negara yang fungsinya berhubungan dengan kekuasaan di bidang kehakiman (yudisiil). Bila Negara merupakan personifikasi dari rakyat, maka lembaga Kejaksaan adalah personifikasi dari rakyat. Dengan demikian berarti ketentuan Pasal 30 ayat (2) ini bertentangan dengan filosofi dari keberadaan PTUN sebagai badan perlindungan hukum bagi rakyat.[8] Demikian pula ketentuan Pasal 30 ayat (3), urusan bidang ketertiban dan ketenteraman umum termasuk atau merupakan urusan pemerintahan. Pasal 36, juga terkait dengan pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan di bidang hukum administrasi.
Berkenaan dengan tugas dan wewenang Kejaksaan ini, perlu dipertegas kembali, agar jelas batas dan ruang lingkup mana yang merupakan urusan Kejaksaan sebagai alat kelengkapan negara dan mana yang merupakan urusan pemerintahan. Tugas dan wewenang Kejaksaan  (Jaksa) adalah hanya tugas dan wewenang yang berkenaan dengan pelaksanaan kekuasaan di bidang kehakiman (penuntutan dan eksekutor).[9]  Sedangkan tugas dan wewenang yang bersifat administratif yang merupakan urusan pemerintahan tidak dilaksanakan oleh Jaksa, tapi oleh badan atau lembaga lain misalnya oleh sekretariat jenderal. Hal ini penting, guna menghindari konflik kepentingan yang menyebabkan pelaksanaan tugas dan wewenang sebagai penegak hukum atau penuntut umum menjadi tidak independen.[10]
·      Penguatan Kedudukan Kejaksaan melalui Amandemen Konstitusi atau Revisi Undang-Undang Kejaksaan?
Sebagaimana telah diuraikan di muka, meski secara eksplisit tidak disebutkan dalam  UUD 1945, bila disimak ketentuan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945, ketentuan mengenai badan-badan lain tersebut dapat dipahami salah satu yang dimaksud adalah Kejaksaan. Hal ini dipertegas dalam Pasal 38 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dijelaskan bahwa ketentuan mengenai badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman meliputi Kepolisian Negara RI, Kejaksaan RI, dan badan-badan lain yang diatur dengan undang-undang. Kejaksaan diatur dalam Undang-undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Dengan demikian dapat dipahami bahwa Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem kekuasaan kehakiman, khususnya kekuasaan penuntutan dan eksekusi putusan pengadilan.[11]
Namun demikian, masih banyak pihak yang mempertanyakan tentang “Kedudukan Lembaga Kejaksaan”. Kedudukan Kejaksaan dianggap “tidak cukup kuat” karena tidak disebutkan secara eksplisit dalam UUD 1945, sehingga banyak pihak berpedapat bahwa pengaturan Kejaksaan harus disebutkan secara eksplisit di dalam UUD 1945, untuk itu maka UUD 1945 harus diamandemen (kelima). Pertanyaannya, apakah dengan dicantumkan secara eksplisit dalam UUD 1945 dapat memberikan garansi bahwa Kejaksaan akan menjadi kuat? Apa yang menjadi tolok ukur atau indikator kuatnya kedudukan Kejaksaan?, jumlah perkara yang ditangani?, kualitas tuntutan/dakwaan?, kapasitas sumberdaya?, integritas?, profesionalisme? independensi?, mandiri/otonom? Bila demikian, apakah hal-hal teknis tersebut harus dicantumkan dalam UUD 1945?. Apakah tidak cukup diatur dalam Undang-undang Kejaksaan dan peraturan pelaksanaanya.
ü  Solusi alternative untuk Penguatan Kejaksaan melalui revisi Undang-undang Kejaksaan
Amandemen UUD 1945 memang dimungkinkan sepanjang itu merupakan keputusan politik dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Namun demikian, mengubah UUD 1945 bukan hal yang mudah, prosesnya membutuhkan waktu yang relatif lama, apalagi bila para elit politik memiliki sudut pandang dan kepentingan yang berbeda, kesepakatan dan keputusan politik akan sulit diambil. Di sisi lain kebutuhan akan perbaikan dan peningkatan kinerja Kejaksaan harus segera dilakukan. Sebagai solusi yang dapat dilakukan segera dan realistis yaitu melakukan perubahan atau revisi Undang-undang Kejaksaan. Revisi yang dilakukan terkait dengan upaya penguatan institusi Kejaksaan. Baik menyangkut kedudukan, tugas dan wewenang, Pimpinan Kejaksaan, pengangkatan dan pemberhentian Pimpinan Kejaksaan, rekrutmen Jaksa dan pegawai administrasi, keuangan, kesekretariatan (fungsional dan administrasi), hal teknis seperti mekanisme rentut/rendak, dan sebagainya.
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 yang berlaku saat ini menempatkan Kejaksaan dalam kedudukan yang ambigu sebagaimana telah diuraikan di muka. Di satu sisi, Kejaksaan dituntut menjalankan fungsi, dan wewenangnya secara merdeka, di sisi lain, Kejaksaan terbelenggu karena kedudukan, tugas dan wewenang berada di bawah kekuasaan eksekutif dan atau banyak mewakili dan melaksanakan kepentingan eksekutif. Tupoksi yang diatur sangat jumbuh, sehingga sulit dibedakan mana kapasitas dan kualitas tupoksi yang terkait dengan kekuasaan kehakiman dan sebaliknya. Oleh karena itu, dalam forum diskusi ini dan forum yang lain, sangat penting kiranya untuk melakukan identifikasi, mengkaji dan menelaah serta mengevaluasi, norma hukum dari materi muatan  Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, guna mengetahui dan menentukan ketentuan norma hukum yang mana saja yang tidak relevan dan tidak mendukung “kuatnya” Kejaksaan dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya. Tahap berikutnya menyusun rumusan materi muatan norma hukum baru sesuai dengan nilai-nilai Pancasila sebagai Dasar Negara, yang diarahkan pada upaya penguatan kedudukan lembaga dan kinerja Kejaksaan. Terlebih pada era modern saat ini, dunia seakan tanpa batas, pelanggaran hukumpun seakan mengikuti. Jika saat ini Kejaksaan masih terus berkutet dengan persoalan internal dan sibuk mencari siapa yang cocok menjadi induk semang lembaga, atau mencari payung konstitusi, maka dapat diyakini hukum di Republik ini tidak akan pernah kunjung tegak. Oleh karena itu, meski perkembangan dan kemajuan ipteks demikian pesat yang dapat mempengaruhi berbagai sendi kehidupan termasuk tatanan hukum, maka Indonesia harus tetap berpegang teguh pada tatanan hukum Indonesia, sebagai Negara Hukum Pancasila. 
ü Bagaimana keinginan dari internal Warga Adhyaksa?
Tugas dan kewenangan Kejaksaan yang diberikan Undang-undang Kejaksaan saat ini tidak hanya sekedar bertindak selaku Penuntut Umum, eksekutor, dan Penyidikan tindak pidana tertentu, tetapi juga bertindak mewakili negara/pemerintah dalam perkara Perdata dan Tata Usaha Negara, memberikan pertimbangan kepada instansi pemerintah, dan mewakili kepentingan umum. Dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, Jaksa selaku aparatur Kejaksaan bertindak untuk dan atas nama negara atau pemerintah, dan masih banyak lagi tugas-tugas lainnya. Mungkin bagi sebagian pihak internal Kejaksaan, banyaknya tugas dan wewenang  yang diberikan oleh undang-undang tersebut, serta dukungan dari pemerintah (karena dianggap sebagai alat kelengkapan pemerintah), tidak akan menjadi persoalan, bahkan mungkin menguntungkan. Namun bagi warga Adhyaksa yang sangat menyadari kapasitas dan kualitasnya sebagai alat kelengkapan negara dalam bidang kekuasaan kehakiman, yang dituntut tanggungjawab untuk menegakkan hukum secara benar dan adil, tentunya akan merasa tidak nyaman. Di sinilah integritas dan mentalitas warga Adhyaksa diuji, apakah mampu menjadi pelopor penegakan hukum secara benar dan adil atau tidak. Hal ini sangatlah penting, karena integritas (mentalitas anti melakukan tindakan kolusi, korupsi, dan nepotisme), profesionalisme warga Adhyaksa akan sangat menentukan baik dan buruknya penegakan hukum. Baiknya penegakan hukum, dengan sendirinya akan membangun citra yang baik secara kelembagaan. Lembaga Kejaksaan yang memiliki citra penegakan hukum yang baik, tentunya akan kuat secara konstitusional, dan pasti akan didukung dan dicintai oleh rakyat, karena Kejaksaan merupakan institusi yang mewakili negara untuk menyelenggarakan kepentingan rakyat di bidang hukum, dan rakyat dapat meyakini bahwa Kejaksaan dapat menjadi gerbang pertama dalam menemukan nilai kebenaran dan rasa keadilan. Tetapi bila yang terjadi adalah sebaliknya, maka dapat dipastikan akan dimusuhi oleh rakyat.
·     Simpulan
Ø Kekuasaan/kewenangan Kejaksaan merupakan kekuasaan/kewenangan yang bersifat atributif. Suatu kekuasaan/kewenangan yang diberikan oleh konstitusi (hukum dasar), bukan diperoleh secara pelimpahan (delegasi) dari lembaga lain (Presiden, Kementerian, atau Mahkamah Agung). Kekuasaan/wewenang secara atributif tersebut untuk melaksanakan kekuasaan negara, sesuai dengan ketentuan pengaturan kewenangannya. Kekuasaan negara dimaksud untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman  yang dalam hal ini adalah kekuasaan penuntutan, eksekusi dan kewenangan lain berdasarkan undang-undang.
Ø Secara filosofis dapat dikemukakan bahwa semestinya lembaga Kejaksaan bukan merupakan alat kelengkapan pemerintah melainkan alat kelengkapan negara yang fungsinya sangat menentukan dapat terselenggarakannya kekuasaan di bidang kehakiman (yudisiil).
Ø Tugas dan wewenang Kejaksaan (Jaksa) adalah hanya tugas dan wewenang yang berkenaan dengan pelaksanaan di bidang kekuasaan kehakiman (penuntutan dan eksekutor). Tugas dan wewenang yang bersifat administratif yang merupakan urusan pemerintahan seharusnya tidak dilaksanakan oleh Jaksa, tapi oleh badan atau lembaga lain misalnya oleh sekretariat jenderal, untuk menghindari konflik kepentingan yang menyebabkan pelaksanaan tugas dan wewenang sebagai penegak hukum atau penuntut umum menjadi tidak independen.
Ø Penguatan Kejaksaan melalui konstitusi dapat saja dilakukan, bergantung pada sudut pandang dan kepentingan para stakeholders terhadap lembaga Kejaksaan. Namun solusi untuk penguatan yang dapat dilakukan segera dan realistis yaitu melakukan perubahan atau revisi Undang-undang Kejaksaan. Revisi yang dilakukan terkait dengan upaya penguatan institusi maupun tupoksi Kejaksaan. Harus diatur secara jelas bab mana yang menjadi tugas Kejaksaan sebagai penuntut umum dalam rangka pelaksaaan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bab mana yang merupakan tugas administratif yang pelaksanaannya oleh staf administrasi.


Rekomendasi
Ø Dalam rangka penguatan kelembagaan, membangun kinerja, menghadapi semakin pesatnya perkembangan ipteks, dunia global yang semakin tanpa batas, maka dibutuhkan instrumen hukum berkualitas yang bersifat responsive, akomodatif, dan antisipatif. Untuk itu maka perlu segera dilakukan revisi terhadap Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004  Tentang Kejaksaan, agar sesuai dengan kebutuhan dimaksud.
Ø Agar kualitas hasil revisi dapat memenuhi kebutuhan dimaksud, maka perlu dilakukan kajian akademik secara komperhensif dari segala aspek. Sehingga semakin jelas bagaimana kedudukan dari lembaga Kejaksaan, apakah berada di ranah kekuasaan kehakiman yang merdeka atau menjadi lembaga pemerintahan yang melaksanakan urusan bidang eksekutif.
Ø Demikian pula halnya jika keputusan politik menghendaki agar lembaga Kejaksaan diatur secara khusus dalam UUD 1945, maka sebelum amandemen dilakukan, harus disepakati terlebih dahulu mengenai kedudukan Kejaksaan sebagai lembaga negara yang menyelenggarakan kekuasaan kehakiman yang merdeka.
Ø Dalam melakukan revisi Undang-undang Kejaksaan dan atau melakukan amandemen UUD 45 terkait dengan pengaturan lembaga Kejaksaan, harus senantiasa memperhatikan dan mengaktualisasikan  nilai-nilai falsafah bangsa, dasar negara Pancasila, sehingga norma yang diatur akan sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, dan negara hukum yang kita bangun adalah Negara Hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila.  

DAFTAR PUSTAKA
Bachtiar, 2015, Revitalisasi Tugas Dan Wewenang Komisi Kejaksaan Dalam Rangka Mewujudkan Kejaksaan Yang Profesional Dan Bermartabat, artikel, dalam https://tiar73.wordpress.com/2015/05/20/revitalisasi-tugas-dan-wewenang-komisi-kejaksaan-dalam-rangka-mewujudkan-kejaksaan-yang-profesional-dan-bermartabat/, diunduh 12 Juli 2015.
E. Utrecht/Moh. Saleh Djindang, 1985, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pt. Ichtiar Baru, Jakarta.
Hadjon, Philipus M., et.al., 1993, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press., Yogyakarta.
Kuntjoro Purbopranoto, 1978, Sedikit Tentang Sistim Pemerintahan Demokrasi,  PT. Eresco, Cet.3., Bandung.
Marwan Efendi, 2005,  Kejaksaan RI: Posisi dan Fungsinya Dari Perspektif Hukum, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
https://ilhamendra.wordpress.com/ 2008/05/27/kekuasaan-penuntutan/, diunduh 12 Juli 2015.
Undang Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia  Tahun 1945.
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.
Undang-undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.


[1] Persoalan serius pada lembaga Kejaksaan berupa lemahnya kinerja dan perilaku dari aparatur Kejaksaan dalam menjalankan tugas dan wewenang yang dimilikinya. Dugaan penyimpangan perilaku dan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh aparatur dan/atau lembaga Kejaksaan masih secara kasat mata terlihat dan sangat mengganggu rasa keadilan masyarakat. Kondisi yang demikian pada akhirnya menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap lembaga Kejaksaan. Bukan hanya dinilai tidak mampu menjadi wakil publik dalam menegakkan keadilan, Kejaksaan juga dianggap lamban dalam menangani kasus yang mengandung perhatian publik, dan bahkan dianggap sudah tidak bersih dan kurang berwibawa. Kejaksaan kurang memiliki integritas dan profesionalisme di persepsikan secara luas oleh masyarakat, lihat Bachtiar, 2015, Revitalisasi Tugas Dan Wewenang Komisi Kejaksaan Dalam Rangka Mewujudkan Kejaksaan Yang Profesional Dan Bermartabat, artikel, hlm. 1, dalam https://tiar73.wordpress.com/2015/05/20/revitalisasi-tugas-dan-wewenang-komisi-kejaksaan-dalam-rangka-mewujudkan-kejaksaan-yang-profesional-dan-bermartabat/, diunduh 12 Juli 2015.



[2] Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan, lihat Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.
[3] Lihat Hadjon, et.al., 1993, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press., Yoyakarta, hlm. 4.
[4] Dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia, pada dasarnya tidak sama dengan teori pemisahan kekuasaan ini dikembangkan oleh Montesquieu, yang membagi kekuasaan ke dalam tiga bentuk kekuasaan, yakni kekuasaan legislatif (Pouvoir Le`gislatif), kekuasaan eksekutif (Pouvoir excutif) dan kekuasaan yudikatif (Pouvoir judiciair), lihat Kuntjoro Purbopranoto, 1978, Sedikit Tentang Sistim Pemerintahan Demokrasi,  PT Eresco, Cet.3., Bandung,  hlm. 23. Lihat juga E. Utrecht/Moh. Saleh Djindang, 1985, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pt. Ichtiar Baru, Jakarta, hlm. 3.

[5] Dilihat dari sudut kedudukan, mengandung makna bahwa kejaksaan merupakan suatu lembaga yang berada disuatu kekuasaan eksekutif, naamun jika dilihat dari sisi kewenangan kejaksaan dalam melakukan penuntutan berarti kejaksaan menjalankan kekuasaan yudikatif. Disinilah terjadinya ambivalensi kedudukan kejaksaan RI dalam penegakan hukum di Indonesia. Bila kedudukan kejaksaan sebagai suatu lembaga pemerintahan dikaitkan dengan kewenangan kejaksaan melakukan kekuasaan Negara di bidang penuntutan secara merdeka, berarti terdapat kontradiksi dalam pengaturannya (Dual Obligation), lihat Marwan Efendi, 2005, Kejaksaan RI: Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,  hlm. 110. 
[6] Kontroversi seputar kedudukan kejaksaan dalam struktur ketatanegaraan suatu negara tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Di negara semaju Amerika Serikat pun kontroversi semacam ini juga terjadi. Jaksa Agung di Amerika Serikat digambarkan oleh Robert Palmer sebagai kondisi yang “schizophrenic”, karena memerankan dua fungsi sekaligus, yaitu sebagai “petugas hukum” (law officer) sekaligus juga sebagai “petugas eksekutif” (executive officer). Persoalan rekrutmen jaksa –termasuk Jaksa Agung– ini secara teoretis akan ikut memberikan kontribusi secara signifikan terhadap kinerja kejaksaan sebagai lembaga yang bertugas menjalankan kekuasaan negara di bidang penuntutan, Artikel, Memaknai Independensi Kejaksaan Di Indonesia (Kekuasan Penuntutan), hlm. 6, lihat https://ilhamendra.wordpress.com/ 2008/05/27/kekuasaan-penuntutan/, diunduh 12 Juli 2015.

[7] Jaksa sebagai Pengacara Negara, pengaturan secara eksplisit tidak ditemukan di dalam UU No. 16 Tahun 2004, namun makna Jaksa sebagai pengacara Negara dapat ditafsirkan dari bunyi ketentuan Pasal 30 ayat (2). Jaksa bertindak sebagai Pengacara Negara sebenarnya masih dimungkinkan sepanjang betul-betul untuk mewakili hak dan kepentingan negara (publik/rakyat), bukan untuk mewakili pemerintah apalagi mewakili pemerintah sebagai Tergugat di PTUN.
[8] Pemerintah dapat saja menggunakan Biro Hukum atau Bagian Hukum yang ada pada Sekretariat Daerahnya, untuk mewakili pemerintah dalam hal terjadi persoalan hukum, baik yang bersifat keperdataan maupun administrasi.
[9] Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang, lihat Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.
[10] Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim, lihat pasal 1 angka 2, ibid.
[11] Proses penegakan hukum merupakan suatu sistem, maka dapat dipahami bahwa lembaga penegak hukum tidak dapat bekerja sendiri, terlebih pada sistem peradilan pidana. Sebagai sebuah sistem setidaknya ada lembaga penyidikan/penuntutan, lembaga pengadilan, dan lembaga eksekusi putusan hakim. Dengan sistem yang demikian maka kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum pidana akan dapat diselenggarakan. Sistem tersebut sangat tidak mungkin diselengarakan oleh satu lembaga saja secara mandiri, misalnya oleh Polisi saja, Jaksa, atau oleh Hakim saja. Oleh karena itu apabila salah satu bagian tidak ada, maka sistem peradilan pidana tidak dapat dilaksanakan dan berarti hukum pidana tidak dapat ditegakkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar