Sabtu, 01 Agustus 2015

INSTRUMEN EKONOMI DALAM KEBIJAKAN LINGKUNGAN



INSTRUMEN EKONOMI DALAM KEBIJAKAN LINGKUNGAN                     
 (Kajian Pengaturan Dalam Hukum Positip dan Perspektif Pengaturan Di Daerah Sebagai Solusi Alternatif Pencegahan Kerusakan Lingkungan dan Konflik Pascatambang)

ABSTRAK
                             
                 Oleh:   Iskandar                                  
Dosen Hukum Lingkungan, Fakultas Hukum Universitas Bengkulu (FH-UNIB),                              
 HP. 0811738171, email: suttaniskandar@yahoo.com

Kegiatan penambangan tentu akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan, baik dampak positif maupun negatif. Terhadap dampak negatif yang terjadi pada saat operasi dan atau pasca operasi, tentu akan memicu timbulnya konflik. Dampak negatif terjadi disebabkan lemahnya kesadaran lingkungan dan lemahnya penegakan hukum. Kajian ini mendeskripsikan konsep instrumen ekonomi dalam kebijakan lingkungan, sebagai solusi alternatif dalam mencegah timbulnya kerusakan lingkungan dan konflik pada sektor pertambangan. Isu hukum yang dikaji yaitu bagaimana pengaturan instrumen ekonomi lingkungan dalam konteks ius contitutum dan ius constituendum. Pendekatan dilakukan secara yuridis normatif. Pengumpulan bahan hukum melalui studi kepustakaan. Analisis dilakukan secara yuridis kualitatif. Hasil analisis diuraikan secara deskriptif-preskriptif. Berdasarkan hasil kajian dapat dikemukakan bahwa pengaturan instrumen ekonomi dalam hukum positip (ius constitutum) telah diatur dalam UUPPLH dan UU Minerba, sedangkan pada UU Migas, UU Panas Bumi, dan UU Energi tidak diatur. Perspektif pengaturan instrumen ekonomi lingkungan di daerah (ius constituendum) melalui peraturan tingkat daerah sangat dimungkinkan, bahkan menjadi keharusan sesuai dengan karakteristik masing-masing daerah. Beberapa konsep terkait dengan instrumen ekonomi yang dapat dibuat regulasinya yaitu mitigasi lingkungan, deposit atau uang jaminan, asuransi lingkungan, insentif dan disinsentif, serta konsep perusak membayar (destroyer pays principle). Pengaturan dan penerapan instrumen tersebut diyakini dapat meminimalisir kerusakan lingkungan dan mencegah timbulnya konflik pascatambang.

Kata Kunci: Instrumen Ekonomi, Lingkungan, Pengaturan, Konflik, Pascatambang.



ECONOMIC INSTRUMENTS IN ENVIRONMENTAL POLICY                             
 (A Study  The Positive And Perspectives Regulations In The Alternative Solutions For The Prevention Environmental Damages And Post-Mining Conflict)

ABSTRACT

                                       Iskandar                                         
 Lecturer of Environmental Law, Law Faculty of Bengkulu University (FH-UNIB), MOB. 0811738171, Email: suttaniskandar@yahoo.com

Mining activities should have impacts to the environment, both positive and negative impacts. To the negative impacts that occur during or the operation before and after. The negative impacts caused due to lack of environmental awareness and law enforcement weakness. This study describes the concept of economic instruments in environmental policy, as an alternative solution to prevent environmental damages and conflicts in the mining sector. Legal issues that were examined are how the regulation in the context of environmental economic instruments as the law as ius contitutum and ius constituendum. The approach of this studi a normative legal analysis. The data were collected through the study of literature. Qualitative descriptive analysis was performed. The results of the analysis described in the descriptive-prescriptive. Based on the results of the study, it can be stated that the regulation of economic instruments in the positive law (ius constitutum) has been determined in UUPPLH and Mining Law. On the contrary the Oil and Gas Law, the Law on Geothermal, and Energy Act don’t contain that. Perspective regulation in the field of ​​environmental economic instruments (ius constituendum) can be designed in local legislation. Even it is crucial thing in accordance to the characteristics of each region. Some concepts related to economic instruments can be created about environmental mitigation regulations, deposit or security deposit, environmental insurance, incentives and disincentives, as well as the concept of paying destroyer (destroyer pays principle). Regulation and application of these instruments are believed to minimize environmental damages and prevent the onset of post-mining conflicts.
Keywords: Economic Instruments, Environmental, Regulation, Conflicts, Post-mining.
 


INSTRUMEN EKONOMI DALAM KEBIJAKAN LINGKUNGAN                     
 (Kajian Pengaturan Dalam Hukum Positip dan Perspektif Pengaturan Di Daerah Sebagai Solusi Alternatif Pencegahan Kerusakan Lingkungan dan Konflik Pascatambang)*

Oleh: Iskandar**

A.      Pendahuluan
1.      Latar belakang
Sumberdaya pertambangan mineral, batubara termasuk minyak dan gas bumi merupakan salah satu sumberdaya alam yang dikuasai oleh negara, dan harus dapat dimanfaatkan secara optimal untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.[1] Terkait dengan hal ini, telah dikeluarkan beberapa undang-undang sektor energi seperti Undang-undang No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi, Undang-undang No. 27 Tahun 2003 Tentang Panas Bumi, Undang-undang No. 30 Tahun 2007 tentang Energi, Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba. Undang-undang tersebut telah membagi kewenangan mengelola untuk tiga level pemerintah, yaitu pemerintah pusat, provinsi dan, kabupaten/kota. Kewenangan tersebut dirangkum menjadi kewenangan memberikan izin, kewenangan membina, dan kewenangan mengawasi kegiatan pertambangan.[2]
Kegiatan penambangan tentu akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan, baik dampak positif maupun negatif.[3] Dampak positif kegiatan penambangan antara lain meningkatkan kesempatan kerja, meningkatkan roda perekonomian sektor dan sub sektor lain di sekitarnya, dan menambah pendapatan negara maupun daerah dalam bentuk pajak, retribusi ataupun royalti. Namun demikian, kegiatan penambangan yang tidak mempertimbangkan aspek keseimbangan dan daya dukung lingkungan, serta tidak dikelola dengan baik tentu akan menimbulkan dampak negatif[4] terhadap lingkungan. Untuk menghindari berbagai dampak negatif  yang pada akhirnya menimbulkan konflik, maka pengelolaan pertambangan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan mutlak harus dilakukan.
Dilihat dari aspek kebijakan, konflik pada sektor pertambangan dapat terjadi karena belum tersusunnya kebijakan pemanfaatan sumberdaya alam secara optimal oleh pemerintah dan pemerintah daerah sebagai suatu kepentingan nasional, serta belum didukung optimasi national resources sustainability antara pertambangan, kehutanan, lingkungan hidup yang seharusnya dibentuk dalam managemen yang integral/terpadu.[5] Akibatnya pengelolaan pertambangan mengalami berbagai persoalan baik dari aspek lingkungan hidup, aspek sosial, aspek hukum, ekonomi dan aspek politik.
Dalam praktiknya banyaknya izin tambang yang dikeluarkan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam arti tidak memenuhi persyaratan lingkungan (izin lingkungan[6]), bahkan terhadap izin usaha/kegiatan yang telah diberikan juga tidak diikuti dengan pelaksanaan pengawasan yang baik oleh pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota yang menerbitkan izin tersebut.[7] Kondisi ini tentunya berakibat buruk bagi lingkungan yang pada akhirnya menimbulkan konflik, karena berdampak negatif pada masyarakat dan lingkungan serta akan merugikan dan merepotkan negara dalam mengatasi persoalan tersebut.
Persoalan konflik yang terjadi pada sektor pertambangan tidak hanya disebabkan oleh masalah perizinan semata, tapi juga konflik berkenaan dengan persoalan ekonomi. Penyebabnya yaitu masyarakat hanya menjadi penonton dan tidak mendapat manfaat dari pertambangan tersebut. Padahal, kehadiran perusahaan seharusnya mampu membawa perubahan positif dan menjadi penggerak roda perekonomian masyarakat.[8] Sehingga masyarakat ikut melakukan kegiatan usaha pertambangan sendiri namun tanpa izin (PETI). PETI secara substansial memang menunjang peningkatan ekonomi dan sosial masyarakat, meski dalam praktiknya kegiatan penambangan ini  melanggar hukum, karena menimbulkan kerusakan lingkungan, melanggar tata ruang, melanggar wilayah operasi perusahaan tambang tertentu, serta mengabaikan perlindungan terhadap kesehatan dan keselamatan kerja.  
Persoalan pembebasan dan penguasaan lahan, atau karena besarnya ganti rugi lahan yang tidak memadai juga dapat menjadi penyebab konflik. Selain itu,  pada saat kegiatan pertambangan tengah berlangsung dan atau pascatambang, gangguan, ancaman, dan bahaya bagi lingkungan dan masyarakat seringkali terjadi, juga menyebabkan terjadinya konflik. Akibat dari konflik tersebut, pada akhirnya menimbulkan korban bukan hanya harta benda tapi juga korban jiwa manusia.
Kondisi demikian ini, tentunya membutuhkan solusi dalam penangannya, agar tidak terjadi lagi atau paling tidak dapat mengurangi intensitas tingkat terjadinya konflik pada kegiatan sektor pertambangan. Pada tulisan ini, mencoba untuk mengkaji instrumen ekonomi lingkungan sebagai solusi alternatif penanganan konflik pascatambang sebagaimana topik yang diangkat pada kegiatan Semirata BKS PTN Fakultas Hukum Wilayah Barat di Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung, yaitu “Lingkungan dan Konflik Pascatambang”.
2.      Identifikasi masalah
Permasalahan lingkungan hidup demikian rumit dan kompleks, maka sangat disadari dalam mengkaji persoalan tersebut  tidak cukup hanya menggunakan pendekatan satu disiplin ilmu, melainkan harus dikaji secara multi dan interdisiplin ilmu. Ilmu hukum merupakan salah satu dari berbagai disiplin ilmu yang dapat digunakan sebagai instrumen dalam rangka memberikan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, termasuk didalamnya perlindungan dan pengelolaan sumberdaya alam, yang dalam konteks ini yaitu sumberdaya pada sektor pertambangan.
Pendekatan ilmu hukum yaitu dalam pelaksanaan penegakan hukum lingkungan pada sektor pertambangan dengan menggunakan instrumen hukum lingkungan administratif, dihadapkan pada persoalan utama berkait dengan mentalitas negatif (prilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme/KKN di bidang perizinan[9]) para pengambil keputusan dan para pelaku usaha/kegiatan, yang pada akhirnya penegakan hukum administrasi tidak dapat berjalan dengan baik. Dalam praktik, penegakan hukum pidana lingkungan juga tidak mampu menyelesaikan berbagai persoalan pelanggaran pidana lingkungan. Demikian pula halnya penerapan instrumen hukum lingkungan keperdataan gugatan melalui proses peradilan, seringkali dihadapkan pada sulitnya dalam proses pembuktian di persidangan, kalaupun tergugat dinyatakan bersalah pada persidangan tingkat pertama dan harus membayar ganti rugi, tergugat tentu akan banding, kasasi dan seterusnya. Pada akhirnya korban tetap menjadi korban, kerugian dan kerusakan lingkungan juga tetap terus berkelanjutan.
Tulisan pada artikel ini, dicoba untuk menawarkan pemikiran dan bahan diskusi dalam seminar ini, dengan mengangkat isu/tema sentral tentang “Instrumen Ekonomi Dalam Kebijakan Lingkungan Hidup[10],  yaitu bagaimana pengaturan instrumen ekonomi lingkungan hidup[11] dalam ketentuan hukum positif pada sektor pertambangan (ius constitutum)?, bagaimana perspektif pengaturan instrumen ekonomi lingkungan  sebagai solusi alternatif pencegahan kerusakan lingkungan dan konflik pascatambang di daerah (ius constituendum)?
3.   Metode kajian
            Kajian ini menggunakan pendekatan secara yuridis normatif, dengan mengkaji instrumen ekonomi lingkungan hidup sebagai suatu asas atau prinsip hukum dan atau sebagai norma atau kaidah hukum dalam rangka mendeskripsikan solusi alternatif penyelesaian konflik pascatambang. Metode pengumpulan bahan hukum melalui studi kepustakaan. Analisis dilakukan secara yuridis kualitatif, dengan berdasarkan pada teori dan asas-asas hukum sebagai suatu prinsip dasar dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Berdasarkan hasil analisis lalu dideskripsikan sesuai dengan karakteristik keilmuan hukum yaitu preskriptif,[12] dan ditarik kesimpulan sebagai jawaban atas isu/masalah yang diangkat.
B.     Hasil dan Pembahasan
1.      Pengaturan instrumen ekonomi lingkungan hidup dalam hukum positif  (ius constitutum)
a.    Pengaturan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH)
UUPPLH mengatur instrumen baru dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yaitu instrumen ekonomi lingkungan hidup. Instrumen ekonomi lingkungan hidup adalah seperangkat kebijakan ekonomi untuk mendorong pemerintah, pemerintah daerah, atau setiap orang ke arah pelestarian fungsi lingkungan hidup.[13]  Dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan hidup, Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengembangkan dan menerapkan instrumen ekonomi lingkungan hidup.[14]
Instrumen ekonomi lingkungan hidup meliputi: a. perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi; b. pendanaan lingkungan hidup; dan c. insentif dan/atau disinsentif.[15] Instrumen perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi meliputi: a. neraca sumberdaya alam dan lingkungan hidup; b. penyusunan produk domestik bruto dan produk domestik regional bruto yang mencakup penyusutan sumberdaya alam dan kerusakan lingkungan hidup; c. mekanisme kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup antar daerah; dan d. internalisasi biaya lingkungan hidup.[16]  Instrumen pendanaan lingkungan hidup meliputi:  a. dana jaminan pemulihan lingkungan hidup; b. dana penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan dan pemulihan lingkungan hidup; dan c. dana amanah/bantuan untuk konservasi.[17] Insentif dan/atau disinsentif antara lain diterapkan dalam bentuk: a. pengadaan barang dan jasa yang ramah lingkungan hidup; b. penerapan pajak, retribusi, dan subsidi lingkungan hidup; c. pengembangan sistem lembaga keuangan dan pasar modal yang ramah lingkungan hidup;  d. pengembangan sistem perdagangan izin pembuangan limbah dan/atau emisi; e. pengembangan sistem pembayaran jasa lingkungan hidup; f. pengembangan asuransi lingkungan hidup; g. pengembangan sistem label ramah lingkungan hidup; dan h. sistem penghargaan kinerja di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.[18]
Substansi instrumen ekonomi lingkungan hidup yang diatur dalam UUPPLH ini masih sangat umum, oleh karena itu ketentuan Pasal 43 ayat (4) memerintahkan pengaturan pelaksanaan lebih lanjut dalam bentuk peraturan pemerintah, dan di daerah tentunya juga perlu pengaturan. Instrumen ekonomi lingkungan hidup ini, merupakan pengaturan instrumen baru dalam upaya pengendalian kerusakan lingkungan hidup. Hanya saja kendala yang dihadapi  yaitu bagaimana agar instrumen ekonomi lingkungan hidup ini dapat dilaksanakan oleh para pelaku usaha/kegiatan, karena jika dilihat program yang telah diwajibkan sebelumnya kepada perusahaan yaitu misalnya program CSR, belum juga dapat dilaksanakan dengan baik. Namun demikian, instrumen ekonomi lingkungan ini harus tetap dilaksanakan, karena merupakan perintah undang-undang.
b.   Pengaturan dalam undang-undang sektoral:
1). Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi
Undang-undang ini tidak mengatur secara eksplisit tentang instrumen ekonomi lingkungan. Namun ketentuan Pasal 2 undang-undang ini menyebutkan bahwa penyelenggaraan kegiatan usaha minyak dan gas bumi berasaskan ekonomi kerakyatan, keterpaduan, manfaat, keadilan, keseimbangan, pemerataan, kemakmuran bersama dan kesejahteraan rakyat banyak, keamanan, keselamatan, dan kepastian hukum serta berwawasan lingkungan. Demikian pula bila dilihat ketentuan Pasal 3 huruf f  yang menyebutkan bahwa penyelenggaraan kegiatan usaha minyak dan gas bumi bertujuan untuk  menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang adil dan merata, serta tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup. Dari ketentuan asas dan tujuan undang-undang ini, secara implisit mengandung makna bahwa untuk penerapannya dibutuhkan beberapa instrumen ekonomi lingkungan, seperti pelaksanaan asas ekonomi kerakyatan, asas manfaat, asas keadilan, asas pemerataan, asas kemakmuran bersama dan kesejahteraan rakyat banyak, asas keselamatan, dan asas berwawasan lingkungan. Demikian pula pada tujuan yaitu menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang adil dan merata, serta tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup, tentunya untuk pelaksanaan dibutuhkan instrumen ekonomi lingkungan.
Dalam implementasi dari undang-undang ini, dari pengamatan pada praktiknya memang asas dan tujuan tersebut belum dilaksanakan sebagaimana mestinya. Meski beberapa perusahaan migas baik swasta maupun BUMN telah melaksanakan program CSR sebagai pelaksanaan undang-undang tentang perseroan terbatas dan undang-undang tentang penanaman modal,[19] namun hal itu dirasakan belum cukup memadai oleh masyarakat terutama yang berada pada wilayah ring I[20] atau masyarakat lingkar tambang,[21] dalam mengatasi persoalan menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang adil dan merata, serta menjaga kelestarian lingkungan hidup.
Untuk itu, aktualisasi instrumen ekonomi lingkungan hidup menjadi urgen dilaksanakan oleh berbagai pihak pemangku kepentingan terkait, sehingga konflik yang telah terjadi dan yang mungkin akan terjadi pada sektor pertambangan minyak dan gas bumi baik pada saat operasi maupun pasca operasi dapat diminimalisir atau bahkan ditiadakan.
2). Pengaturan dalam Undang-undang Nomor 27 tahun 2003 Tentang Panas Bumi
Undang-undang ini juga tidak mengatur tentang instrumen ekonomi, namun disebutkan dalam Pasal 2 bahwa penyelenggaraan kegiatan pertambangan Panas Bumi menganut asas manfaat, efisiensi, keadilan, kebersamaan, optimasi ekonomis dalam pemanfaatan sumber daya, keterjangkauan, berkelanjutan, percaya dan mengandalkan pada kemampuan sendiri, keamanan dan keselamatan, kelestarian fungsi lingkungan hidup, serta kepastian hukum. Kewajiban pemegang izin usaha pertambangan panas bumi: [22]
a.    memahami dan mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja, perlindungan lingkungan, serta memenuhi standar yang berlaku;
b.    mengelola lingkungan hidup mencakup kegiatan pencegahan dan penanggulangan pencemaran serta pemulihan fungsi lingkungan hidup dan melakukan reklamasi; dan
pada huruf f. melaksanakan program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat.
Untuk melaksanakan dan merealisasikan asas dan kewajiban tersebut tentunya diperlukan instrumen. Salah satu instrumen yang dibutuhkan yaitu instrumen ekonomi terutama dalam rangka penanggulangan dan pemulihan lingkungan hidup serta program pemberdayaan masyarakat setempat. Dengan demikian diharapkan permasalahan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat dapat ditanggulangi dengan baik, sehingga dapat mencegah timbulnya konflik.
3). Pengaturan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi
Pada Pasal 2 undang-undang ini menyebutkan bahwa energi dikelola berdasarkan asas kemanfaatan, rasionalitas, efisiensi berkeadilan, peningkatan nilai tambah, keberlanjutan, kesejahteraan masyarakat, pelestarian fungsi lingkungan hidup, ketahanan nasional, dan keterpaduan dengan mengutamakan kemampuan nasional. Pasal 21 ayat (1) Pemanfaatan energi dilakukan berdasarkan asas: a.mengoptimalkan seluruh potensi sumber daya energi; b. mempertimbangkan aspek teknologi, sosial, ekonomi, konservasi, dan lingkungan; dan c. memprioritaskan pemenuhan kebutuhan masyarakat dan peningkatan kegiatan ekonomi di daerah penghasil sumber energi.
Sama halnya dengan undang-undang migas, undang-undang ini juga tidak mengatur dan menyebutkan secara eksplisit tentang instrumen ekonomi lingkungan hidup. Meski demikian bila dicermati ketentuan tentang asas kemanfaatan, asas efisiensi berkeadilan, asas keberlanjutan, asas kesejahteraan masyarakat, dan asas pelestarian fungsi lingkungan hidup, maka dapat dipahami bahwa undang-undang ini dalam pelaksanaannya seharusnya menerapkan instrumen ekonomi lingkungan hidup.
3). Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba
Pertambangan mineral dan/atau batubara dikelola berasaskan: a. manfaat, keadilan, dan keseimbangan; b. keberpihakan kepada kepentingan bangsa; c. partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas; d. berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.[23] Dalam rangka mendukung pembangunan nasional yang berkesinambungan, tujuan pengelolaan mineral dan batubara yaitu: a. menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha pertambangan secara berdaya guna, berhasil guna, dan berdaya saing; b. menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup; c. menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan baku dan/atau sebagai sumber energi untuk kebutuhan dalam negeri; d. mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional agar lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional; e. meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat; dan f. menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara.[24]
Pemegang IUP dan IUPK wajib: a. menerapkan kaidah teknik pertambangan yang baik; b. mengelola keuangan sesuai dengan sistem akuntansi Indonesia; c. meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara; d. melaksanakan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat; dan e. mematuhi batas toleransi daya dukung lingkungan.[25] Dalam penerapan kaidah teknik pertambangan yang baik, pemegang IUP dan IUPK wajib melaksanakan: a. ketentuan keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan; b. keselamatan operasi pertambangan; c. pengelolaan dan pemantauan lingkungan pertambangan, termasuk kegiatan reklamasi dan pascatambang; d. upaya konservasi sumber daya mineral dan batubara; e. pengelolaan sisa tambang dari suatu kegiatan usaha pertambangan dalam bentuk padat, cair, atau gas sampai memenuhi standar baku mutu lingkungan sebelum dilepas ke media lingkungan.[26] Pemegang IUP dan IUPK wajib menjamin penerapan standar dan baku mutu lingkungan sesuai dengan karakteristik suatu daerah.[27] Pemegang IUP dan IUPK wajib menjaga kelestarian fungsi dan daya dukung sumber daya air yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[28] Setiap pemegang IUP dan IUPK wajib menyerahkan rencana reklamasi dan rencana pascatambang pada saat mengajukan permohonan IUP Operasi Produksi atau IUPK  Operasi Produksi.[29] Pelaksanaan reklamasi dan kegiatan pascatambang dilakukan sesuai dengan peruntukan lahan pascatambang.[30] Peruntukan lahan pascatambang dicantumkan dalam perjanjian penggunaan tanah antara pemegang IUP atau IUPK dan pemegang hak atas tanah.[31] Pemegang IUP dan IUPK wajib menyediakan dana jaminan reklamasi dan dana jaminan pascatambang.[32] Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dapat menetapkan pihak ketiga untuk melakukan reklamasi dan pascatambang dengan dana jaminan.[33]  Apabila pemegang IUP atau IUPK tidak melaksanakan reklamasi dan pascatambang sesuai dengan rencana yang telah disetujui.[34] Ketentuan mengenai reklamasi dan pascatambang serta dana jaminan reklamasi dan dana jaminan pascatambang telah diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010. Sedangkan terkait dengan perlindungan terhadap masyarakat yang terkena dampak negatif langsung dari kegiatan usaha pertambangan berhak: a. memperoleh ganti rugi yang layak akibat kesalahan dalam pengusahaan kegiatan pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. b. mengajukan gugatan ke pengadilan terhadap kerugian akibat pengusahaan pertambangan yang menyalahi ketentuan.[35]
Dibandingkan dengan undang-undang tentang energi dan migas, undang-undang tentang minerba ini, telah mengatur instrumen ekonomi lingkungan yaitu berupa jaminan dana untuk melakukan reklamasi dan pascatambang sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 100 ayat (1) dan ayat (2). Demikian pula peraturan pemerintah sebagai pelaksanaan dari ketentuan ini telah dikeluarkan yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang. Hanya saja dalam pelaksanaan dari ketentuan ini belum dilakukan dengan baik dan benar, bahkan banyak perusahaan yang belum melakukan sama sekali. Lemahnya penegakan hukum dan rendahnya tingkat kesadaran pelaku usaha/kegiatan berakibat pencemaran dan kerusakan lingkungan masih terjadi, sehingga tidak mengherankan jika reklamasi pascatambang masih banyak menimbulkan berbagai persoalan dan terjadi konflik.
2.      Perspektif pengaturan instrumen ekonomi lingkungan sebagai solusi alternatif pencegahan kerusakan lingkungan dan konflik pascatambang di daerah (ius constituendum)
Pada kenyataannya belum setiap daerah memiliki regulasi terkait dengan instrumen ekonomi lingkungan. Padahal rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah, instrumen ekonomi lingkungan ini merupakan pelengkap dari instrumen yang sudah ada sebelumnya, seperti instrumen BML, AMDAL, UKL-UPL, izin, dan lain sebagainya. Dengan melihat kondisi lingkungan saat ini dan pemanfaatan sumberdaya alam yang bersifat eksploitatif dan merusak, maka para pembuat kebijakan harus memiliki pola pikir atau mindset bahwa setiap kali membuat kebijakan maka harus diperhitungkan pula dampaknya kepada sumberdaya alam dan lingkungan hidup.
Untuk itu diperlukan sebuah upaya agar instrumen ekonomi lingkungan tersebut dapat diinternalisasi dalam proses perencanaan pembangunan, terutama dalam bidang pemerintahan dalam menentukan suatu kebijakan pembangunan di daerah. Instrumen ekonomi lingkungan akan mendorong perencana pembangunan daerah untuk memperhitungkan secara saksama intensitas dan pola eksploitasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup.
Dalam suatu rencana pembangunan harus dapat memperhitungkan besarnya kebutuhan pembiayaan, yang disesuaikan dengan potensi pendapatan daerah, termasuk dari sektor sumberdaya alam. Penghitungan pendapatan dari sektor sumberdaya alam akan mencakup tingkat penyusutan sumberdaya alam dan degradasi lingkungan hidup yang mungkin terjadi. Pengetahuan dan kesadaran memperhitungkan tingkat penyusutan dan degradasi lingkungan, seperti pada kasus kebutuhan dana reklamasi bekas galian tambang dapat mendorong perencana daerah mengatur intensitas dan pola eksploitasi sumberdaya alam di daerahnya.[36]
Perhitungan penyusutan sumberdaya alam karena eksploitasi, yang terjadi karena laju pemulihan sumberdaya alam lebih lambat dari laju eksploitasinya. Perlunya perhitungan tersebut, untuk mengetahui besaran dampak negatif pemanfaatannya yang tidak terukur. Dampak negatif yang tidak terukur tersebut selama ini tidak dihitung dalam penentuan besaran ukuran yang ada selama ini.[37]  
Dalam merealisasikan instrumen ekonomi lingkungan sebagai upaya pencegahan kerusakan lingkungan yang terus berlanjut, perlu adanya kesepakatan bersama tentang hidup sadar lingkungan sehingga dapat membangun semangat kebersamaan. Di dalam Pasal 42 dan 43 UUPPLH, berkait dengan instrumen ekonomi lingkungan hidup, pada intinya dimaksudkan untuk menumbuhkan kesadaran lingkungan bahwa pemerintah, pelaku usaha/bisnis, para konsumen, dan masyarakat merupakan bagian dari lingkungan hidup.
Tantangan ke depan khususnya di daerah, bagaimana menyadarkan semua pihak terutama pelaku usaha agar dapat melakukan usaha atau kegiatannya tanpa merasa dibebani dari penerapan instrumen ekonomi lingkungan tersebut, dan hendaknya dianggap sebagai bagian dari proses kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam namun baku mutu lingkungan hidup tidak terlampaui. Untuk itu perlu adanya pengaturan dan mekanisme standar operasional prosedur (SOP) yang jelas sebagai pedoman pelaksanaan instrumen ekonomi lingkungan hidup, sehingga dapat dilaksanakan dengan baik dan benar.
Pengaturan instrumen ekonomi lingkungan yang dapat diimplementasikan di daerah tentunya disesuaikan dengan kondisi masing-masing daerah. Instrumen ekonomi lingkungan dimaksud misalnya berkenaan dengan konsep mitigasi lingkungan, deposit atau uang jaminan, asuransi lingkungan, insentif dan/atau disinsentif, konsep perusak membayar. Model pengaturan instrumen ekonomi tersebut dapat dirancang dalam bentuk peraturan daerah, sedangkan SOP-nya dapat diatur dalam bentuk peraturan kepala daerah. Apabila materi muatan pengaturannya dilakukan dengan baik, artinya melalui proses kajian akademik terlebih dahulu, maka  instrumen ekonomi dimaksud dapat menjadi solusi alternatif bagi upaya penyelesaian dan atau sebagai instrumen untuk mengantisipasi terjadinya konflik dalam pengelolaan tambang dan pascatambang. Kajian akademik diperlukan agar jangan sampai instrumen ekonomi lingkungan tersebut melanggar peraturan lain, kepentingan ekonomi dan kepentingan sosial. Dengan pengaturan tersebut, maka penerapan instrumen ekonomi lingkungan akan memiliki payung hukum dan mempunyai kedudukan hukum yang jelas dan kuat sehingga dapat diimplementasikan.
Sejalan dengan pengaturan intrumen ekonomi lingkungan dalam UUPPLH, berikut ini dapat dideskripsikan beberapa instrumen ekonomi dimaksud yaitu:
1). Mitigasi lingkungan
Mitigasi lingkungan adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah atau menanggulangi dampak negatif lingkungan akibat adanya rencana atau pelaksanaan suatu kegiatan. Pada sektor pertambangan, mitigasi lingkungan dimaksudkan untuk mengurangi risiko negatif sebagai akibat dari aktivitas atau kegiatan pertambangan. Upaya yang dilakukan dapat melalui pembangunan sarana dan prasarana tertentu maupun melalui upaya penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi kemungkinan adanya gangguan, ancaman, dan bahaya.  Demikian juga dampak yang terjadi pascatambang, sudah harus diperhitungkan dan dipersiapkan upaya untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan persoalan yang timbul dan dihadapi oleh masyarakat, seperti konflik perebutan lahan bekas tambang, masyarakat yang kehilangan pekerjaan karena perusahaan tidak lagi beroperasi, roda perekonomian di wilayah sekitar tambang terhenti, lahan bekas tambang dan lingkungan sekitar wilayah operasi tambang rusak, dan sebagainya. Hal ini bila tidak diantisipasi sejak dini tentunya akan menimbulkan persoalan yang akhirnya terjadi konflik di masyarakat.
Untuk mencegah atau menanggulangi dampak negatif dapat menggunakan salah satu atau beberapa pendekatan lingkungan secara teknologi, sosial ekonomi maupun kelembagaan dan stakeholder. Mitigasi lingkungan melalui pendekatan teknologi adalah cara-cara atau penggunaan teknologi untuk menanggulangi dampak negatif lingkungan. Teknologi yang akan diterapkan oleh masyarakat harus mempertimbangkan kemampuan dan keahlian serta budaya setempat. Pendekatan sosial ekonomi budaya, merupakan langkah-langkah yang akan ditempuh dalam menanggulangi dampak lingkungan melalui upaya-upaya sosial atau tindakan yang bermotifkan sosial ekonomi misalnya melibatkan masyarakat di sekitar lokasi kegiatan untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan mitigasi lingkungan, memprioritaskan penyerapan tenaga kerja setempat dalam mitigasi lingkungan, menjalin interaksi sosial yang harmonis dengan penduduk sekitar. Pendekatan kelembagaan dan stakeholders adalah berupa mekanisme kelembagaan yang akan ditempuh dalam rangka menanggulangi dampak penting lingkungan, misal kerjasama dengan instansi yang berkepentingan dengan mitigasi lingkungan, pengawasan terhadap kinerja mitigasi lingkungan oleh instansi yang berwenang, pelaporan hasil mitigasi lingkungan secara berkala kepada pihak-pihak yang berkepentingan.[38]
Pemerintah daerah hendaknya dapat membuat regulasi terkait dengan mitigasi lingkungan ini. Hal ini penting mengingat dampak atau bencana lingkungan yang timbul dari aktivitas pertambangan ataupun pascatambang dapat saja terjadi dan tidak dapat diprediksi oleh siapapun. Sebagai contoh, bencana lingkungan lumpur Sidoarjo. Apabila tiap daerah telah memiliki regulasi yang mengatur SOP dan kebijakan lainnya yang dianggap penting sesuai dengan karakteristik dari masing-masing wilayah daerah, maka paling tidak dapat mengantisipasi berbagai kemungkinan dampak atau bencana yang mungkin terjadi, dengan demikian konflik pascatambangpun dapat diminimalisir.
2). Deposit atau uang jaminan
Penerapan instrumen ekonomi lingkungan berupa harus adanya deposit atau uang jaminan bagi setiap pelaku usaha pertambangan, sebagai persyaratan tambahan dari sistem perizinan, nampaknya perlu dipertimbangkan. Hal ini mengingat fakta yang sering terjadi, bahwa pasca kegiatan tambang, para pelaku usaha ada kecenderungan tidak lagi memperhatikan lahan bekas aktivitas tambang, yang tentunya rusak dan butuh rehabilitasi atau reklamasi. Deposit atau uang jaminan dimaksud merupakan dana yang akan digunakan untuk mengatasi persoalan tersebut.
Untuk itu, menerapkan kewajiban membayar deposit atau uang jaminan bagi setiap usaha yang berpotensi menimbulkan dampak lingkungan, patut dipertimbangkan sebagai pengembangan sumber dana lingkungan, selain pajak dan denda lingkungan.[39] Mekanisme pengaturan dan penerapannya membutuhkan regulasi yang dapat menjamin bahwa dana tersebut tidak akan disalahgunakan atau diselewengkan. Misalnya harus ada MOU antara tiga pihak yaitu perusahaan, pemerintah daerah dan bank yang ditunjuk. Besarnya dana yang menjadi jaminan bergantung pada estimasi penghitungan resiko lingkungan yang mungkin timbul dari aktivitas tambang tersebut, atau ditetapkan sebesar 5-10 % dari nilai total investasi. Dalam hal tidak terjadi kerusakan lingkungan dan masa operasi perusahaan telah berakhir maka dana tersebut tetap menjadi milik perusahaan.
3). Asuransi Lingkungan
Meningkatnya pembangunan yang berskala besar, serta tingkat penggunaan teknologi maju selalu disertai pula oleh risiko buruk terhadap lingkungan. Sebagaimana diketahui dengan meningkatnya pembangunan di berbagai sektor maka masalah lingkungan dapat dirasakan sebagai sebuah ongkos lingkungan. Berangkat dari hal tersebut, Daud Silalahi menyatakan bahwa sistem hukum lingkungan Indonesia telah mengakomodasi risiko lingkungan ke dalam hukum asuransi lingkungan. Asuransi lingkungan dipandang perlu untuk menjamin lingkungan yang kita miliki sekarang, untuk itu dibutuhkan kerja sama multi dan interdisiplin ilmu guna menciptakan berbagai macam model asuransi lingkungan di Indonesia. Pendekatan secara multi dan interdisipliner akan membawa pengaruh pada konsep hukum asuransi lingkungan berdasarkan hukum lingkungan.[40]
Lingkup dan prosedur penetapan jumlah perkiraan risiko lingkungan dapat dilakukan melalui model-model analisis ilmiah yang sudah berkembang sangat maju dan bersifat baku dalam ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini. Model analisis risiko lingkungan seperti Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) dan ERA (Ecological Risk Assesment) dapat mengukur kemungkinan dampak lingkungan yang bersifat negatif. Melalui model tersebut dapat diperkirakan seberapa jauh lingkup asuransi lingkungan yang dapat dijangkau oleh jasa asuransi di Indonesia. Hal tersebut juga dapat menjadi penunjang dalam menetapkan perkiraan jumlah ganti rugi dan menetapkan besaran harga polis asuransi sebagai dasar tanggungjawab perusahaan jasa asuransi.[41]
Berkait dengan kegiatan pertambangan, resiko lingkungan dapat terjadi  sewaktu-waktu tanpa dapat diramalkan sebelumnya, karena kelalaian, kealpaan, atau kesalahan dalam aktivitas pertambangan. Asuransi lingkungan focus pada instrumen dan proses untuk menjamin perlindungan dari aspek lingkungan. Asuransi lingkungan bertujuan untuk meminimalkan ancaman terhadap kehidupan manusia, melindungi sumberdaya alam, dan menjamin keseimbangan dalam ekosistem. Dalam jangka waktu lama dampak terhadap air tanah yang tercemar, udara, dan tanah, juga dampak sosial ekonominya tidak tercatat dan terkuantifikasi secara baik. Konsekuensi jangka panjang dari dampak skala besar tersebut sangat merusak ekosistem dan ekonomi lokal pada periode waktu yang tertentu. Perangkat dan teknik asuransi lingkungan saat ini belum banyak diketahui dan tersedia dengan baik.[42]
Oleh karena itu, terkait dengan aktivitas pertambangan di daerah, pemerintah daerah dan pelaku usaha pertambagan hendaknya mempertimbangkan resiko lingkungan tersebut dan segera mengambil suatu langkah kebijakan dengan melaksanakan dan atau mengikuti program asuransi lingkungan, sehingga dapat dipastikan siapa yang akan menangani resiko lingkungan berupa dampak negatif sebagai sumber konflik pertambangan dan pascatambang.  
4). Insentif dan disinsentif
Instrumen ekonomi lingkungan berupa penerapan insentif dan disinsentif,[43] dibutuhkan dalam rangka mengatasi persoalan pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup akibat dari aktivitas pertambangan. Instrumen ekonomi lingkungan dibutuhkan sebagai stimulus guna meningkatkan kepatuhan perusahaan tambang secara sukarela. Instrument ekonomi berupa insentif dan disinsentif itu merupakan instrumen yang bersifat melengkapi instrumen hukum berupa perintah, pengawasan, dan sanksi.
Insentif tersebut dapat berupa keringanan atau pembebasan pajak daerah, pengurangan atau pembebasan retribusi daerah, serta kemudahan dalam pengurusan dan penerbitan perizinan pada sektor pertambangan, khususnya yang berkaitan dengan upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup. Disinsentif  dapat berupa pemberlakuan denda atau pembayaran biaya lingkungan hidup tertentu dan publikasi negatif di media massa, bagi perusahaan dan pelaku usaha yang melanggar kewajiban untuk menaati peraturan yang terkait dengan bidang pertambangan dan lingkungan hidup.[44]
5). Prinsip Perusak Membayar (destroyer pays principle)
Konsep prinsip perusak lingkungan membayar (destroyer pays principle) ini diilhami oleh  prinsip pencemar membayar (polluter pays principle).[45] Pada prinsip pencemar membayar (polluter pays principle) mengharuskan pada pihak pelaku pencemaran membayar dan bertanggung jawab terhadap setiap kerusakan lingkungan yang terjadi akibat aktivitasnya, tidak peduli apakah  telah mengikuti standar lingkungan atau tidak. Prinsip ini sekarang telah berlaku secara universal. Prinsip pencemar membayar (polluter pays principle)  dalam implementasinya memerlukan dua pendekatan kebijakan yang berbeda[46]  yaitu command and control[47] dan market-based.[48]  Sedangkan prinsip perusak membayar (destroyer pays principle) menggunakan pendekatan pengaturan dan penerapan sanksi (bersifat represif dan eksekutorial).
            Dengan mengadopsi prinsip pencemar membayar (polluter pays principle), dalam konteks kajian ini konsep yang dikemukakan yaitu prinsip perusak membayar (destroyer pays principle). Adapun argumentasi  digunakan istilah “perusak” karena tindakan yang dilakukan oleh pelaku kegiatan atau usaha pada sektor pertambangan baik yang memiliki izin apalagi yang tidak memiliki izin, cenderung atau bahkan dapat dipastikan menimbulkan dampak kerusakan bagi lingkungan hidup yang sangat luar biasa, Ecocide.[49]
Oleh karena itu, bagi pelaku usaha yang memiliki izin, manakala aktivitas tersebut menimbulkan kerusakan lingkungan karena telah melampaui atau melanggar baku mutu kerusakan lingkungan yang ditetapkan,[50] maka kepada perusahaan tersebut harus dikenakan sanksi berupa membayar sejumlah uang (uang paksa/dwangsom), bukan denda administratif, yang ditetapkan oleh pemerintah (daerah), tanpa harus melalui proses persidangan (gugatan di pengadilan). Sanksi yang diberikan bersifat langsung, setelah dilakukan penghitungan oleh tim ahli (akuntan) tentang besarnya uang yang wajib dibayar yang setara dengan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.
Terhadap pelaku usaha yang tidak memiliki izin (PETI), tanpa harus mengkaji apakah telah melanggar baku mutu kerusakan atau tidak, maka kepada pelaku kegiatan tambang tersebut harus dikenakan kewajiban membayar uang paksa guna merehabilitasi lingkungan yang rusak akibat dari aktivitas tambang tersebut.[51] Selain itu, kepada pelaku juga dapat dikenakan sanksi yang lain sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Materi muatan dari pengaturan tentang prinsip perusak membayar (destroyer pays principle) ini dan mekanisme penerapannya, perlu dikaji terlebih dahulu dari berbagai aspek, agar tidak bertentangan dengan ketentuan lain dan sesuai dengan kewenangan kepada daerah, serta efektif dalam penerapannya.

C.    Kesimpulan dan Saran
1.      Kesimpulan
Berdasakan hasil kajian dapat disimpulkan:
a.       Instrumen ekonomi lingkungan hidup telah diatur dalam hukum positif  yaitu pada Pasal 42 dan Pasal 43 UUPPLH, pada Pasal 95 s/d Pasal 100, dan Pasal 145 Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba. Pengaturan instrumen ekonomi lingkungan  pada UUPPLH dan UU Minerba, masih bersifat umum, dan dibutuhkan pengaturan pelaksanaan lebih lanjut, selain itu pada tataran implementasinya hingga saat ini belum banyak dilakukan. Sedangkan Undang-undang No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi, Undang-undang No. 27 Tahun 2003 Tentang Panas Bumi, dan Undang-undang No. 30 Tahun 2007 tentang Energi secara eksplisit tidak mengatur intrumen ekonomi, namun bila dicermati asas dan tujuan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Migas, Pasal 2 dan Pasal 29 Undang-undang Panas Bumi serta Pasal 2 dan Pasal 21 ayat (1) Undang-undang Energi, maka salah satu instrumen untuk mewujudkannya dibutuhkan instrumen ekonomi lingkungan.
b.      Perspektif pengaturan instrumen ekonomi lingkungan di daerah melalui peraturan tingkat daerah sangat dimungkinkan, bahkan menjadi keharusan sesuai dengan karakteristik masing-masing daerah. Beberapa konsep terkait dengan instrumen ekonomi yang dapat dibuat regulasinya yaitu mitigasi lingkungan, deposit atau uang jaminan, asuransi lingkungan, insentif dan disinsentif, serta konsep perusak membayar (destroyer pays principle). Pengaturan dan efektivitas penerapan instrumen ekonomi dalam kebijakan pengelolaan pada sektor pertambangan diyakini dapat meminimalisir kerusakan lingkungan dan mencegah timbulnya konflik pascatambang.
2.      Saran
Instrumen ekonomi lingkungan merupakan salah satu instrumen penting dalam hukum lingkungan  yang dapat digunakan sebagai sarana kebijakan penegakan hukum lingkungan baik secara preventif  maupun represif. Agar instrumen dimaksud dapat efektif sebagai sarana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, maka perlu dukungan regulasi yang memadai baik pada tingkat pusat maupun daerah sebagai dasar legitimasi dalam penerapannya.
Daftar Pustaka

Adang P. Kusuma, Menambang Tanpa Merusak Lingkungan, artikel, Badan Geologi, Departemen Energi dan SumberDaya Mineral,  http://bulletin. penataanruang.net/ P.Kusuma.pdf., diunduh 9 Februari 2014.

Addinul Yakin, Ekonomi Sumberdaya dan lingkungan, Teori dan Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan, Akademika Presindo, Jakarta, 2005.

Daud Silalahi, Peran Asuransi Lingkungan dalam Pemberian Ganti Rugi bagi Masyarakat dan Pemulihan Lingkungan, Seminar Nasional, Unpad, Bandung,  http://www.unpad.ac.id/2012/09/asuransi-lingkungan-berperan-dalam-menjamin-lingkungan/, diunduh 15 Februari 2014.
Helmi, Hukum Perizinan Lingkungan Hidup, Sinar Grafika,  Jakarta, 2013.

H. Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, UII Press, Jakarta, 2007.

H. Salim, HS., Hukum Pertambangan Di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007.

Iskandar, Aktualisasi Prinsip Hukum Pelestarian Lingkungan Hidup Dalam Kebijakan Perubahan Peruntukan, Fungsi, dan Penggunaan Kawasan Hutan, Jurnal Dinamika Hukum. Vo. 11 No. 3, FH UNSOED, Purwokerto, 2011.
Iskandar, dkk., Pemetaan Kondisi Sosial (Social Mapping) Wilayah Ring I PT.  Pertamina Terminal BBM Pulau Baai Bengkulu, Laporan Hasil Kajian, LPPM UNIB., Bengkulu, 2013.
Muhamad Erwin, Hukum Lingkungan, Dalam Sistem Kebijakan Pembanguan Lingkungan Hidup, Refika Aditama, Bandung, 2008.
M. Ridha Saleh, Ecocide, Politik Kejahatan Lingkungan Hidup dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia, Walhi, Jakarta, 2005.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005.

Siahaan, NHT.,  Hutan, Lingkungan, dan Paradigma Pembangunan, Pancuran Alam, Jakarta, 2007.

Syukri Hamzah, Pendidikan Lingkungan, Refika Aditama, Bandung, 2013.

Takdir Rahmadi, Hukum Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun, Airlangga University Press, Surabaya, 2003

Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan Di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2011.


http://bangazul.com/asuransi-lingkungan/, diunduh 15 Februari 2014.
http://id.wikipedia.org/wiki/Proper, diunduh 15 Februari 2014.
http://www.eoearth.org/view/article/151316), diunduh 15 Februari 2014


*Artikel disampaikan pada acara SEMIRATA BKS Dekan FH PTN Wilayah Barat, di Universitas Bangka Belitung, 1 Maret 2014.
**Dosen Fakultas Hukum Universitas Bengkulu, Lektor Kepala Hukum Lingkungan.
[1] UUD 1945 Pasal 33 ayat (3).
[2] Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, kewenangan ketiganya dibagi ke dalam 31 urusan pemerintahan, termasuk di dalamnya kewenangan mengelola energi dan sumberdaya mineral.
[3] H. Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, UII Press, Jakarta, 2007, hlm. 111.
[4] Terjadinya gerakan tanah yang dapat menelan korban  harta, benda  dan nyawa, hilangnya daerah resapan air, rusaknya bentang alam, pelumpuran ke dalam sungai, erosi, jalan rusak, mengganggu kondisi air tanah, dan kubangan besar yang terisi air, mempengaruhi kehidupan sosial penduduk di sekitar lokasi tambang, Lihat  Adang P. Kusuma, Menambang Tanpa Merusak Lingkungan, artikel, Badan Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral,  http://bulletin. penataanruang.net/P.Kusuma.pdf., diunduh 9 Februari 2014.
[6] Lihat Ketentuan Pasal 1 angka 35, Pasal 33, Pasal 41, dan Pasal 56 UUPPLH, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan pada tanggal 23 Pebruari 2012.
[7] Ketentuan Pasal 36 UU No. 32 Tahun 2009 tentang UUPPLH, menetapkan bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki AMDAL atau UKL dan UPL, wajib memiliki izin lingkungan. Izin lingkungan diterbitkan berdasarkan keputusan kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 UUPPLH atau rekomendasi UKL-UPL. Izin lingkungan wajib mencantumkan persyaratan yang dimuat dalam keputusan kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL. Pasal 39 UUPPLH, permohonan izin lingkungan dan izin lingkungan wajib diumumkan, dan dilakukan dengan cara yang mudah diketahui oleh masyarakat.
[8] Lihat H. Abrar Saleng, op. cit., hlm. 211.
[9] Helmi, Hukum Perizinan Lingkungan Hidup, Sinar Grafika,  Jakarta, 2013, Hlm. 212.
[10] Posner (2001),  teori pendekatan ekonomi terhadap hukum, dapat menjadi acuan bagi pengembangan dan analisis hukum lingkungan,  dalam Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan Di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2011, hlm. 30. Lihat NHT. Siahaan, Hutan, Lingkungan, dan Paradigma Pembangunan, Pancuran Alam, Jakarta, 2007, hlm. 121-122. Lihat juga Addinul Yakin, Ekonomi Sumberdaya dan lingkungan, Teori dan Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan, Akademika Presindo, Jakarta, 2005, hlm. 138.
[11] Takdir Rahmadi, Hukum Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun, Airlangga University Press, Surabaya, 2003, hlm. 19.
[12] Karakteristik preskriptif  ilmu hukum yaitu mempelajari tujuan hukum, nilai keadilan,  validitas`aturan hukum, konsep hukum, dan norma hukum, Lihat Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005, hlm. 22.
[13] Lihat Pasal 1 Angka 33 UUPPLH.
[14] Pasal 42 ayat (1) UUPPLH.
[15] Pasal 42 ayat (2) UUPPLH
[16] Pasal 43 ayat (1) UUPPLH
[17] Pasal 43 ayat (2) UUPPLH
[18] Pasal 43 ayat (3) UUPPLH
[19] Lihat Pasal 25b Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal  dan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 
[20] Iskandar, dkk., Pemetaan Kondisi Sosial (Social Mapping) Wilayah Ring I PT.  Pertamina Terminal Bbm Pulau Baai Bengkulu, Laporan Hasil Kajian, LPPM-UNIB., Bengkulu, 2013.
[21] H. Salim, HS., Hukum Pertambangan Di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 6.
[22] Lihat ketentuan Pasal 29 Undang-undang Nomor 27 tahun 2003 Tentang Panas Bumi.
[23] Lihat Pasal 2 Undang-undang No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Minerba
[24] Pasal 3 ibid.
[25] Pasal 95, ibid.
[26] Pasal 96, ibid.
[27] Pasal 97, ibid.
[28] Pasal 98, ibid.
[29] Pasal 99 aya (1), ibid.
[30] Pasal 99 aya (2), ibid.
[31] Pasal 99 aya (3), ibid.
[32] Pasal 100 aya (1), ibid.
[33] Pasal 100 aya (2), ibid.
[34] Pasal 100 aya (3), ibid.
[35] Pasal 145 aya (1), ibid.
[37] Ibid.
[39]Model ini, menurut Rino, terbukti berhasil di sejumlah negara seperi Kanada (Super Fund), Amerika Serikat (Dedicated Fund), dan Belanda (Gedogen), http://www.hukumonline.com/ berita/baca/hol17276/, diunduh 15 Februari 2014.
[40] Daud Silalahi, Peran Asuransi Lingkungan dalam Pemberian Ganti Rugi bagi Masyarakat dan Pemulihan Lingkungan, Seminar Nasional, Unpad, Bandung,  http://www.unpad.ac.id/2012/09/asuransi-lingkungan-berperan-dalam-menjamin-lingkungan/, diunduh 15 Februari 2014. Lihat juga Pasal 43 (3) huruf f UUPPLH, PermenLH No. 18 Tahun 2009 Tentang Tata Cara Perizinan Limbah B3, yang mengharuskan  permohonan izin dan/atau rekomendasi pengelolaan limbah B3 dilengkapi salah satunya dokumen foto copy asuransi pencemaran lingkungan hidup.
[41] Ibid.
[42] Pengembangan asuransi lingkungan di Indonesia pernah diinisiasi oleh Bapedal dan Dewan Asuransi Indonesia (DAI) tahun 1994 (Bapedal, 1994). Pengembangan asuransi lingkungan dilatarbelakangi oleh beberapa penataan dan pengelolaan lingkungan hidup, khususnya pengendalian dampak lingkungan seperti (a) hasil Konvensi Rio de Janeiro 1992 tentang Agenda 21 yang memuat penerapan prinsip strict liability bagi pencemar dan perusak lingkungan, serta upaya untuk membentuk environmental liability trust fund bagi penerapan Polluter Pays Principle; dan (b) konvensi Maritim Pollution tahun 1987 yang menerapkan Jasa Asuransi Lingkungan sebagai sumber dan pengelola environmental liability trust fund (Bapedal, 1994)., http://bangazul.com/asuransi-lingkungan/, diunduh 15 Februari 2014.
[43] Syukri Hamzah, Pendidikan Lingkungan, Refika Aditama, Bandung, 2013, hlm. 28.
[44] Lihat ketentuan Pasal 43 Ayat (3) Huruf h UUPPLH, dan Permen LH No. 06 Tahun 2013  Tentang Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. Insentif dan disinsentif ini dalam praktik juga dikaitkan dengan program PROPER. PROPER merupakan Public Disclosure Program for Environmental Compliance, yaitu program penilaian peringkat kinerja perusahaan dalam pengelolaan lingkungan, http://id.wikipedia.org/wiki/Proper, diunduh 15 Februari 2014.
[45] Iskandar, Aktualisasi Prinsip Hukum Pelestarian Lingkungan Hidup Dalam Kebijakan Perubahan Peruntukan, Fungsi, dan Penggunaan Kawasan Hutan, Jurnal Dinamika Hukum. Vo. 11 No. 3, FH UNSOED, Purwokerto, 2011, hlm. 522-523.
[47] Stuart, R. (2013), Command and control regulation, Retrieved from http://www.eoearth.org/view/article/151316), diunduh 15 Februari 2014, Command and control" regulations focus on preventing environmental problems by specifying how a company will manage a pollution-generating process. This approach generally relies on detailed regulations followed up by an ongoing inspection program.
[48] Farber, S. (2006), Market-based instrument,  Retrieved from http://www.eoearth.org/view/article/154485, diunduh 15 Februari 2014, Market-based instruments are those that utilize economic incentives through processes that either explicitly mimic markets or explicitly alter market conditions as means of achieving environmental objectives and allow for some flexibility in how those objectives are met.  Instruments that alter market conditions directly would include imposition or removal of taxes or subsidies that change cost or demand conditions, or "Green Product" designations that change demand conditions.
[49] F.J. Broswimmer memaknai ecocide adalah tindakan terencana langsung maupun tidak langsung yang ditujukan untuk menguras dan menghancurkan serta memusnahkan eksistensi dasar ekologi dari sebuah tata kehidupan semua mahluk didalamnya. Ecocide is the killing of an ecosystem.,  lihat M. Ridha Saleh, Ecocide, Politik Kejahatan Lingkungan Hidup dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia, Walhi, Jakarta, 2005, hlm. 66-67.
[50] Muhamad Erwin, Hukum Lingkungan, Dalam Sistem Kebijakan Pembanguan Lingkungan Hidup, Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm. 76.
[51] Besarnya nilai ekonomi lingkungan rusak yang harus dibayar dapat dilakukan estimasi atau perhitungan dengan menggunakan metode perhitungan tertentu,  lihat Addinul Yakin, op.cit., hlm. 226-227.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar