INSTRUMEN EKONOMI DALAM
KEBIJAKAN LINGKUNGAN
(Kajian Pengaturan Dalam Hukum Positip dan
Perspektif Pengaturan Di Daerah Sebagai Solusi Alternatif Pencegahan Kerusakan
Lingkungan dan Konflik Pascatambang)
ABSTRAK
Oleh: Iskandar
Dosen
Hukum Lingkungan, Fakultas Hukum Universitas Bengkulu (FH-UNIB),
HP. 0811738171,
email: suttaniskandar@yahoo.com
Kegiatan
penambangan tentu akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan, baik dampak
positif maupun negatif. Terhadap dampak negatif yang terjadi pada saat operasi
dan atau pasca operasi, tentu akan memicu timbulnya konflik. Dampak negatif terjadi
disebabkan lemahnya kesadaran lingkungan dan lemahnya penegakan hukum. Kajian
ini mendeskripsikan konsep instrumen ekonomi dalam kebijakan lingkungan,
sebagai solusi alternatif dalam mencegah timbulnya kerusakan lingkungan dan
konflik pada sektor pertambangan. Isu hukum yang dikaji yaitu bagaimana
pengaturan instrumen ekonomi lingkungan dalam konteks ius contitutum dan ius
constituendum. Pendekatan dilakukan secara yuridis normatif. Pengumpulan bahan
hukum melalui studi kepustakaan. Analisis dilakukan secara yuridis kualitatif.
Hasil analisis diuraikan secara deskriptif-preskriptif. Berdasarkan hasil
kajian dapat dikemukakan bahwa pengaturan instrumen ekonomi dalam hukum positip
(ius constitutum) telah diatur dalam
UUPPLH dan UU Minerba, sedangkan pada UU Migas, UU Panas Bumi, dan UU Energi
tidak diatur. Perspektif pengaturan instrumen ekonomi lingkungan di
daerah
(ius constituendum) melalui peraturan tingkat daerah sangat dimungkinkan,
bahkan menjadi keharusan sesuai dengan karakteristik masing-masing daerah.
Beberapa konsep terkait dengan instrumen ekonomi yang dapat dibuat regulasinya
yaitu mitigasi lingkungan, deposit atau uang jaminan, asuransi lingkungan,
insentif dan disinsentif, serta konsep perusak membayar (destroyer pays principle). Pengaturan dan penerapan instrumen
tersebut diyakini dapat meminimalisir kerusakan lingkungan dan mencegah timbulnya
konflik pascatambang.
Kata Kunci: Instrumen
Ekonomi, Lingkungan, Pengaturan, Konflik, Pascatambang.
ECONOMIC INSTRUMENTS IN ENVIRONMENTAL POLICY
(A Study The Positive
And Perspectives Regulations In The Alternative Solutions
For The Prevention Environmental Damages And Post-Mining Conflict)
ABSTRACT
Iskandar
Lecturer of
Environmental Law, Law Faculty of Bengkulu University (FH-UNIB), MOB.
0811738171, Email: suttaniskandar@yahoo.com
Mining activities should
have impacts to the environment, both positive and negative impacts. To the
negative impacts that occur during or the operation before and after. The
negative impacts caused due to lack of environmental awareness and law
enforcement weakness. This study describes the concept of economic instruments
in environmental policy, as an alternative solution to prevent environmental
damages and conflicts in the mining sector. Legal issues that were examined are
how the regulation in the context of environmental economic instruments as the law
as ius contitutum and ius constituendum. The approach of this studi a normative legal analysis. The data were collected through the study of
literature. Qualitative descriptive analysis
was performed. The results of the analysis described in the descriptive-prescriptive.
Based on the results of the study, it can be stated that the regulation of
economic instruments in the positive law (ius constitutum) has been determined
in UUPPLH and Mining Law. On the contrary the Oil and Gas Law, the Law on
Geothermal, and Energy Act don’t contain that. Perspective regulation in the field of environmental economic instruments (ius constituendum) can
be designed in local legislation. Even it is crucial thing in accordance to the
characteristics of each region. Some concepts related to economic instruments
can be created about environmental mitigation regulations, deposit or security
deposit, environmental insurance, incentives and disincentives, as well as the
concept of paying destroyer (destroyer pays principle). Regulation and application of these instruments are believed to minimize
environmental damages and prevent the onset of post-mining conflicts.
Keywords: Economic Instruments, Environmental, Regulation, Conflicts, Post-mining.
INSTRUMEN EKONOMI DALAM
KEBIJAKAN LINGKUNGAN
(Kajian Pengaturan Dalam Hukum
Positip dan Perspektif Pengaturan Di Daerah Sebagai Solusi Alternatif Pencegahan
Kerusakan Lingkungan dan Konflik Pascatambang)*
Oleh:
Iskandar**
A. Pendahuluan
1.
Latar belakang
Sumberdaya pertambangan mineral, batubara termasuk
minyak dan gas bumi merupakan salah satu sumberdaya alam yang dikuasai oleh
negara, dan harus dapat dimanfaatkan secara optimal untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Terkait dengan hal ini, telah dikeluarkan beberapa undang-undang sektor energi
seperti Undang-undang No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi, Undang-undang No. 27 Tahun 2003 Tentang Panas Bumi, Undang-undang
No. 30 Tahun 2007 tentang Energi,
Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba. Undang-undang tersebut telah membagi
kewenangan mengelola untuk tiga level pemerintah, yaitu pemerintah pusat,
provinsi dan, kabupaten/kota. Kewenangan tersebut dirangkum menjadi kewenangan
memberikan izin, kewenangan membina, dan kewenangan mengawasi kegiatan
pertambangan.
Kegiatan penambangan tentu akan menimbulkan dampak
terhadap lingkungan, baik dampak positif maupun negatif.
Dampak positif kegiatan penambangan antara lain meningkatkan kesempatan kerja,
meningkatkan roda perekonomian sektor dan sub sektor lain di sekitarnya, dan
menambah pendapatan negara maupun daerah dalam bentuk pajak, retribusi ataupun
royalti. Namun demikian, kegiatan penambangan yang tidak mempertimbangkan aspek
keseimbangan dan daya dukung lingkungan, serta tidak dikelola dengan baik tentu
akan menimbulkan dampak negatif
terhadap lingkungan. Untuk
menghindari berbagai dampak negatif yang pada akhirnya menimbulkan konflik, maka pengelolaan pertambangan
yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan mutlak harus dilakukan.
Dilihat dari aspek kebijakan, konflik pada sektor pertambangan dapat terjadi karena belum tersusunnya kebijakan pemanfaatan sumberdaya alam secara optimal oleh pemerintah dan pemerintah daerah sebagai suatu kepentingan nasional, serta belum didukung optimasi national resources
sustainability antara pertambangan,
kehutanan, lingkungan hidup yang seharusnya dibentuk dalam managemen yang integral/terpadu.
Akibatnya pengelolaan pertambangan
mengalami berbagai persoalan baik dari aspek lingkungan hidup, aspek sosial,
aspek hukum, ekonomi dan aspek politik.
Dalam praktiknya banyaknya izin tambang yang dikeluarkan tidak sesuai dengan ketentuan yang
berlaku dalam arti tidak memenuhi persyaratan lingkungan (izin lingkungan),
bahkan terhadap izin usaha/kegiatan yang telah diberikan juga tidak diikuti dengan pelaksanaan pengawasan yang baik oleh
pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota yang menerbitkan izin tersebut. Kondisi
ini tentunya berakibat buruk bagi lingkungan yang pada akhirnya menimbulkan konflik, karena berdampak
negatif pada masyarakat dan lingkungan
serta akan
merugikan dan merepotkan negara
dalam mengatasi persoalan
tersebut.
Persoalan konflik yang terjadi pada sektor
pertambangan tidak hanya disebabkan oleh masalah perizinan semata, tapi juga konflik berkenaan dengan persoalan ekonomi. Penyebabnya
yaitu masyarakat hanya menjadi penonton dan tidak mendapat manfaat dari pertambangan
tersebut. Padahal, kehadiran perusahaan seharusnya mampu
membawa perubahan positif dan menjadi penggerak roda perekonomian masyarakat. Sehingga masyarakat ikut melakukan kegiatan
usaha pertambangan sendiri namun tanpa izin (PETI). PETI secara substansial memang
menunjang peningkatan ekonomi dan sosial masyarakat, meski dalam praktiknya
kegiatan penambangan ini melanggar
hukum, karena menimbulkan kerusakan lingkungan, melanggar tata ruang, melanggar
wilayah operasi perusahaan tambang tertentu, serta mengabaikan perlindungan
terhadap kesehatan dan keselamatan kerja.
Persoalan pembebasan dan penguasaan lahan, atau karena besarnya ganti rugi lahan yang tidak
memadai juga dapat menjadi penyebab konflik. Selain itu, pada saat kegiatan pertambangan tengah
berlangsung dan atau pascatambang, gangguan, ancaman, dan
bahaya bagi lingkungan dan masyarakat seringkali terjadi, juga menyebabkan
terjadinya konflik. Akibat dari konflik tersebut, pada akhirnya menimbulkan korban bukan hanya harta benda tapi
juga korban jiwa manusia.
Kondisi demikian ini, tentunya
membutuhkan solusi dalam penangannya, agar tidak terjadi lagi atau paling tidak
dapat mengurangi intensitas tingkat terjadinya konflik pada kegiatan sektor
pertambangan. Pada tulisan ini, mencoba untuk mengkaji instrumen ekonomi lingkungan sebagai solusi alternatif penanganan konflik pascatambang sebagaimana
topik yang diangkat pada kegiatan Semirata BKS PTN Fakultas Hukum Wilayah Barat
di Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung, yaitu “Lingkungan dan Konflik Pascatambang”.
2. Identifikasi masalah
Permasalahan lingkungan hidup
demikian rumit dan kompleks, maka sangat disadari dalam mengkaji persoalan
tersebut tidak cukup hanya menggunakan
pendekatan satu disiplin ilmu, melainkan harus dikaji secara multi dan
interdisiplin ilmu. Ilmu hukum merupakan salah satu dari berbagai disiplin ilmu
yang dapat digunakan sebagai instrumen dalam rangka memberikan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup, termasuk didalamnya perlindungan dan pengelolaan
sumberdaya alam, yang dalam konteks ini yaitu sumberdaya pada sektor
pertambangan.
Pendekatan ilmu hukum yaitu dalam
pelaksanaan penegakan hukum lingkungan pada sektor pertambangan dengan
menggunakan instrumen hukum lingkungan administratif, dihadapkan pada persoalan
utama berkait dengan mentalitas negatif (prilaku korupsi, kolusi, dan
nepotisme/KKN di bidang perizinan)
para pengambil keputusan dan para pelaku usaha/kegiatan, yang pada akhirnya
penegakan hukum administrasi tidak dapat berjalan dengan baik. Dalam praktik, penegakan
hukum pidana lingkungan juga tidak mampu menyelesaikan berbagai persoalan
pelanggaran pidana lingkungan. Demikian pula halnya
penerapan instrumen hukum lingkungan keperdataan gugatan melalui proses peradilan, seringkali dihadapkan pada sulitnya dalam proses
pembuktian di persidangan, kalaupun
tergugat dinyatakan bersalah pada persidangan tingkat pertama dan harus
membayar ganti rugi, tergugat tentu akan banding, kasasi dan seterusnya. Pada akhirnya korban tetap
menjadi korban, kerugian dan kerusakan lingkungan juga tetap terus berkelanjutan.
Tulisan pada artikel ini, dicoba untuk menawarkan pemikiran dan bahan diskusi dalam
seminar ini, dengan mengangkat isu/tema sentral tentang “Instrumen Ekonomi Dalam Kebijakan Lingkungan Hidup”,
yaitu bagaimana pengaturan instrumen
ekonomi lingkungan hidup dalam ketentuan hukum positif pada sektor
pertambangan (ius constitutum)?,
bagaimana perspektif pengaturan instrumen ekonomi lingkungan sebagai solusi alternatif pencegahan kerusakan lingkungan
dan konflik pascatambang di daerah (ius constituendum)?
3. Metode kajian
Kajian ini menggunakan pendekatan
secara yuridis normatif, dengan mengkaji instrumen ekonomi lingkungan hidup sebagai suatu asas atau prinsip hukum
dan atau sebagai norma atau kaidah hukum dalam rangka mendeskripsikan solusi alternatif
penyelesaian konflik pascatambang. Metode pengumpulan bahan hukum melalui studi kepustakaan.
Analisis dilakukan secara yuridis
kualitatif,
dengan berdasarkan pada teori dan asas-asas hukum sebagai suatu prinsip dasar
dalam pengelolaan sumberdaya alam
dan lingkungan hidup. Berdasarkan hasil analisis lalu
dideskripsikan sesuai dengan karakteristik keilmuan hukum yaitu preskriptif, dan ditarik kesimpulan sebagai
jawaban atas isu/masalah yang
diangkat.
B.
Hasil dan Pembahasan
1.
Pengaturan instrumen
ekonomi lingkungan hidup dalam hukum positif (ius constitutum)
a. Pengaturan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UUPPLH)
UUPPLH mengatur instrumen baru dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yaitu instrumen ekonomi
lingkungan hidup. Instrumen ekonomi
lingkungan hidup adalah seperangkat kebijakan ekonomi
untuk mendorong pemerintah, pemerintah daerah, atau setiap orang ke arah
pelestarian fungsi lingkungan hidup. Dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan
hidup, Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengembangkan dan menerapkan
instrumen ekonomi lingkungan hidup.
Instrumen ekonomi
lingkungan hidup meliputi: a. perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi; b. pendanaan
lingkungan hidup; dan c. insentif dan/atau disinsentif. Instrumen
perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi meliputi: a. neraca sumberdaya
alam dan lingkungan hidup; b. penyusunan
produk domestik bruto dan produk domestik regional bruto yang mencakup
penyusutan sumberdaya alam dan kerusakan lingkungan hidup; c. mekanisme
kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup antar daerah; dan d. internalisasi biaya
lingkungan hidup.
Instrumen pendanaan lingkungan hidup
meliputi: a. dana jaminan pemulihan
lingkungan hidup; b. dana penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan dan
pemulihan lingkungan hidup; dan c. dana amanah/bantuan untuk konservasi. Insentif
dan/atau disinsentif antara lain diterapkan dalam bentuk: a. pengadaan barang
dan jasa yang ramah lingkungan hidup; b. penerapan pajak, retribusi, dan
subsidi lingkungan hidup; c. pengembangan sistem lembaga keuangan dan pasar modal
yang ramah lingkungan hidup; d. pengembangan
sistem perdagangan izin pembuangan limbah dan/atau emisi; e. pengembangan
sistem pembayaran jasa lingkungan hidup; f. pengembangan asuransi lingkungan
hidup; g. pengembangan sistem label ramah lingkungan hidup; dan h. sistem penghargaan kinerja
di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Substansi instrumen
ekonomi lingkungan hidup yang diatur dalam UUPPLH ini masih sangat umum, oleh karena
itu ketentuan Pasal 43 ayat (4) memerintahkan pengaturan pelaksanaan lebih lanjut dalam bentuk peraturan pemerintah,
dan di daerah tentunya juga perlu pengaturan. Instrumen ekonomi lingkungan hidup ini, merupakan pengaturan instrumen
baru dalam upaya
pengendalian kerusakan lingkungan hidup. Hanya saja kendala yang dihadapi yaitu bagaimana agar instrumen ekonomi lingkungan hidup
ini dapat dilaksanakan
oleh para pelaku usaha/kegiatan, karena jika dilihat program yang telah
diwajibkan sebelumnya kepada perusahaan yaitu misalnya program CSR, belum juga
dapat dilaksanakan dengan baik.
Namun
demikian, instrumen ekonomi lingkungan ini harus tetap dilaksanakan, karena
merupakan perintah undang-undang.
b. Pengaturan dalam undang-undang
sektoral:
1). Undang-undang Nomor 22 Tahun
2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi
Undang-undang ini tidak mengatur secara eksplisit tentang instrumen ekonomi
lingkungan. Namun ketentuan Pasal 2 undang-undang ini menyebutkan bahwa
penyelenggaraan kegiatan usaha minyak dan gas bumi berasaskan ekonomi
kerakyatan, keterpaduan, manfaat, keadilan, keseimbangan, pemerataan,
kemakmuran bersama dan kesejahteraan rakyat banyak, keamanan, keselamatan, dan
kepastian hukum serta berwawasan lingkungan. Demikian pula bila dilihat ketentuan
Pasal 3 huruf f yang menyebutkan bahwa penyelenggaraan
kegiatan usaha minyak dan gas bumi bertujuan untuk menciptakan lapangan kerja,
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang adil dan merata, serta
tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup. Dari ketentuan asas dan tujuan
undang-undang ini, secara implisit mengandung makna bahwa untuk penerapannya
dibutuhkan beberapa instrumen ekonomi lingkungan, seperti pelaksanaan asas
ekonomi kerakyatan, asas manfaat, asas keadilan, asas pemerataan, asas
kemakmuran bersama dan kesejahteraan rakyat banyak, asas keselamatan, dan asas
berwawasan lingkungan. Demikian pula pada tujuan yaitu menciptakan lapangan
kerja, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang adil dan merata,
serta tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup, tentunya untuk pelaksanaan
dibutuhkan instrumen ekonomi lingkungan.
Dalam implementasi dari undang-undang ini, dari pengamatan pada praktiknya
memang asas dan tujuan tersebut belum dilaksanakan sebagaimana mestinya. Meski beberapa
perusahaan migas baik swasta maupun BUMN telah melaksanakan program CSR sebagai
pelaksanaan undang-undang tentang perseroan terbatas dan undang-undang tentang
penanaman modal,
namun hal itu dirasakan belum cukup memadai oleh masyarakat terutama yang
berada pada wilayah ring I atau masyarakat lingkar
tambang,
dalam mengatasi persoalan menciptakan lapangan kerja, meningkatkan
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang adil dan merata, serta menjaga
kelestarian lingkungan hidup.
Untuk itu, aktualisasi instrumen ekonomi lingkungan hidup
menjadi urgen dilaksanakan oleh berbagai pihak pemangku kepentingan terkait,
sehingga konflik yang telah terjadi dan yang mungkin akan terjadi pada sektor
pertambangan minyak dan gas bumi baik pada saat operasi maupun pasca operasi
dapat diminimalisir atau bahkan ditiadakan.
2).
Pengaturan dalam Undang-undang Nomor 27 tahun 2003
Tentang Panas Bumi
Undang-undang
ini juga tidak mengatur tentang instrumen ekonomi, namun disebutkan dalam Pasal
2 bahwa penyelenggaraan kegiatan
pertambangan Panas Bumi menganut asas manfaat, efisiensi,
keadilan,
kebersamaan,
optimasi
ekonomis
dalam
pemanfaatan
sumber
daya,
keterjangkauan,
berkelanjutan, percaya dan mengandalkan pada kemampuan sendiri,
keamanan dan keselamatan,
kelestarian fungsi lingkungan hidup, serta kepastian hukum.
Kewajiban pemegang izin usaha pertambangan panas bumi:
a.
memahami dan mematuhi peraturan
perundang-undangan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja, perlindungan
lingkungan, serta memenuhi standar yang berlaku;
b.
mengelola lingkungan hidup mencakup
kegiatan pencegahan dan penanggulangan pencemaran serta pemulihan fungsi
lingkungan hidup dan melakukan reklamasi; dan
pada
huruf f. melaksanakan program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat
setempat.
Untuk
melaksanakan dan merealisasikan asas dan kewajiban tersebut tentunya diperlukan
instrumen. Salah satu instrumen yang dibutuhkan yaitu instrumen ekonomi
terutama dalam rangka penanggulangan dan pemulihan lingkungan hidup serta
program pemberdayaan masyarakat setempat. Dengan demikian diharapkan
permasalahan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat dapat ditanggulangi dengan
baik, sehingga dapat mencegah timbulnya konflik.
3). Pengaturan
dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi
Pada Pasal 2 undang-undang ini menyebutkan bahwa energi
dikelola berdasarkan asas kemanfaatan, rasionalitas, efisiensi berkeadilan,
peningkatan nilai tambah, keberlanjutan, kesejahteraan masyarakat, pelestarian
fungsi lingkungan hidup, ketahanan nasional, dan keterpaduan dengan
mengutamakan kemampuan nasional. Pasal 21 ayat (1) Pemanfaatan energi dilakukan
berdasarkan asas: a.mengoptimalkan seluruh potensi sumber daya energi; b. mempertimbangkan
aspek teknologi, sosial, ekonomi, konservasi, dan lingkungan; dan c. memprioritaskan
pemenuhan kebutuhan masyarakat dan peningkatan kegiatan ekonomi di daerah penghasil
sumber energi.
Sama halnya dengan undang-undang migas,
undang-undang ini juga tidak mengatur dan menyebutkan secara eksplisit tentang
instrumen ekonomi lingkungan hidup. Meski demikian bila dicermati ketentuan
tentang asas kemanfaatan, asas efisiensi berkeadilan, asas keberlanjutan, asas
kesejahteraan masyarakat, dan asas pelestarian fungsi lingkungan hidup, maka
dapat dipahami bahwa undang-undang ini dalam pelaksanaannya seharusnya
menerapkan instrumen ekonomi lingkungan hidup.
3).
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba
Pertambangan
mineral dan/atau batubara dikelola berasaskan: a. manfaat, keadilan, dan
keseimbangan; b. keberpihakan kepada kepentingan bangsa; c. partisipatif,
transparansi, dan akuntabilitas; d. berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Dalam
rangka mendukung pembangunan nasional yang berkesinambungan, tujuan pengelolaan
mineral dan batubara yaitu: a. menjamin efektivitas pelaksanaan dan
pengendalian kegiatan usaha pertambangan secara berdaya guna, berhasil guna,
dan berdaya saing; b. menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup; c. menjamin tersedianya mineral
dan batubara sebagai bahan baku dan/atau sebagai sumber energi untuk kebutuhan
dalam negeri; d. mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional agar lebih
mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional; e. meningkatkan
pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta menciptakan lapangan
kerja untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat; dan f. menjamin kepastian hukum
dalam penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara.
Pemegang IUP dan
IUPK wajib: a. menerapkan kaidah teknik pertambangan yang baik; b. mengelola
keuangan sesuai dengan sistem akuntansi Indonesia; c. meningkatkan nilai tambah
sumber daya mineral dan/atau batubara; d. melaksanakan pengembangan dan
pemberdayaan masyarakat setempat; dan e. mematuhi batas toleransi daya dukung
lingkungan.
Dalam penerapan kaidah teknik pertambangan yang baik, pemegang IUP dan IUPK
wajib melaksanakan: a. ketentuan keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan; b.
keselamatan operasi pertambangan; c. pengelolaan dan pemantauan lingkungan
pertambangan, termasuk kegiatan reklamasi dan pascatambang; d. upaya konservasi
sumber daya mineral dan batubara; e. pengelolaan sisa tambang dari suatu
kegiatan usaha pertambangan dalam bentuk padat, cair, atau gas sampai memenuhi
standar baku mutu lingkungan sebelum dilepas ke media lingkungan. Pemegang
IUP dan IUPK wajib menjamin penerapan standar dan baku mutu lingkungan sesuai dengan
karakteristik suatu daerah. Pemegang
IUP dan IUPK wajib menjaga kelestarian fungsi dan daya dukung sumber daya air
yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Setiap
pemegang IUP dan IUPK wajib menyerahkan rencana reklamasi dan rencana pascatambang
pada saat mengajukan permohonan IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi. Pelaksanaan
reklamasi dan kegiatan pascatambang dilakukan sesuai dengan peruntukan lahan
pascatambang.
Peruntukan lahan pascatambang dicantumkan dalam perjanjian penggunaan tanah
antara pemegang IUP atau IUPK dan pemegang hak atas tanah. Pemegang
IUP dan IUPK wajib menyediakan dana jaminan reklamasi dan dana jaminan pascatambang. Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dapat menetapkan pihak
ketiga untuk melakukan reklamasi dan pascatambang dengan dana jaminan. Apabila pemegang IUP atau IUPK tidak
melaksanakan reklamasi dan pascatambang sesuai dengan rencana yang telah disetujui. Ketentuan
mengenai reklamasi dan pascatambang serta dana jaminan reklamasi dan dana
jaminan pascatambang telah diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun
2010. Sedangkan terkait dengan perlindungan terhadap masyarakat yang terkena
dampak negatif langsung dari kegiatan usaha pertambangan berhak: a. memperoleh
ganti rugi yang layak akibat kesalahan dalam pengusahaan kegiatan pertambangan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. b. mengajukan gugatan ke
pengadilan terhadap kerugian akibat pengusahaan pertambangan yang menyalahi
ketentuan.
Dibandingkan
dengan undang-undang tentang energi dan migas, undang-undang tentang minerba
ini, telah mengatur instrumen ekonomi lingkungan yaitu berupa jaminan dana
untuk melakukan reklamasi dan pascatambang sebagaimana diatur dalam ketentuan
Pasal 100 ayat (1) dan ayat (2). Demikian pula peraturan pemerintah sebagai
pelaksanaan dari ketentuan ini telah dikeluarkan yaitu Peraturan Pemerintah
Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang. Hanya saja dalam
pelaksanaan dari ketentuan ini belum dilakukan dengan baik dan benar, bahkan
banyak perusahaan yang belum melakukan sama sekali. Lemahnya penegakan hukum
dan rendahnya tingkat kesadaran pelaku usaha/kegiatan berakibat pencemaran dan
kerusakan lingkungan masih terjadi, sehingga tidak mengherankan jika reklamasi
pascatambang masih banyak menimbulkan berbagai persoalan dan terjadi konflik.
2.
Perspektif pengaturan
instrumen ekonomi lingkungan sebagai solusi
alternatif pencegahan kerusakan lingkungan dan konflik pascatambang
di daerah (ius constituendum)
Pada kenyataannya belum setiap daerah memiliki regulasi terkait dengan
instrumen ekonomi lingkungan. Padahal rangka perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup di daerah, instrumen ekonomi lingkungan ini merupakan pelengkap dari instrumen yang sudah ada sebelumnya, seperti instrumen BML, AMDAL, UKL-UPL, izin, dan lain sebagainya. Dengan melihat kondisi
lingkungan saat ini dan pemanfaatan sumberdaya alam yang bersifat eksploitatif
dan merusak, maka para pembuat kebijakan harus memiliki
pola pikir atau mindset bahwa setiap
kali membuat kebijakan maka harus diperhitungkan pula dampaknya kepada sumberdaya alam dan lingkungan hidup.
Untuk itu diperlukan sebuah upaya agar instrumen ekonomi
lingkungan tersebut dapat diinternalisasi dalam proses perencanaan pembangunan,
terutama dalam bidang pemerintahan dalam menentukan suatu kebijakan pembangunan di daerah. Instrumen
ekonomi lingkungan akan mendorong perencana pembangunan daerah untuk
memperhitungkan secara saksama intensitas dan pola eksploitasi sumberdaya alam
dan lingkungan hidup.
Dalam suatu rencana pembangunan harus dapat memperhitungkan besarnya kebutuhan pembiayaan, yang disesuaikan dengan potensi
pendapatan daerah, termasuk dari sektor sumberdaya alam. Penghitungan
pendapatan dari sektor sumberdaya alam akan mencakup tingkat penyusutan sumberdaya alam dan degradasi lingkungan hidup
yang mungkin terjadi. Pengetahuan dan kesadaran memperhitungkan tingkat penyusutan dan degradasi lingkungan, seperti pada kasus
kebutuhan dana reklamasi bekas galian tambang dapat mendorong perencana daerah mengatur intensitas dan pola eksploitasi
sumberdaya alam di daerahnya.
Perhitungan penyusutan sumberdaya alam karena eksploitasi, yang terjadi karena laju
pemulihan sumberdaya alam lebih lambat dari laju eksploitasinya. Perlunya perhitungan tersebut, untuk mengetahui besaran dampak
negatif pemanfaatannya yang tidak terukur. Dampak
negatif yang tidak terukur tersebut selama ini tidak dihitung dalam penentuan
besaran ukuran yang ada selama ini.
Dalam merealisasikan instrumen ekonomi lingkungan sebagai upaya pencegahan
kerusakan lingkungan yang terus berlanjut, perlu adanya kesepakatan bersama tentang
hidup sadar lingkungan sehingga dapat membangun semangat kebersamaan. Di
dalam Pasal 42 dan 43 UUPPLH, berkait dengan instrumen ekonomi lingkungan
hidup, pada intinya dimaksudkan untuk menumbuhkan kesadaran lingkungan bahwa pemerintah,
pelaku usaha/bisnis, para konsumen, dan masyarakat merupakan bagian dari
lingkungan hidup.
Tantangan ke depan khususnya di daerah, bagaimana menyadarkan semua pihak
terutama pelaku usaha agar dapat melakukan usaha atau kegiatannya tanpa merasa
dibebani dari penerapan instrumen ekonomi lingkungan tersebut, dan hendaknya dianggap sebagai bagian dari proses kegiatan pemanfaatan
sumberdaya alam namun baku mutu lingkungan hidup tidak terlampaui. Untuk itu
perlu adanya pengaturan dan mekanisme standar operasional prosedur (SOP) yang jelas sebagai pedoman pelaksanaan instrumen
ekonomi lingkungan hidup, sehingga dapat dilaksanakan dengan baik dan benar.
Pengaturan instrumen ekonomi lingkungan yang dapat diimplementasikan di
daerah tentunya disesuaikan dengan kondisi masing-masing daerah. Instrumen
ekonomi lingkungan dimaksud misalnya
berkenaan dengan konsep mitigasi lingkungan, deposit atau uang jaminan,
asuransi lingkungan, insentif dan/atau disinsentif, konsep perusak membayar. Model pengaturan instrumen ekonomi
tersebut dapat dirancang dalam bentuk peraturan daerah, sedangkan SOP-nya dapat
diatur dalam bentuk peraturan kepala daerah. Apabila materi muatan
pengaturannya dilakukan dengan baik, artinya melalui proses kajian akademik
terlebih dahulu, maka instrumen ekonomi
dimaksud dapat menjadi solusi alternatif bagi upaya penyelesaian dan atau sebagai instrumen untuk mengantisipasi terjadinya konflik dalam pengelolaan
tambang dan pascatambang. Kajian akademik diperlukan agar
jangan sampai instrumen ekonomi lingkungan
tersebut
melanggar peraturan lain,
kepentingan ekonomi dan kepentingan
sosial. Dengan pengaturan tersebut, maka penerapan instrumen
ekonomi lingkungan akan memiliki payung hukum dan
mempunyai kedudukan hukum yang jelas dan kuat sehingga dapat
diimplementasikan.
Sejalan dengan pengaturan intrumen ekonomi lingkungan dalam UUPPLH, berikut ini dapat dideskripsikan beberapa
instrumen ekonomi dimaksud yaitu:
1). Mitigasi lingkungan
Mitigasi lingkungan adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah atau menanggulangi dampak
negatif lingkungan akibat adanya rencana atau pelaksanaan suatu kegiatan. Pada sektor pertambangan, mitigasi
lingkungan dimaksudkan
untuk mengurangi risiko negatif
sebagai
akibat dari aktivitas atau kegiatan pertambangan. Upaya yang dilakukan dapat
melalui pembangunan sarana dan prasarana tertentu maupun melalui upaya penyadaran
dan peningkatan kemampuan menghadapi kemungkinan adanya gangguan, ancaman, dan
bahaya. Demikian juga dampak yang terjadi pascatambang, sudah harus diperhitungkan dan dipersiapkan upaya
untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan persoalan yang timbul dan dihadapi
oleh masyarakat, seperti konflik perebutan lahan bekas tambang, masyarakat yang
kehilangan pekerjaan karena perusahaan tidak lagi beroperasi, roda perekonomian
di wilayah sekitar tambang terhenti, lahan bekas tambang dan lingkungan sekitar
wilayah operasi tambang rusak, dan sebagainya. Hal ini bila tidak diantisipasi
sejak dini tentunya akan menimbulkan persoalan yang akhirnya terjadi konflik di
masyarakat.
Untuk
mencegah atau menanggulangi dampak negatif dapat menggunakan salah satu atau
beberapa pendekatan lingkungan secara teknologi, sosial ekonomi maupun
kelembagaan dan
stakeholder.
Mitigasi lingkungan melalui pendekatan teknologi adalah
cara-cara atau penggunaan teknologi untuk menanggulangi dampak negatif
lingkungan. Teknologi yang akan diterapkan oleh masyarakat harus
mempertimbangkan kemampuan dan keahlian serta budaya setempat.
Pendekatan sosial ekonomi budaya, merupakan langkah-langkah yang akan ditempuh dalam
menanggulangi dampak lingkungan melalui upaya-upaya sosial atau tindakan yang
bermotifkan sosial ekonomi misalnya
melibatkan masyarakat di
sekitar
lokasi kegiatan untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan mitigasi lingkungan
, memprioritaskan penyerapan
tenaga kerja setempat dalam mitigasi lingkungan
, menjalin interaksi sosial yang
harmonis dengan penduduk sekitar.
Pendekatan
kelembagaan dan
stakeholders adalah
berupa mekanisme kelembagaan yang akan ditempuh dalam rangka menanggulangi dampak
penting lingkungan, misal
kerjasama
dengan instansi yang berkepentingan dengan mitigasi lingkungan
, pengawasan terhadap kinerja mitigasi
li
ngkungan oleh
instansi yang berwenang
, pelaporan
hasil mitigasi lingkungan secara berkala kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Pemerintah daerah hendaknya dapat
membuat regulasi terkait dengan mitigasi lingkungan ini. Hal ini penting
mengingat dampak atau bencana lingkungan yang timbul dari aktivitas
pertambangan ataupun pascatambang dapat saja terjadi dan tidak dapat diprediksi
oleh siapapun. Sebagai contoh, bencana lingkungan lumpur Sidoarjo. Apabila tiap
daerah telah memiliki regulasi yang mengatur SOP dan kebijakan lainnya yang
dianggap penting sesuai dengan karakteristik dari masing-masing wilayah daerah,
maka paling tidak dapat mengantisipasi berbagai kemungkinan dampak atau bencana
yang mungkin terjadi, dengan demikian konflik pascatambangpun dapat
diminimalisir.
2).
Deposit atau uang jaminan
Penerapan instrumen ekonomi lingkungan berupa harus
adanya deposit atau uang jaminan bagi setiap pelaku usaha pertambangan, sebagai
persyaratan tambahan dari sistem perizinan, nampaknya perlu dipertimbangkan.
Hal ini mengingat fakta yang sering terjadi, bahwa pasca kegiatan tambang, para
pelaku usaha ada kecenderungan tidak lagi memperhatikan lahan bekas aktivitas
tambang, yang tentunya rusak dan butuh rehabilitasi atau reklamasi. Deposit
atau uang jaminan dimaksud merupakan dana yang akan digunakan untuk mengatasi
persoalan tersebut.
Untuk itu, menerapkan kewajiban
membayar deposit atau uang
jaminan
bagi setiap usaha yang berpotensi menimbulkan dampak lingkungan, patut
dipertimbangkan sebagai pengembangan sumber dana lingkungan, selain pajak dan
denda lingkungan. Mekanisme pengaturan dan penerapannya membutuhkan
regulasi yang dapat menjamin bahwa dana tersebut tidak akan disalahgunakan atau
diselewengkan. Misalnya harus ada MOU antara tiga pihak yaitu perusahaan,
pemerintah daerah dan bank yang ditunjuk. Besarnya dana yang menjadi jaminan
bergantung pada estimasi penghitungan resiko lingkungan yang mungkin timbul
dari aktivitas tambang tersebut, atau ditetapkan sebesar 5-10 % dari nilai
total investasi. Dalam hal tidak terjadi kerusakan lingkungan dan masa operasi
perusahaan telah berakhir maka dana tersebut tetap menjadi milik perusahaan.
3). Asuransi Lingkungan
Meningkatnya
pembangunan yang berskala besar, serta tingkat penggunaan teknologi maju selalu
disertai pula oleh risiko buruk terhadap lingkungan. Sebagaimana diketahui
dengan meningkatnya pembangunan di berbagai sektor maka masalah lingkungan
dapat dirasakan sebagai sebuah ongkos lingkungan. Berangkat dari hal tersebut, Daud Silalahi menyatakan bahwa sistem
hukum lingkungan Indonesia telah mengakomodasi risiko lingkungan ke dalam hukum
asuransi lingkungan.
Asuransi
lingkungan dipandang perlu untuk menjamin lingkungan yang kita miliki sekarang, untuk itu dibutuhkan kerja sama multi dan interdisiplin ilmu guna
menciptakan berbagai macam model asuransi lingkungan di Indonesia. Pendekatan secara multi dan
interdisipliner akan membawa pengaruh pada konsep hukum asuransi lingkungan
berdasarkan hukum lingkungan.
Lingkup
dan prosedur penetapan jumlah perkiraan risiko lingkungan dapat dilakukan
melalui model-model analisis ilmiah yang sudah berkembang sangat maju dan
bersifat baku dalam ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini. Model analisis
risiko lingkungan seperti Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) dan ERA (Ecological
Risk Assesment) dapat mengukur kemungkinan dampak lingkungan yang bersifat
negatif. Melalui model tersebut dapat
diperkirakan seberapa jauh lingkup asuransi lingkungan yang dapat dijangkau
oleh jasa asuransi di Indonesia. Hal tersebut juga dapat menjadi penunjang
dalam menetapkan perkiraan jumlah ganti rugi dan menetapkan besaran harga polis
asuransi sebagai dasar tanggungjawab perusahaan jasa asuransi.
Berkait dengan kegiatan
pertambangan, resiko lingkungan dapat terjadi
sewaktu-waktu tanpa
dapat diramalkan sebelumnya
, karena kelalaian, kealpaan,
atau kesalahan dalam
aktivitas
pertambangan
. Asuransi
lingkungan focus pada instrumen dan proses untuk menjamin perlindungan dari
aspek lingkungan. Asuransi
lingkungan bertujuan untuk meminimalkan ancaman terhadap kehidupan manusia,
melindungi sumberdaya alam, dan menjamin keseimbangan dalam ekosistem.
Dalam jangka waktu lama dampak terhadap
air tanah yang tercemar, udara, dan tanah, juga dampak sosial ekonominya tidak
tercatat dan terkuantifikasi secara baik. Konsekuensi jangka panjang dari
dampak skala besar tersebut sangat merusak ekosistem dan ekonomi lokal pada
periode waktu yang tertentu. Perangkat dan teknik asuransi lingkungan saat ini
belum banyak diketahui dan tersedia dengan baik.
Oleh karena itu, terkait dengan
aktivitas pertambangan di daerah, pemerintah daerah dan pelaku usaha pertambagan
hendaknya mempertimbangkan resiko lingkungan tersebut dan segera mengambil
suatu langkah kebijakan dengan melaksanakan dan atau mengikuti program asuransi
lingkungan, sehingga dapat dipastikan siapa yang akan menangani resiko
lingkungan berupa dampak negatif sebagai sumber konflik pertambangan dan
pascatambang.
4).
Insentif dan disinsentif
Instrumen ekonomi lingkungan berupa penerapan
insentif dan disinsentif,
dibutuhkan dalam rangka
mengatasi persoalan pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup akibat dari
aktivitas pertambangan. Instrumen ekonomi lingkungan dibutuhkan sebagai
stimulus guna meningkatkan kepatuhan perusahaan tambang secara sukarela. Instrument ekonomi berupa insentif
dan disinsentif itu merupakan instrumen yang bersifat melengkapi instrumen
hukum berupa perintah, pengawasan, dan sanksi.
Insentif tersebut dapat berupa keringanan atau pembebasan
pajak daerah, pengurangan atau pembebasan retribusi daerah, serta kemudahan
dalam pengurusan dan penerbitan perizinan pada sektor pertambangan, khususnya yang
berkaitan dengan upaya pelestarian
fungsi lingkungan hidup. Disinsentif dapat berupa pemberlakuan
denda atau pembayaran
biaya lingkungan hidup tertentu
dan
publikasi negatif di media massa,
bagi perusahaan dan
pelaku usaha yang melanggar kewajiban untuk menaati peraturan yang terkait dengan bidang pertambangan dan lingkungan
hidup.
5).
Prinsip Perusak Membayar (destroyer pays principle)
Konsep prinsip perusak
lingkungan membayar (destroyer pays principle) ini
diilhami oleh prinsip pencemar membayar (polluter
pays principle). Pada
prinsip pencemar
membayar (polluter pays principle) mengharuskan pada pihak pelaku
pencemaran membayar dan bertanggung jawab terhadap setiap kerusakan lingkungan
yang terjadi akibat aktivitasnya, tidak peduli apakah telah mengikuti standar lingkungan atau
tidak. Prinsip ini sekarang telah berlaku secara universal. Prinsip
pencemar membayar (polluter
pays principle) dalam
implementasinya memerlukan dua pendekatan kebijakan
yang berbeda yaitu command and control
dan market-based. Sedangkan prinsip perusak
membayar (destroyer pays principle)
menggunakan pendekatan pengaturan dan penerapan sanksi (bersifat represif dan eksekutorial).
Dengan mengadopsi prinsip pencemar membayar (polluter pays principle), dalam konteks kajian ini konsep yang dikemukakan
yaitu prinsip perusak membayar (destroyer
pays principle). Adapun argumentasi
digunakan istilah “perusak” karena
tindakan yang dilakukan oleh pelaku kegiatan atau usaha pada sektor
pertambangan baik yang memiliki izin apalagi yang tidak memiliki izin,
cenderung atau bahkan dapat dipastikan menimbulkan dampak kerusakan bagi
lingkungan hidup yang sangat luar biasa, Ecocide.
Oleh karena itu, bagi pelaku usaha yang memiliki izin, manakala
aktivitas tersebut menimbulkan kerusakan lingkungan karena telah melampaui atau
melanggar baku mutu kerusakan lingkungan yang ditetapkan,
maka kepada perusahaan tersebut harus dikenakan sanksi berupa membayar sejumlah
uang (uang paksa/dwangsom), bukan
denda administratif, yang ditetapkan oleh pemerintah (daerah), tanpa harus
melalui proses persidangan (gugatan di pengadilan). Sanksi yang diberikan
bersifat langsung, setelah dilakukan penghitungan oleh tim ahli (akuntan)
tentang besarnya uang yang wajib dibayar yang setara dengan kerusakan
lingkungan yang ditimbulkan.
Terhadap pelaku usaha yang tidak memiliki izin (PETI), tanpa harus mengkaji
apakah telah melanggar baku mutu kerusakan atau tidak, maka kepada pelaku
kegiatan tambang tersebut harus dikenakan kewajiban membayar uang paksa guna
merehabilitasi lingkungan yang rusak akibat dari aktivitas tambang tersebut.
Selain itu, kepada pelaku juga dapat dikenakan sanksi yang lain sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
Materi muatan dari pengaturan tentang prinsip perusak membayar (destroyer pays principle) ini dan mekanisme
penerapannya, perlu dikaji
terlebih dahulu dari berbagai aspek, agar tidak bertentangan dengan ketentuan
lain dan sesuai dengan kewenangan kepada daerah, serta efektif dalam
penerapannya.
C.
Kesimpulan dan Saran
1.
Kesimpulan
Berdasakan
hasil kajian dapat disimpulkan:
a. Instrumen ekonomi lingkungan hidup telah diatur dalam hukum positif yaitu
pada Pasal 42 dan Pasal 43 UUPPLH, pada Pasal 95 s/d Pasal 100, dan Pasal 145 Undang-undang
No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba. Pengaturan instrumen ekonomi lingkungan pada UUPPLH dan UU Minerba, masih bersifat
umum, dan dibutuhkan pengaturan pelaksanaan lebih lanjut, selain itu pada
tataran implementasinya hingga saat ini belum banyak dilakukan. Sedangkan Undang-undang
No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi, Undang-undang No. 27 Tahun 2003
Tentang Panas Bumi, dan
Undang-undang No. 30 Tahun 2007 tentang Energi secara eksplisit tidak mengatur intrumen ekonomi,
namun bila dicermati asas dan tujuan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal
3 Undang-undang Migas, Pasal 2 dan Pasal 29 Undang-undang
Panas Bumi serta Pasal 2
dan Pasal 21 ayat (1) Undang-undang Energi, maka salah satu instrumen untuk
mewujudkannya dibutuhkan instrumen ekonomi lingkungan.
b. Perspektif pengaturan instrumen ekonomi lingkungan di
daerah melalui peraturan tingkat daerah sangat dimungkinkan, bahkan menjadi
keharusan sesuai dengan karakteristik masing-masing daerah. Beberapa konsep
terkait dengan instrumen ekonomi yang dapat dibuat regulasinya yaitu mitigasi
lingkungan, deposit atau uang jaminan, asuransi lingkungan, insentif dan
disinsentif, serta konsep perusak membayar (destroyer
pays principle). Pengaturan dan efektivitas penerapan instrumen ekonomi
dalam kebijakan pengelolaan pada sektor pertambangan diyakini dapat meminimalisir
kerusakan lingkungan dan mencegah timbulnya konflik pascatambang.
2.
Saran
Instrumen ekonomi lingkungan
merupakan salah satu instrumen penting dalam hukum lingkungan yang dapat digunakan sebagai sarana kebijakan
penegakan hukum lingkungan baik secara preventif maupun represif. Agar instrumen dimaksud
dapat efektif sebagai sarana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,
maka perlu dukungan regulasi yang memadai baik pada tingkat pusat maupun daerah
sebagai dasar legitimasi dalam penerapannya.
Daftar Pustaka
Iskandar,
dkk., Pemetaan Kondisi Sosial (Social Mapping) Wilayah Ring I PT. Pertamina
Terminal BBM Pulau Baai Bengkulu, Laporan Hasil
Kajian, LPPM UNIB., Bengkulu, 2013.
Muhamad
Erwin, Hukum Lingkungan, Dalam Sistem
Kebijakan Pembanguan Lingkungan Hidup, Refika Aditama, Bandung, 2008.
M.
Ridha Saleh, Ecocide, Politik Kejahatan Lingkungan Hidup dan
Pelanggaran Hak Asasi Manusia, Walhi, Jakarta, 2005.
*Artikel
disampaikan pada acara SEMIRATA BKS Dekan FH PTN Wilayah Barat, di Universitas
Bangka Belitung, 1 Maret 2014.
**Dosen Fakultas
Hukum Universitas Bengkulu, Lektor Kepala Hukum Lingkungan.
Iskandar, dkk., Pemetaan
Kondisi Sosial (Social Mapping) Wilayah Ring I PT. Pertamina Terminal Bbm Pulau Baai
Bengkulu, Laporan Hasil Kajian, LPPM-UNIB., Bengkulu,
2013.
Daud Silalahi, Peran Asuransi
Lingkungan dalam Pemberian Ganti Rugi bagi Masyarakat dan Pemulihan Lingkungan, Seminar Nasional, Unpad, Bandung, http://www.unpad.ac.id/2012/09/asuransi-lingkungan-berperan-dalam-menjamin-lingkungan/, diunduh 15 Februari 2014. Lihat juga Pasal 43 (3)
huruf f UUPPLH, PermenLH No. 18 Tahun 2009 Tentang Tata Cara Perizinan Limbah B3, yang mengharuskan permohonan izin dan/atau rekomendasi
pengelolaan limbah B3 dilengkapi salah satunya dokumen foto copy asuransi
pencemaran lingkungan hidup.
Syukri Hamzah, Pendidikan Lingkungan, Refika Aditama,
Bandung, 2013, hlm. 28.
Lihat ketentuan Pasal 43 Ayat
(3) Huruf h UUPPLH, dan Permen LH No. 06 Tahun 2013 Tentang Program
Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. Insentif dan disinsentif ini
dalam praktik juga dikaitkan dengan program PROPER. PROPER merupakan Public Disclosure
Program for Environmental Compliance, yaitu program
penilaian peringkat kinerja perusahaan dalam pengelolaan lingkungan, http://id.wikipedia.org/wiki/Proper, diunduh 15 Februari 2014.
Iskandar, Aktualisasi
Prinsip Hukum Pelestarian Lingkungan Hidup Dalam Kebijakan Perubahan Peruntukan,
Fungsi, dan Penggunaan Kawasan Hutan, Jurnal Dinamika Hukum. Vo. 11 No. 3,
FH UNSOED, Purwokerto, 2011, hlm. 522-523.
Stuart, R.
(2013), Command
and control regulation, Retrieved from http://www.eoearth.org/view/article/151316), diunduh 15 Februari 2014, Command and control" regulations focus on
preventing environmental problems by specifying how a company will manage a
pollution-generating process. This approach generally relies on detailed
regulations followed up by an ongoing inspection program.
Farber, S. (2006), Market-based instrument, Retrieved from http://www.eoearth.org/view/article/154485, diunduh 15 Februari 2014, Market-based
instruments are those that utilize economic incentives through processes that
either explicitly mimic markets or explicitly alter market conditions as means
of achieving environmental objectives and allow for some flexibility in how
those objectives are met. Instruments that
alter market conditions directly would include imposition or removal of taxes
or subsidies that change cost or demand conditions, or "Green
Product" designations that change demand conditions.