IMPLIKASI ALIH KEWENANGAN DALAM
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PASCA
BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH*
Oleh:
Iskandar**
A. Pendahuluan
Penyelenggaraan
pemerintahan daerah memasuki era baru yaitu dengan digantikannya Undang-Undang Nomor 32 tahun
2004 dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah. Lahirnya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, dilatarbelakangi adanya berbagai permasalahan yang timbul dari pelaksanaan Undang-Undang Nomor 32 tahun
2004 selama ini. Beberapa
permasalahan yang terjadi diantaranya lemahnya fungsi gubernur dan pemerintah pusat dalam melakukan pengawasan terhadap kabupaten/kota,
munculnya raja-raja kecil dengan arogansi kekuasaannya karena merasa memiliki
basis politik yang kuat (dipilih oleh rakyat secara langsung). Dengan lemahnya
pengawasan dan adanya arogansi kekuasaan, memunculkan berbagai kebijakan yang
cenderung melanggar hukum dan melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik
(AUPB).[1]
Kondisi ini terlihat dari fakta yang ada yaitu tidak sedikit para kepala daerah
terjerat dalam berbagai kasus tindak pidana korupsi dan pelanggaran hukum
lainnya.
Pelanggaran hukum dan AUPB yang sering terjadi terutama terkait dengan
pengelolaan sumberdaya alam, khususnya pada sektor kehutanan dan
perkebunan,[2] pertambangan,[3]
dan sektor kelautan dan perikanan. Kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yang
bersifat eksploitatif, dengan dalih untuk meningkatkan pendapatan asli daerah
(PAD), justru menimbulkan permasalahan bagi lingkungan hidup. Dampak negatif dari kebijakan yang melanggar
hukum dan AUPB menyebabkan terjadinya berbagai pencemaran dan kerusakan
lingkungan hidup dan musnahnya berbagai sumberdaya alam dan potensi sumberdaya
alam yang seharusnya dapat dimanfaatkan dan dikembangkan secara berkelanjutan.[4]
Atas dasar fakta tersebut di atas, melalui Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, beberapa urusan pemerintahan pada sektor sumberdaya alam,
yang semula merupakan kewenangan pemerintah kabupaten/kota “ditarik” dan
“dialihkan” menjadi kewenangan pemerintah provinsi dan pusat. Pengalihan
ini dimaksudkan
agar penyelenggaraan urusan pemerintahan pada sektor dimaksud jauh lebih
bersih, akuntabel, efektif-efisien, dan mampu memberikan jaminan bagi upaya
pelestarian fungsi lingkungan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara
berkelanjutan. Pertanyaannya,
apakah maksud pengalihan kewenangan tersebut dapat terwujud, karena masih banyak faktor dan variabel lain yang juga ikut menentukan
atau menjadi menyebab, misalnya sistem pemilukada yang masih sarat dengan
kecurangan dan politik uang, sehingga ada kecenderungan, kepala daerah
terpilih tentunya akan berusaha mengembalikan semua biaya politik yang
dikeluarkan melalui berbagai kebijakan, faktor
mentalitas para penyelenggara negara, sistem pengawasan
yang hanya bersifat hirarkhis (vertikal) artinya tidak ada atau masih kurangnya
partisipasi masyarakat dalam pengawasan (horizontal), dan sebagainya. Bila
demikian, berarti alih kewenangan dimaksud belum tentu dapat menjadi solusi
dari berbagai persoalan di atas.
Bagaimana
apabila setelah kewenangan terkait dengan pengelolaan
sumberdaya alam tersebut dialihkan menjadi urusan provinsi dan pusat, ternyata
pengelolaan lingkungan hidup dan sumberdaya alam tidak
menjadi lebih baik dan bahkan rakyat semakin
tidak merasakan keadilan dan kesejahteraan dari pemanfaatan
sumberdaya alam tersebut?, sebagaimana amanat Sila ke-5 dari Pancasila, Alinea
ke-4 Pembukaan dan Pasal 33 UUD NKRI tahun 1945. Apakah lalu kemudian kewenangan tersebut akan
dikembalikan lagi pada kabupaten/kota?, atau urusan pemerintahan tersebut tidak
perlu didesentralisasikan, dan menjadi urusan pusat melalui skema sentralisasi
dan atau dekonsentrasi dan atau tugas pembantuan?, seperti pada saat berlakunya
undang-undang tentang pemerintahan daerah sebelumnya.
Persoalan
dampak negatif yang timbul berupa pencemaran/kerusakan lingkungan dan
sumberdaya alam, perbuatan melanggar hukum dan pelanggaran AUPB oleh aparatur (melakukan
kolusi, korupsi dan nepotisme) dalam pengelolaan sumberdaya alam, bukan
disebabkan oleh diberikannya kewenangan pada suatu wilayah (kabupaten/kota),
melainkan tergantung pada bagaimana mentalitas dan kualitas para penyelenggara
urusan pemerintahan tersebut. Bila mentalitas dan kualitas para
penyelenggaranya tidak baik, semakin besar kekuasaan dan kewenangan yang
diberikan kepadanya, maka akan semakin besar pula peluang dan kesempatannya
untuk melakukan penyimpangan.[5]
Pada acara seminar ini, sesuai dengan surat permintaan dari penyelenggara
(WALHI-Bengkulu), yang mengangkat tema: “Mendorong
Efisiensi Pemberlakuan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang
pemerintahan Daerah Terhadap
Perbaikan dan Penataan Izin Pertambangan dan Perkebunan di Provinsi Bengkulu.” Menurut penyaji, mungkin lebih tepat “mendorong efektivitas” bukan
“mendorong efisiensi”. Oleh karena itu, pada tulisan singkat ini, penyaji hanya menelaah beberapa
implikasi yang mungkin terjadi dari pemberlakuan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang pemerintahan
Daerah. Tema sentral yang diangkat dalam tulisan ini, yaitu
Implikasi Alih Kewenangan Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Pasca Berlakunya
Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, dengan membahas dua isu hukum yaitu bagaimana pengaturan dan pembagian
urusan pemerintahan dan apa implikasi dari alih kewenangan dalam
pengelolaan sumberdaya alam, khususnya pada sektor
kehutanan, pertambangan, kelautan dan perikanan. Telaah atau kajian bersifat
yuridis normatif[6],
yaitu dengan mengkaji bahan hukum. Analisis bahan hukum dilakukan secara
yuridis kualitatif dengan berdasarkan
ketentuan peraturan-perundang-undangan dan asas-asas hukum. Hasil analisis dideskripsikan dan ditarik kesimpulan sebagai
jawaban atas isu hukum yang diangkat.
B. Hasil Kajian dan Pembahasan
1. Pengaturan
dan Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Sumberdaya
Alam
Sebagaimana
diamanatkan oleh UUD-NKRI Tahun 1945, terdapat urusan pemerintahan yang
sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat yang dikenal dengan istilah
urusan pemerintahan absolut dan ada urusan pemerintahan konkuren. Urusan
pemerintahan konkuren terdiri atas urusan pemerintahan wajib dan urusan
pemerintahan pilihan yang dibagi antara pemerintah pusat, daerah provinsi, dan
daerah kabupaten/kota. Urusan pemerintahan wajib dibagi dalam urusan
pemerintahan wajib yang terkait pelayanan dasar dan urusan pemerintahan wajib
yang tidak terkait pelayanan dasar. Untuk urusan pemerintahan wajib yang
terkait Pelayanan Dasar ditentukan Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk
menjamin hak-hak konstitusional masyarakat.
Pembagian
urusan pemerintahan konkuren antara Daerah provinsi dengan Daerah kabupaten/kota
walaupun urusan pemerintahan sama, perbedaannya akan nampak dari skala atau
ruang lingkup urusan pemerintahan tersebut. Walaupun Daerah provinsi dan Daerah
kabupaten/kota mempunyai urusan pemerintahan masing-masing yang sifatnya tidak
hierarki, namun tetap akan terdapat hubungan antara pemerintah pusat, daerah
provinsi dan daerah kabupaten/kota dalam pelaksanaannya dengan mengacu pada Norma,
Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) yang
dibuat oleh Pemerintah Pusat. Prinsip pembagian urusan pemerintahan konkuren
yaitu akuntabilitas, efisiensi, eksternalitas dan strategis nasional.
Berdasarkan Undang-Undang No.
23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah,
klasifikasi urusan pemerintahan, sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1)
Urusan Pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan
pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum. Pada
Ayat (2), disebutkan bahwa Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah
Pusat. Ayat (3) Urusan pemerintahan konkuren
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi antara
Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota.
Urusan
Pemerintahan Konkuren yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1)
bahwa urusan pemerintahan konkuren sebagaimana
di maksud dalam Pasal 9 ayat (3) yang menjadi kewenangan Daerah terdiri atas
Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan. Ayat (2)
menyebutkan bahwa Urusan
Pemerintahan Wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas Urusan
Pemerintahan yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan yang
tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar. Pada ayat (3) bahwa
Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) adalah Urusan Pemerintahan Wajib yang sebagian substansinya
merupakan Pelayanan Dasar.
Pada Pasal 12 ayat (2) disebutkan bahwa Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak
berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2); Ayat
(3) menyebutkan bahwa Urusan Pemerintahan Pilihan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (1) meliputi: a. kelautan dan perikanan; b. pariwisata; c.
pertanian; d. kehutanan; e. energi dan sumber daya mineral; f. perdagangan; g.
perindustrian; dan h. transmigrasi. Dalam Pasal
13 ayat (1) disebutkan bahwa Pembagian
urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi serta
Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) didasarkan
pada prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan
strategis nasional. Pada Ayat (3) dinyatakan bahwa
Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kriteria Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi adalah: a. Urusan
Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah kabupaten/kota; b. Urusan
Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah kabupaten/kota; c. Urusan
Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas Daerah kabupaten/kota;
dan/atau d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien
apabila dilakukan oleh Daerah Provinsi. Ayat (4) menyatakan bahwa Berdasarkan prinsip sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kriteria Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah
kabupaten/kota adalah: a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya dalam Daerah kabupaten/kota;
b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya dalam Daerah kabupaten/kota; c. Urusan
Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya hanya dalam Daerah
kabupaten/kota; dan/atau d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya
lebih efisien apabila dilakukan oleh Daerah kabupaten/kota.
Pada Pasal 14 ayat (1) disebutkan bahwa Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan
bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan sumber daya mineral dibagi antara
Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi. Ayat (2) bahwa
Urusan Pemerintahan bidang kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
berkaitan dengan pengelolaan taman hutan raya kabupaten/kota menjadi kewenangan
Daerah kabupaten/kota. Sedangkan pada ayat (5) dinyatakan bahwa Daerah kabupaten/kota penghasil dan
bukan penghasil mendapatkan bagi hasil dari penyelenggaraan Urusan Pemerintahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Ayat (6) bahwa Penentuan
Daerah kabupaten/kota penghasil untuk penghitungan bagi hasil kelautan adalah
hasil kelautan yang berada dalam batas wilayah 4 (empat) mil diukur dari garis
pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan. Batas wilayah 4 (empat) mil dalam
ketentuan ini hanya semata-mata untuk keperluan penghitungan bagi hasil kelautan,
sedangkan kewenangan bidang kelautan sampai dengan 12 (dua belas) mil tetap
berada pada Daerah provinsi.
Pasal
15 ayat (1) bahwa
Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah
provinsi serta Daerah kabupaten/kota tercantum dalam Lampiran yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari undang-undang ini. Ayat (2)
bahwa Urusan pemerintahan konkuren yang tidak
tercantum dalam Lampiran undang-undang ini menjadi kewenangan tiap tingkatan
atau susunan pemerintahan yang penentuannya menggunakan prinsip dan criteria pembagian
urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13. Ayat (3) bahwa
Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
dengan peraturan presiden. Sedangkan ayat (4) mengatur bahwa Perubahan terhadap pembagian urusan pemerintahan konkuren
antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak berakibat terhadap pengalihan
urusan pemerintahan konkuren pada tingkatan atau susunan pemerintahan yang lain
ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Ayat (5) menyatakan bahwa Perubahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dapat dilakukan sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip dan kriteria
pembagian urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
Dalam Pasal 16 ayat (1) disebutkan bahwa Pemerintah Pusat dalam menyelenggarakan
urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3)
berwenang untuk: a. menetapkan norma, standar, prosedur, dan criteria dalam
rangka penyelenggaraan Urusan Pemerintahan; dan b. melaksanakan pembinaan dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Daerah. Pada ayat (5) bahwa Penetapan
norma, standar, prosedur, dan criteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a dilakukan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak peraturan pemerintah
mengenai pelaksanaan urusan pemerintahan konkuren diundangkan.
Pengaturan dalam Pasal 17 ayat (4) disebutkan bahwa
apabila dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (5) Pemerintah Pusat belum menetapkan norma, standar,
prosedur, dan kriteria, Penyelenggara Pemerintahan Daerah melaksanakan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan Daerah. Selanjutnya dalam Pasal
20 ayat (1) bahwa Urusan
pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan Daerah provinsi diselenggarakan: a.
sendiri oleh Daerah provinsi; b. dengan cara menugasi Daerah kabupaten/kota berdasarkan
asas Tugas Pembantuan; atau c. dengan cara menugasi Desa. Ayat (2)
bahwa Penugasan oleh Daerah provinsi kepada
Daerah kabupaten/kota berdasarkan asas Tugas Pembantuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dan kepada Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
c ditetapkan dengan peraturan gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Ketentuan lebih
lanjut mengenai pelaksanaan urusan pemerintahan konkuren akan diatur dalam
peraturan pemerintah (Pasal 21).
Terkait dengan kewenangan Daerah Provinsi di laut diatur dalam Pasal 27. Pada ayat (1) disebutkan bahwa Daerah provinsi diberi kewenangan untuk
mengelola sumber daya alam di laut yang ada di wilayahnya. Ayat (2)
Kewenangan Daerah provinsi untuk mengelola sumber daya alam di laut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan
pengelolaan kekayaan laut di luar minyak dan gas bumi; b. pengaturan
administratif; c. pengaturan tata ruang; d. ikut serta dalam memelihara
keamanan di laut; dan e. ikut serta dalam mempertahankan kedaulatan negara. Ayat (3) menyebutkan bahwa Kewenangan Daerah provinsi untuk
mengelola sumber daya alam di laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas
dan/atau ke arah perairan kepulauan.
Secara lebih rinci pembagian urusan pemerintahan tertera dalam lampiran Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
undang-undang ini yaitu sebagaimana matrik berikut:[7]
Y. PEMBAGIAN URUSAN
BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN
NO
|
SUB URUSAN
|
PEMERINTAH PUSAT
|
DAERAH PROVINSI
|
DAERAH KABUPATEN/
KOTA
|
1
|
Kelautan,
Pesisir, dan
Pulau-Pulau
Kecil
|
a. Pengelolaan
ruang laut di atas 12 mil dan strategis nasional.
b. Penerbitan
izin pemanfaatan ruang laut nasional.
c. Penerbitan
izin pemanfaatan jenis dan genetik (plasma nutfah) ikan antarnegara.
d. Penetapan
jenis ikan yang dilindungi dan diatur perdagangannya secara internasional.
e. Penetapan
kawasan konservasi.
f. Database
pesisir dan pulau-pulau keci
|
a. Pengelolaan
ruang laut sampai dengan 12 mil di luar
minyak dan gas bumi.
b. Penerbitan
izin dan pemanfaatan ruang laut di bawah 12 mil di luar minyak dan gas bumi.
c.
Pemberdayaan masyarakat pesisir dan
pulau-pulau kecil
|
-
|
2
|
Perikanan
Tangkap
|
a. Pengelolaan
penangkapan ikan di wilayah laut di atas 12 mil.
b. Estimasi
stok ikan nasional dan jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan (JTB).
c. Penerbitan
izin usaha perikanan tangkap untuk: a. kapal perikanan berukuran di atas 30 Gross
Tonase (GT); dan b. di bawah 30 Gross Tonase (GT) yang menggunakan
modal asing dan/atau tenaga kerja asing.
d. Penetapan
lokasi pembangunan dan pengelolaan pelabuhan perikanan nasional dan internasional.
e. Penerbitan
izin pengadaan kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan dengan ukuran
di atas 30 GT.
f. Pendaftaran
kapal
|
a. Pengelolaan
penangkapan ikan di wilayah laut sampai dengan 12 mil.
b. Penerbitan
izin usaha perikanan tangkap untuk kapal perikanan berukuran di atas 5 GT sampai
dengan 30 GT.
c. Penetapan
lokasi pembangunan serta pengelolaan pelabuhan perikanan provinsi.
d. Penerbitan
izin pengadaan kapal penangkap ikan
dan kapal pengangkut ikan dengan ukuran di atas 5 GT sampai dengan 30 GT.
e. Pendaftaran
kapal perikanan di atas 5 GT sampai dengan 30 GT.
|
a.
Pemberdayaan nelayan kecil dalam Daerah kabupaten/kota.
b. Pengelolaan
dan penyelenggaraan Tempat Pelelangan Ikan TPI).
|
4
|
Pengawasan
Sumber
Daya Kelautan
dan
Perikanan
|
Pengawasan
sumber daya
kelautan dan
perikanan di
atas 12 mil,
strategis
nasional dan
ruang laut
tertentu.
|
Pengawasan
sumber daya
kelautan dan
perikanan
sampai dengan
12 mil.
|
-
|
5
|
Pengolahan dan
Pemasaran
|
a.
Standardisasi dan sertifikasi pengolahan hasil perikanan.
b. Penerbitan
izin pemasukan hasil perikanan konsumsi dan nonkonsumsi ke dalam wilayah
Republik Indonesia.
c. Penerbitan
izin usaha pemasaran dan pengolahan hasil perikanan lintas Daerah provinsi dan lintas negara
|
Penerbitan
izin usaha
pemasaran dan
pengolahan
hasil
perikanan lintas Daerah
kabupaten/kota
dalam
1 (satu)
Daerah provinsi
|
-
|
BB. PEMBAGIAN
URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEHUTANAN
NO
|
SUB URUSAN
|
PEMERINTAH PUSAT
|
DAERAH PROVINSI
|
DAERAH
KABUPATEN/
KOTA
|
2
|
Pengelolaan
Hutan
|
a.
Penyelenggaraan tata hutan.
b.
Penyelenggaraan rencana pengelolaan
hutan.
c. Penyelenggaraan
pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan.
d.
Penyelenggaraan rehabilitasi dan reklamasi
hutan.
e.
Penyelenggaraan perlindungan hutan.
f.
Penyelenggaraan pengolahan dan penatausahaan hasil hutan.
g.
Penyelenggaraan pengelolaan kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK).
|
a. Pelaksanaan
tata hutan kesatuan pengelolaan hutan
kecuali pada kesatuan pengelolaan hutan konservasi (KPHK).
b. Pelaksanaan
rencana pengelolaan kesatuan pengelolaan hutan kecuali pada kesatuan
pengelolaan hutan konservasi KPHK).
c. Pelaksanaan
pemanfaatan hutan di kawasan hutan produksi dan hutan lindung, meliputi: 1)
Pemanfaatan kawasan hutan; 2)
Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu; 3) Pemungutan hasil hutan; 4) Pemanfaatan jasa lingkungan kecuali pemanfaatan
penyimpanan dan/atau penyerapan karbon.
d. Pelaksanaan
rehabilitasi di luar kawasan hutan negara.
e. Pelaksanaan
perlindungan hutan di hutan lindung, dan hutan produksi.
f. Pelaksanaan
pengolahan hasil hutan bukan kayu.
g. Pelaksanaan
pengolahan hasil hutan kayu dengan kapasitas produksi < 6000 m³/tahun.
h. Pelaksanaan
pengelolaan KHDTK untuk kepentingan religi.
|
-
|
3
|
Konservasi
Sumber
Daya Alam
Hayati dan
Ekosistemnya
|
a.
Penyelenggaraan pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam.
b. Penyelenggaraan
konservasi tumbuhan dan satwa liar.
c.
Penyelenggaraan pemanfaatan secara lestari kondisi lingkungan kawasan
pelestarian alam.
d.
Penyelenggaraan pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar.
|
a. Pelaksanaan
perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan secara lestari taman hutan raya
(TAHURA) lintas Daerah kabupaten/kota.
b. Pelaksanaan
perlindungan tumbuhan dan satwa liar yang
tidak dilindungi dan/atau tidak masuk dalam lampiran (Appendix) CITES.
c. Pelaksanaan
pengelolaan kawasan bernilai ekosistem penting dan daerah penyangga kawasan
suaka alam dan kawasam pelestarian alam.
|
Pelaksanaan
pengelolaan
TAHURA
kabupaten/kota.
|
4
|
Pendidikan dan
Pelatihan,
Penyuluhan
dan
Pemberdayaan
Masyarakat di
bidang
Kehutanan
|
a.
Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan serta pendidikan menengah kehutanan.
b.
Penyelenggaraan penyuluhan kehutanan nasional.
|
a. Pelaksanaan
penyuluhan kehutanan provinsi.
b.
Pemberdayaan masyarakat di bidang kehutanan.
|
-
|
5
|
Pengelolaan
Daerah
Aliran Sungai
(DAS)
|
Penyelenggaraan
pengelolaan
DAS.
|
Pelaksanaan
pengelolaan DAS
lintas Daerah
kabupaten/kota
dan dalam
Daerah
kabupaten/kota
dalam
1 (satu)
Daerah provinsi
|
-
|
6
|
Pengawasan
Kehutanan
|
Penyelenggaraan
pengawasan
terhadap
pengurusan
hutan.
|
-
|
-
|
CC. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG
ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL
NO
|
SUB URUSAN
|
PEMERINTAH PUSAT
|
DAERAH PROVINSI
|
DAERAH
KABUPATEN/
KOTA
|
1
|
Geologi
|
a. Penetapan
cekungan air tanah.
b. Penetapan
zona konservasi air tanah pada cekungan air tanah lintas Daerah provinsi dan
lintas negara.
c. Penetapan
kawasan lindung geologi dan warisan geologi (geoheritage).
d. Penetapan
status dan peringatan dini bahaya gunung api.
e. Peringatan
dini potensi gerakan tanah.
f. Penetapan
neraca sumber daya dan cadangan sumber daya mineral dan energy nasional.
g. Penetapan
kawasan rawan bencana geologi.
|
a. Penetapan
zona konservasi air tanah pada cekungan air tanah dalam Daerah provinsi.
b. Penerbitan
izin pengeboran, izin penggalian, izin pemakaian, dan izin pengusahaan air
tanah dalam Daerah provinsi.
c. Penetapan
nilai perolehan air tanah dalam Daerah provinsi.
|
-
|
2
|
Mineral
dan Batubara
|
a. Penetapan
wilayah pertambangan sebagai bagian dari rencana tata ruang wilayah nasional,
yang terdiri atas wilayah usaha pertambangan, wilayah pertambangan rakyat dan
wilayah pencadangan negara serta wilayah usaha pertambangan khusus.
b. penetapan
wilayah izin usaha pertambangan mineral logam dan batubara serta wilayah izin
usaha pertambangan khusus.
c. Penetapan
wilayah izin usaha pertambangan mineral bukan logam dan batuan lintas Daerah provinsi
dan wilayah laut lebih dari 12 mil.
d. Penerbitan
izin usaha pertambangan mineral logam, batubara, mineral bukan logam dan
batuan pada: 1) wilayah izin usaha Pertambangan yang berada pada wilayah lintas Daerah provinsi;
2) wilayah izin usaha pertambangan yang berbatasan langsung dengan negara
lain; dan 3) wilayah laut lebih dari 12 mil;
e. Penerbitan
izin usaha pertambangan dalam rangka penanaman modal asing.
f. Pemberian
izin usaha pertambangan khusus mineral dan batubara.
g. Pemberian
registrasi izin usaha pertambangan dan
penetapan jumlah produksi setiap Daerah provinsi untuk komiditas mineral
logam dan batubara.
h. Penerbitan
izin usaha pertambangan operasi produksi khusus untuk pengolahan dan pemurnian
yang komoditas tambangnya yang berasal dari Daerah provinsi lain di luar lokasi
fasilitas pengolahan dan pemurnian, atau impor serta dalam rangka penanaman
modal asing. i. Penerbitan izin usaha jasa pertambangan dan surat keterangan terdaftar
dalam rangka penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing yang kegiatan
usahanya di seluruh wilayah Indonesia.
j. Penetapan
harga patokan mineral logam dan batubara.
k. Pengelolaan
inspektur tambang dan pejabat pengawas pertambangan.
|
a. Penetapan
wilayah izin usaha pertambangan mineral bukan logam dan batuan dalam 1 (satu)
Daerah provinsi dan wilayah laut sampai dengan 12 mil.
b. Penerbitan
izin usaha pertambangan mineral logam dan batubara dalam rangka penanaman
modal dalam negeri pada wilayah izin usaha pertambangan Daerah yang berada
dalam 1 (satu) Daerah provinsi termasuk wilayah laut sampai dengan 12 mil
laut.
c. Penerbitan
izin usaha pertambangan mineral bukan logam dan batuan dalam rangka penanaman
modal dalam negeri pada wilayah izin usaha pertambangan yang berada dalam 1
(satu) Daerah provinsi termasuk wilayah laut sampai dengan 12 mil laut.
d. Penerbitan
izin pertambangan rakyat untuk komoditas mineral logam, batubara, mineral bukan
logam dan batuan dalam wilayah pertambangan rakyat.
e. Penerbitan
izin usaha pertambangan operasi produksi khusus untuk pengolahan dan
pemurnian dalam rangka penanaman modal dalam negeri yang komoditas tambangnya
berasal dari 1 (satu) Daerah provinsi yang sama.
f. Penerbitan
izin usaha jasa pertambangan dan surat keterangan terdaftar dalam rangka
penanaman modal dalam negeri yang kegiatan usahanya dalam 1 (satu) Daerah
provinsi.
g. Penetapan
harga patokan mineral bukan logam dan batuan.
|
-
|
3
|
Minyak
dan Gas Bumi
|
Penyelenggaraan
minyak dan gas bumi.
|
|
|
4
|
Energi
Baru Terbarukan
|
a. Penetapan
wilayah kerja panas bumi.
b. Pelelangan
wilayah kerja panas bumi.
c. Penerbitan
izin pemanfaatan langsung panas bumi lintas Daerah provinsi.
d. Penerbitan
izin panas bumi untuk pemanfaatan tidak langsung.
e. Penetapan
harga listrik dan/atau uap panas bumi.
f. Penetapan
badan usaha sebagai pengelola tenaga air
untuk pembangkit listrik.
g. Penerbitan
surat keterangan terdaftar usaha jasa penunjang yang kegiatan usahanya dalam lintas Daerah provinsi.
h. Penerbitan
izin usaha niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain
dengan kapasitas penyediaan di atas 10.000 (sepuluh ribu) ton pertahun.
|
a. Penerbitan
izin pemanfaatan langsung panas bumi lintas Daerah kabupaten/kota dalam 1
(satu) Daerah provinsi.
b. Penerbitan
surat keterangan terdaftar usaha jasa penunjang yang kegiatan usahanya dalam 1
(satu) Daerah provinsi.
c. Penerbitan
izin, pembinaan dan pengawasan usaha niaga bahan bakar nabati (biofuel)
sebagai bahan bakar lain dengan kapasitas penyediaan sampai dengan 10.000
(sepuluh ribu) ton per tahun.
|
Penerbitan
izin pemanfaatan
langsung panas
bumi dalam Daerah kabupaten/kota.
|
5
|
Ketenagalistrikan
|
a. Penetapan
wilayah usaha penyediaan tenaga listrik dan izin jual beli tenaga listrik
lintas negara.
b. Penerbitan
izin usaha penyediaan tenaga listrik lintas Daerah provinsi, badan usaha
milik negara dan penjualan tenaga listrik serta penyewaan jaringan kepada
penyedia tenaga listrik lintas Daerah provinsi atau badan usaha milik negara.
c. Penerbitan
izin operasi yang fasilitas instalasinya mencakup lintas Daerah provinsi atau
berada di wilayah di atas 12 mil laut.
d. Penetapan
tarif tenaga listrik untuk konsumen dan penerbitan izin pemanfaatan jaringan untuk
telekomunikasi, multimedia, dan informatika dari pemegang izin yang ditetapkan
oleh Pemerintah Pusat.
e. Persetujuan
harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik, rencana usaha penyediaan
tenaga listrik, penjualan kelebihan tenaga listrik dari pemegang izin yang ditetapkan
oleh Pemerintah Pusat.
f. Penerbitan
izin usaha jasa penunjang tenaga listrik yang dilakukan oleh badan usaha
milik negara atau penanam modal asing/mayoritas sahamnya dimiliki oleh penanam
modal asing.
g. Penyediaan
dana untuk kelompok masyarakat tidak mampu,
pembangunan sarana penyediaan tenaga listrik belum berkembang, daerah
terpencil dan perdesaan.
|
a. Penerbitan
izin usaha penyediaan tenaga listrik non badan usaha milik negara dan
penjualan tenaga listrik serta penyewaan jaringan kepada penyedia tenaga listrik
dalam Daerah provinsi.
b. Penerbitan
izin operasi yang fasilitas instalasinya dalam Daerah provinsi.
c. Penetapan
tarif tenaga listrik untuk konsumen dan penerbitan izin pemanfaatan jaringan untuk
telekomunikasi, multimedia, dan informatika dari pemegang izin yang
ditetapkan oleh Pemerintah Daerah provinsi.
d. Persetujuan
harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik, rencana usaha
penyediaan tenaga listrik, penjualan kelebihan tenaga listrik dari pemegang
izin yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah provinsi.
e. Penerbitan
izin usaha jasa penunjang tenaga listrik bagi badan usaha dalam negeri/mayoritas
sahamnya dimiliki oleh penanam modal dalam negeri.
f. Penyediaan
dana untuk kelompok masyarakat tidak mampu, pembangunan sarana penyediaan
tenaga listrik belum berkembang, daerah terpencil dan perdesaan.
|
-
|
2. Implikasi Alih Kewenangan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam
Secara
normative, pengaturan urusan pemerintahan dimaksud sepertinya sederhana, karena
hanya sekedar pengalihan kewenangan dalam pengurusan dan pengelolaannya. Namun,
bila dikaji dengan cermat, alih kewenangan beberapa urusan pemerintahan pada
berbagai sektor dapat dipastikan akan berimplikasi secara politik (kebijakan sentralisasi
dan desentralisasi), secara yuridis (terkait dengan hak dan kewajiban,
tanggungjawab dan tanggung gugat). Oleh karena itu, pada tataran implementasi
undang-undang ini, kiranya perlu hati-hati dan cermat, jangan sampai tujuan
untuk mendorong peningkatan efektivitas pemerintahan dalam rangka memantapkan
pembangunan secara menyeluruh dengan menekankan
pembangunan keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis SDA yang tersedia, SDM yang berkualitas, serta kemampuan iptek, sebagaimana RPJMN 2015-2019, tapi
yang terjadi justru
sebaliknya.
a.
Implikasi terhadap struktur kelembagaan
Dengan
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, berimplikasi
terhadap penyelenggaraan berbagai urusan pemerintahan dalam rangka pelayanan
terhadap masyarakat dan pengelolaan sumberdaya alam. Terkait dengan pengelolaan
sumberdaya alam, terutama pada sektor Kelautan dan Perikanan, Kehutanan,
dan sektor energi dan sumberdaya mineral
(ESDM), implikasi tersebut bukan hanya berkait dengan kewenangan (siapa
melakukan apa), tapi juga berimplikasi pada struktur organisasi/kelembagaan,
personil, pendanaan, sarana dan prasarana, dokumen serta berbagai kebijakan dan keputusan terkait dengan penyelenggaraan yang telah dilakukan
selama ini.
Berkenaan dengan hal ini, Pasal 404 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 menyatakan bahwa serah terima personel, pendanaan, sarana
dan prasarana, serta dokumen (P3D) sebagai akibat pembagian urusan pemerintahan
antara pemerintah pusat, daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota yang diatur
berdasarkan undang-undang ini dilakukan paling lama 2 (dua) tahun terhitung
sejak undang-undang ini diundangkan. Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 404
di atas, siklus anggaran dalam APBN dan APBD, serta untuk menghindari stagnasi
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang berakibat terhentinya pelayanan kepada
masyarakat, maka penyelenggaraan urusan pemerintahan konkuren yang bersifat
pelayanan kepada masyarakat luas dan masif, yang pelaksanaannya tidak dapat
ditunda dan tidak dapat dilaksanakan tanpa dukungan P3D, tetap dilaksanakan
oleh tingkatan/susunan pemerintahan yang saat ini menyelenggarakan urusan
pemerintahan konkuren tersebut sampai dengan diserahkannya P3D.
Kementerian
Dalam Negeri, telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 120/253/Sj, tanggal
16 Januari 2015 Tentang Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Setelah
Ditetapkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Surat Edaran dimaksud sebagai pedoman bagi
daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan setelah diberlakukannya Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah selama masa transisi sebelum diterbitkannya ketentuan pelaksanaan dari
undang-undang tersebut.
Dalam Surat Edaran ini disebutkan, bahwa gubernur,
bupati dan walikota diminta untuk menyelesaikan secara seksama inventarisasi
P3D antar tingkatan /susunan pemerintahan sebagai akibat pengalihan urusan
pemerintahan konkuren paling lambat tanggal 31 Maret 2016 dan serah terima P3D
paling lambat tanggal 2 Oktober 2016. Hasil inventarisasi P3D tersebut menjadi
dokumen dan dasar penyusunan RKPD, KUA/PPAS dan Rancangan Peraturan Daerah
tentang APBD Provinsi / Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2017. Gubernur,
bupati/walikota segera berkoordinasi terkait dengan pengalihan urusan
pemerintahan konkuren. Melakukan koordinasi dengan kementerian/lembaga terkait
yang membidangi masing-masing urusan pemerintahan dan dapat difasilitasi oleh
Kementerian Dalam Negeri. Melakukan koordinasi dengan pimpinan DPRD
masing-masing; dan Melaporkan pelaksanaan Surat Edaran tersebut kepada Menteri
Dalam Negeri.
b. Implikasi terhadap stakeholders dan pemangku kepentingan
1) Potensi konflik antara Pemerintah kabupaten/kota dengan Pemerintah
Provinsi/Pusat
Ditarik atau dialihkannya kewenangan dalam
penyelenggaraan urusan pemerintahan sektor sumberdaya alam dari kabupaten/kota
menjadi urusan provinsi/pusat, walaupun merupakan urusan pemerintahan konkuren
yang sifatnya pilihan, dapat menjadi potensi timbulnya konflik atau paling
tidak dapat terjadi disharmoni hubungan antara pemerintah kabupaten dengan pemerintah
provinsi/pusat. Apalagi bila kabupaten/kota tersebut memiliki banyak potensi
sumberdaya alam, dan skema bagi hasil dirasakan tidak cukup memadai, maka akan
menjadi pemicu timbulnya konflik yang semakin besar. Kondisi seperti ini yang pernah terjadi pada
masa berlakunya Undang-Undang No. 5 tahun 1974. Apabila tidak hati-hati dan
cermat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang secara
kewilayahan berada pada wilayah kabupaten/kota, tidak memperhatikan asas
keadilan dan pemerataan, maka dikhawatirkan akan timbul sentimen kedaerahan
yang berlebihan dan terjadi konflik kepentingan, yang tentunya akan berdampak
tidak baik bagi upaya pembangunan daerah dan pembangunan nasional.
2) Potensi konflik antara masyarakat dan pelaku usaha dengan pemerintah Provinsi/Pusat
Pengalihan kewenangan penyelenggaraan urusan
pemerintahan bidang sumberdaya alam ini juga dapat memicu konflik antara
masyarakat dan pelaku usaha dengan pemerintah Provinsi/Pusat. Hal
ini antara lain disebabkan: bagi masyarakat, akan semakin jauhnya rentang akses
informasi dan pemberian perlindungan atas pemenuhan hak-hak masyarakat terutama
masyarakat yang berada di sekitar usaha, manakala berhadapan dengan suatu
persoalan. Sedangkan terhadap pelaku usaha, dengan semakin jauhnya rentang kendali,
semakin besar peluang para pelaku usaha untuk melakukan penyimpangan, apalagi
dalam pelaksanaanya nanti instrument dan sistem pengawasan tidak dilaksanakan
dengan baik. Potensi konflik antara pelaku usaha dengan pemerintah
provinsi/pusat dapat juga terjadi, terkait dengan masa transisi dalam alih
kewenangan, seperti halnya konflik antara PT. Pelindo Bengkulu dengan
pemerintah Provinsi Bengkulu (Gubernur) pada beberapa waktu yang lalu, dimana kegiatan bongkar
muat barang pada pelabuhan PT. Pelindo II Bengkulu dihentikan dan dua alat
bongkar muat barang disegel oleh penyidik Subdit Tipidter Dit Reskrimsus
Polda Bengkulu, dengan alasan karena kegiatan pelayanan jasa bongkar muat yang
dilakukan oleh PT. Pelindo II Bengkulu tidak memiliki izin dari Pemerintah
Provinsi Bengkulu, padahal PT. Pelindo II Bengkulu memiliki izin berdasarkan
Keputusan Menteri Perhubungan No. 936 Tahun 2012 tentang Pemberian Izin Usaha
Kepada PT. Pelindo II (Persero), karena sebelum dikeluarkannya Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, memang merupakan kewenangan
Kementerian Perhubungan dan BUMN.[8]
c. Implikasi terhadap peraturan sektoral dan berbagai produk hukum daerah
1) Peraturan perundang-undangan sektoral
Berkenaan dengan alih kewenangan ini, kiranya terhadap
berbagai ketentuan peraturan perundangan-undangan sektoral, perlu dilakukan
penyesuaian dan penyelarasan. Undang-undang yang bersifat sektoral seperti UU
Kehutanan, UU Perkebunan, UU Pertambangan, UU Pengelolaan Pesisir, Laut, dan
Pulau-pulau Kecil, UU Perikanan, dan undang-undang sektoral terkait lainnya
terutama yang mengatur dan memberikan kewenangan kepada bupati/walikota dalam
penyelenggaraan urusan pemerintahannya, termasuk peraturan pelaksanaanya.
Penyesuaian dan penyelarasan undang-undang sektoral ini dapat saja
diperdebatkan, mana yang harus menyesuaikan, apakah UU sektoral atau UU Pemda,
mana yang spesialis dan mana yang generalis. Terlebih lagi untuk melakukan
perbaikan/penyesuaian agar tidak bertentangan antar undang-undang tersebut, bukanlah
pekerjaan yang mudah, dan butuh waktu yang panjang.
2) Produk hukum
daerah
a. Peraturan tingkat daerah
Berbagai peraturan di tingkat daerah baik berupa
peraturan daerah dan peraturan kepala daerah kabupaten/kota, yang mengatur
pengelolaan sumberdaya alam yang semula menjadi kewenangannya, harus ditinjau
ulang bahkan dicabut atau dinyatakan tidak berlaku. Hal ini penting, guna mewujudkan
ketertiban dan memberikan kepastian hukum. Sebaliknya bagi pemerintah provinsi
dan atau pemerintah pusat perlu membuat regulasi baru sebagai dasar atau payung
hukum dalam pelaksanaan apa yang menjadi kewenangannya dalam melakukan
pengelolaan sumberdaya alam.
b. Keputusan (perizinan)
Dengan telah dialihkannya kewenangan bupati/walikota
dalam hal pengelolaan sumberdaya alam, khususnya sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, maka bupati/walikota tidak
berwenang lagi untuk menerbitkan keputusan kepala
daerah terkait dengan penetapan perizinan pengelolaan sumberdaya alam dimaksud.
Sedangkan terhadap keputusan perizinan yang telah dikeluarkan, berdasarkan AUPB
(asas kepercayaan, asas kepastian hukum, asas keadilan, asas kebijakan yang
memberatkan tidak boleh berlaku surut) seharusnya masih dinyatakan tetap
berlaku sampai dengan berakhirnya masa izin yang diberikan.
Namun yang menjadi persoalan manakala masa izin
masih berlaku cukup lama, apakah pejabat pemberi izin masih mau melakukan
pengawasan atas keputusan izin yang telah dikeluarkan. Karena berdasarkan asas
hukum administrasi (contrarius actus),
pejabat pemberi izin merupakan pejabat yang berwenang untuk melakukan
pengawasan dan penegakan hukum atas keputusan izin yang dikeluarkan, padahal
kewenangan atas urusan pemerintahan dimaksud telah dicabut/dialihkan. Hal ini
yang kiranya perlu dikoordinasikan antara pemerintah provinsi/pusat dengan
pemerintah kabupaten/kota.
Sedangkan
untuk perizinan baru, berdasar Surat Edaran Mendagri Nomor
120/253/Sj, tanggal 16 Januari 2015 Tentang Penyelenggaraan
Urusan Pemerintahan Setelah Ditetapkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
Tentang Pemerintahan Daerah, pada angka 3
disebutkan khusus
penyelenggaraan perizinan dalam bentuk pemberian
atau pencabutan izin dilaksanakan oleh susunan/tingkatan pemerintahan
sesuai dengan pembagian urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 dengan mengutamakan kecepatan dan kemudahan
proses pelayanan perizinan serta mempertimbangkan proses dan tahapan yang sudah
dilalui. Berdasarkan surat edaran ini berarti bahwa pemerintah kabupaten/kota
tidak lagi memiliki kewenangan untuk menerbitkan izin baru, karena sudah
menjadi kewenangan sesuai dengan ketentuan undang-undang tentang pemerintahan
daerah, padahal ketentuan peraturan pelaksanaan yang bersifat teknis sebagai
dasar hukum penerbitan izin baik tingkat pusat maupun provinsi belum ada.
Sehubungan dengan hal ini, untuk menghindari terjadi kekeliruan, sebaiknya
dilakukan moratorium sementara bagi penerbitan perizinan baru. Demikian juga
untuk pencabutan izin yang sudah ada, apakah pemerintah provinsi/pusat
(gubernur/menteri terkait) memiliki kewenangan untuk mencabut keputusan izin,
karena yang menerbitkannya adalah bupati/walikota?
C. Penutup
1.
Simpulan
Bahwa
urusan pemerintahan di bidang pengelolaan sumberdaya alam merupakan urusan
pemerintahan konkuren yang bersifat pilihan, berpotensi untuk penyerapan tenaga
kerja dan pemanfaatan lahan, serta berbasis ekosistem. Pengaturan dan pembagian
urusan pemerintahan di bidang pengelolaan sumberdaya alam berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah dimaksudkan sebagai
upaya agar
penyelenggaraan urusan pemerintahan pada sektor dimaksud jauh lebih bersih,
akuntabel, efektif-efisien, dan mampu memberikan jaminan bagi upaya pelestarian
fungsi lingkungan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan.
Bahwa alih
kewenangan dalam peyelenggaraan urusan pemerintahan pada sektor sumberdaya alam
berdasarkan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, akan berimplikasi terhadap struktur kelembagaan, stakeholders dan pemangku kepentingan, peraturan sektoral dan berbagai produk hukum daerah. Untuk itu,
dalam pelaksanaan kewenangan dimaksud, perlu kehati-hatian dan kecermatan guna
meminimalisir implikasi yang bersifat negatif.
2.
Saran
1) Pemerintah
harus segera menerbitkan berbagai peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, guna menghindari terjadinya
potensi konflik terutama terkait dengan persoalan pelaksanaan kewenangan pusat
dan daerah, dan antardaerah, khususnya terkait dengan aspek perizinan.
Peraturan pelaksanaan dimaksud sekaligus akan menjadi dasar bagi pemerintah
provinsi dalam membuat regulasi di tingkat daerah.
2) Pada
masa transisi saat ini yang tidak lama lagi (tanggal 31 Maret
2016), perlu segera dilakukan koordinasi terkait dengan alih
kewenangan dimaksud antara Pemerintah Provinsi, DPRD, Kementerian sektoral
terkait dengan pemerintah kabupaten/kota, guna mengantisipasi agar tidak
terjadi tumpang tindih kewenangan, yang pada akhirnya akan menimbulkan polemik
dan potensi konflik.
Daftar Pustaka
Iskandar,
2015, Perizinan Usaha Pelayanan Jasa Bongkar-Muat Barang PT. Pelindo II
Bengkulu, Kewenangan Gubernur, dan Penegakan Hukum (Telaah Singkat Dari Aspek
Hukum Adminisitasi), artikel, Biro Hukum Setda Provinsi Bengkulu.
----------, 2014, Instrumen Ekonomi Dalam Kebijakan Lingkungan (Kajian Pengaturan Dalam Hukum Positip dan
Perspektif Pengaturan Di Daerah Sebagai Solusi Alternatif Pencegahan Kerusakan
Lingkungan dan Konflik Pascatambang, Jurnal Progresif, FH-UBB.,
Bangka Belitung.
------------, Aktualisasi Prinsip Hukum Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup Dalam
Kebijakan Perubahan Peruntukan, Fungsi, dan
Penggunaan Kawasan Hutan, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 11 No. 3, September 2011, FH UNSOED, Purwokerto.
Iskandar, et.al., 2012, Potret Hukum, Mentalitas
Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Suatu Kajian
dari Perspektif Konsep Etika Uber
Ich Sigmund Freud dan Good
Governance, Penerbit
Total Media, Jakarta.
---------, et.al., Kajian Pengaturan
Perizinan Usaha Perkebunan Di Provinsi Bengkulu, Laporan Penelitian,
Disbun Prov. Bengkulu, 2012.
---------, et.al., Kajian Pengaturan
Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara Di Provinsi Bengkulu, Laporan
Penelitian, Dinas ESDM Prov. Bengkulu, 2012.
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta.
Peraturan:
UUD NKRI tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah.
Surat Edaran Nomor
120/253/Sj, tanggal 16 Januari 2015 Tentang Penyelenggaraan
Urusan Pemerintahan Setelah Ditetapkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
Tentang Pemerintahan Daerah
· Artikel,
disampaikan pada Seminar dengan Tema: “Mendorong
Efisiensi Pemberlakuan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang
pemerintahan Daerah Terhadap
Perbaikan dan Penataan Izin Pertambangan dan Perkebunan di Provinsi Bengkulu,
yang diselenggarakan oleh WALHI-Bengkulu, tanggal 11 Juni 2015, di Samudra
Dwinka Hotel, Bengkulu.
**Staf
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Bengkulu.
[1] Lihat
Iskandar, Aktualisasi Prinsip Hukum
Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup Dalam Kebijakan Perubahan Peruntukan,
Fungsi, dan Penggunaan Kawasan Hutan,
Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 11
No. 3, September 2011, FH UNSOED, Purwokerto, hlm. 513.
[2]
Iskandar, et.al., 2012, Kajian Pengaturan Perizinan Usaha Perkebunan
Di Provinsi Bengkulu, Laporan Penelitian, Disbun Prov. Bengkulu,
hlm. 23.
[3] Iskandar, et.al.,
2012, Kajian Pengaturan Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara Di
Provinsi Bengkulu, Laporan Penelitian, Dinas ESDM Prov. Bengkulu,
hlm. 15.
[4]
Iskandar, 2014, Instrumen Ekonomi Dalam
Kebijakan Lingkungan (Kajian Pengaturan
Dalam Hukum Positip dan Perspektif Pengaturan Di Daerah Sebagai Solusi
Alternatif Pencegahan Kerusakan Lingkungan dan Konflik Pascatambang, Jurnal
Progresif, FH-UBB., Bangka Belitung, hlm. 5.
[5] Lihat
Iskandar, et.al., 2012, Potret Hukum, Mentalitas
Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Suatu Kajian
dari Perspektif Konsep Etika Uber
Ich Sigmund Freud dan Good
Governance, Penerbit
Total Media, Jakarta, hlm 245.
[6]
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian
Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 22.
[8]
Lihat Iskandar, 2015, Perizinan Usaha Pelayanan Jasa Bongkar-Muat
Barang PT. Pelindo II Bengkulu, Kewenangan Gubernur, dan Penegakan Hukum
(Telaah Singkat Dari Aspek Hukum Adminisitasi), artikel, Biro Hukum
Setda Provinsi Bengkulu.
Wynn Las Vegas and Encore at Wynn Hotel and Casino - JTM Hub
BalasHapusFeaturing upscale accommodations and signature restaurants, Wynn Las Vegas and Encore at Wynn Hotel and 익산 출장샵 Casino provides 사천 출장안마 an 충청남도 출장샵 unforgettable 남원 출장마사지 experience 보령 출장안마