IMPLEMENTASI NILAI-NILAI PANCASILA DAN UUD NKRI TAHUN 1945
DALAM PEMBENTUKAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
(Kajian Perspektif Regulasi Bidang Ekonomi, Sumberdaya Alam, dan
Lingkungan Hidup)
Oleh:
Iskandar
Abstrak
Peranan hukum dalam pembangunan ekonomi, pengelolaan sumberdaya
alam dan lingkungan hidup dalam era globalisasi dan modernisasi saat ini sangatlah
urgen. Hukum dapat menjadi sarana pembangunan yang menyejahterakan rakyat sekaligus
juga dapat menjadi sarana yang menyengsarakan rakyat, menghancurkan dan
memusnahkan sumberdaya alam dan merusak lingkungan hidup. Kajian singkat ini mendesripsikan
isu hukum yaitu bagaimana mengimplementasikan nilai-nilai substansial dari
Pancasila dan UUD 1945 dalam pengaturan bidang ekonomi, pengelolaan sumberdaya
alam dan lingkungan hidup. Kajian bersifat yuridis normatif. Dari hasil kajian
dapat disimpulkan bahwa pengaturan di bidang ekonomi, pengelolaan sumberdaya
alam dan lingkungan hidup harus mengaktualisasikan nilai substansial dari
Pancasila dan UUD 1945, yaitu suatu pembangunan hukum dengan mengimplementasikan asas kerakyatan atau kekeluargaan, rakyat ditempatkan pada posisi sentral, lebih memberi penekanan pada rule of moral
dari pada rule of law semata. Pengaturan pengelolaan sumberdaya alam
dan lingkungan hidup, lebih
memperhatikan etika bisnis, untuk mencegah terjadinya praktik monopoli, oligopoli,
kebijakan ekonomi yang mengarah kepada perbuatan kolusi,
korupsi, dan nepotisme, diskriminasi
yang berdampak negatif terhadap efisiensi dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan hidup, persaingan tidak sehat dan keadilan serta menghindarkan perilaku
menghalalkan segala cara dalam memperoleh kentungan.
Kata kunci: Implementasi, Nilai Pancasila dan UUD 1945, Ekonomi,
SDA dan LH.
IMPLEMENTASI NILAI-NILAI PANCASILA DAN UUD NKRI TAHUN 1945
DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
(Kajian Perspektif Regulasi Bidang Ekonomi, Sumberdaya Alam, dan
Lingkungan Hidup)
Oleh:
Iskandar
A. Pendahuluan
Indonesia sudah selayaknya harus mencermati dan
mengantisipasi adanya revolusi perdagangan internasional, karena sekarang ini
telah terjadi perubahan paradigma di bidang hukum ekonomi, pengelolaan SDA dan
lingkungan hidup. Sebelum adanya globalisasi ekonomi, pemerintah mempunyai kedaulatan penuh untuk mengubah maupun
membentuk perundang-undangan bidang ekonomi dan pengelolaan SDA[1],
namun sekarang ini kedaulatan tersebut sudah hilang terutama peraturan perundang-undangan
di bidang perdagangan, sumber daya alam, jasa, investasi, hak kekayaan
intelektual, dan ketentuan lainnya.
-------------------------------------
* Makalah pembanding, pada acara Seminar
Nasional dengan Tema “ Implementasi
Nilai-Nilai Pancasila Sebagai Dasar Negara Dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, yang diselenggarakan oleh MPR-RI bekerjasama dengan
UNIB, di Hotel Santika Bengkulu, 7 Juli 2015.
** Dosen Fakultas Hukum Universitas Bengkulu.
Ketika IMF masih bercokol di Indonesia, IMF sering
memaksakan pembentukan undang-undang sebagai salah satu syarat pencairan hutang.[2]
Pekerjaan rumit yang harus dikerjakan oleh kalangan pemikir bidang hukum (ekonomi)
yaitu bagaimana mengharmoniskan antara ketentuan hukum internasional, yang
merupakan alat negara maju untuk menguras devisa suatu negara, dengan
kepentingan masyarakat atau bangsa Indonesia yang sekarang dalam kondisi
miskin.
Sehubungan dengan globalisasi ekonomi
tersebut, perlu dilakukan pengembangan hukum (rechtsbeofening)[3]
secara terintegrasi dan berkelanjutan, sesuai dengan tatanan hukum nasional
(sistem hukum Indonesia) berdasarkan nilai yang terkandung dalam substansi
Pancasila dan UUD 1945. Pembangunan hukum adalah suatu pekerjaan yang sama
tuanya dengan pekerjaan pembangunan negara dan bangsa.[4]
Hadirnya undang-undang sebagai hukum tertulis melalui perundang-undangan dan
dalam proses peradilan sebagai yurisprudensi (judge made law) juga telah
lazim dikenal dalam dunia hukum, demikian pula halnya dengan bagian dari hukum Indonesia
yang saat ini semakin penting dan berpengaruh, yaitu hukum ekonomi yang daya
berlakunya di samping dalam lingkup nasional juga internasional.
Berkait dengan pengembangan hukum (harmoni
pembangunan hukum) sesuai dengan substansi Pembukaan UUD 1945, H.R. Otje Salman dan Anthon F. Susanto[5]
menjelaskan bahwa alinea pertama mengandung pokok pikiran tentang nilai
peri-keadilan, alinea kedua mengandung pokok pikiran tentang tujuan hukum yaitu
memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, yang tercermin dari kata adil dan
makmur. Alinea ketiga mengandung pemikiran religius yaitu nilai-nilai
ke-Tuhanan. Alinea keempat menjelaskan tentang Pancasila, yang secara
substansial merupakan konsep yang luhur dan murni. Luhur karena mencerminkan
nilai-nilai bangsa yang diwariskan turun-temurun dan abstrak. Murni karena
kedalaman substansi yang menyangkut beberapa
aspek pokok, baik agamis, ekonomi, ketahanan, sosial dan budaya yang
memiliki corak partikular. Pancasila secara konsep dapatlah disebut sebagai
suatu sistem tentang segala hal, karena secara konseptual seluruh yang tertuang
dalam sila berkaitan erat dan saling tidak dapat dipisahkan, suatu kedaulatan
yang utuh, yang bermuara pada nilai keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Kajian dalam tulisan ini dimaksudkan untuk
mendesripsikan bagaimanakah implementasi nilai substansial Pancasila dan UUD
1945 dalam pembentukan hukum, sebagai solusi bagi Indonesia dalam menghadapi
sistem ekonomi global sekaligus melestarikan sumberdaya alam dan fungsi lingkungan
hidup? Kajian bersifat yuridis normatif[6],
yaitu dengan mengkaji bahan hukum. Analisis bahan hukum dilakukan secara
yuridis kualitatif, kemudian dideskripsikan dan ditarik kesimpulan sebagai jawaban
atas isu hukum yang diangkat.
B. Pembahasan
Menurut Mubyarto, ciri-ciri
sistem ekonomi berdasarkan nilai Pancasila yaitu sebagai berikut: (1) Roda kegiatan ekonomi
digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial dan moral, (2) Ada tekad kuat
seluruh bangsa untuk mewujudkan kemerataan sosial, (3) Ada nasionalisme
ekonomi, (4) Koperasi merupakan sokoguru ekonomi nasional, dan (5) Ada
keseimbangan yang selaras, serasi, dan seimbang dari perencanaan ekonomi dengan
pelaksanaannya di daerah.[7]
Berkaitan dengan hal itu Sri Edi
Swasono menyatakan, membangun ekonomi rakyat memang memerlukan
‘pemihakan’, suatu sikap ideologis yang memihak untuk memuliakan kedaulatan
rakyat. Namun dalam membangun ekonomi rakyat, pemihakan bukanlah satu-satunya
justifikasi. Pembangunan ekonomi rakyat memang merupakan suatu strategi yang
tepat untuk mengembangkan perekonomian nasional yaitu suatu strategi
meningkatkan produktivitas rakyat (rakyat menjadi asset nasional) dan utilisasi
efektif sumber daya yang tersedia, sebagai suatu strategi grassroots-based sekaligus
resources based. Lebih dari itu, membangun ekonomi rakyat merupakan
salah satu ujud mendasar pelaksanaan pendekatan partisipatori dan emansipatori
yang dituntut oleh paham demokrasi ekonomi.[8]
Keberpihakan terhadap suatu sistem hukum sangat penting karena akan mempengaruhi kualitas
hukum di bidang ekonomi, pengelolaan sumber daya alam, dan lingkungan hidup yang akan dibangun ke depan. Dalam hal ini
menurut Sunaryati Hartono,
sistem ekonomipun harus juga mendukung pembangunan sistem hukum secara positif,
agar sistem hukum itu dapat lebih mendukung pembangunan sistem ekonomi
nasional. Selama ini sistem pengelolaan ekonomi dan sumberdaya alam Indonesia yaitu sistem yang bersifat
kapitalis ‘malu-malu’ (maksudnya malu-malu diakui oleh pemerintah) sehingga
peraturan perundang-undang bidang ekonomi dan pengelolaan sumber daya alam
lebih banyak yang mengabdi pada konglomerasi dibanding pada rakyat kecil
(petani, nelayan, usaha kecil, dst).[9]
Untuk menetapkan sistem ekonomi dan pengelolaan SDA yang berdasarkan nilai Pancasila sebagai sistem
hukum ekonomi dan pengelolaan SDA Indonesia memang tidak mudah, karena selama
ratusan tahun telah diterapkan sistem hukum
yang berkualitas liberal atau mengabdi pada kepentingan negara kapitalis.
Sebenarnya setiap produk peraturan perundang-undangan khususnya bidang ekonomi dan SDA sudah mencantumkan
Pasal 33 UUD 1945 sebagai dasar hukum, namun demikian ketentuan
materi muatan yang ada di dalam perundang-undang
tersebut belum secara konsisten senafas dengan amanat konstitusi sebagaimana
dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945. Bahkan tidak jarang isi pasal-pasalnya
justru bertentangan. Pekerjaan besar ke depan bagi pembuat undang-undang yaitu bagaimana agar
secara konsisten mampu merealisasikan amanah Pembukaan UUD 1945, misalnya yang
berkaitan dengan, ‘Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” dalam setiap peraturan
perundang-undangan bidang ekonomi dan pengelolaan SDA dan lingkungan hidup. Dengan adanya ketegasan ini
di harapkan dalam rangka pembangunan hukum ekonomi Indonesia terkait dengan pengelolaan SDA dan upaya
menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dapat menghasilkan peraturan perundang-undangan yang
tidak hanya mengabdi pada pasar bebas dan merespon keinginan konglomerat, modal asing atau
perusahaan transnasional, tapi lebih mengutamakan asas kekeluargaan untuk
kemakmuran rakyat Indonesia.
Pembangunan hukum yang bersifat revolusioner yaitu mengubah secara sadar dan
mendasar sistem hukum ekonomi dan pengelolaan sumber daya alam yang selama ini
berkualitas ‘liberal’ dan di bawah kendali negara maju menjadi sistem hukum
ekonomi dan
pengelolaan sumber daya alam serta lingkungan hidup yang berkualitas
‘kekeluargaan atau ‘kerakyatan’[10], sebagaimana tertuang dalam nilai Pancasila dan
Pasal 33 UUD 1945. Sistem Hukum Ekonomi yang berkualitas ‘kekeluargaan’ atau
‘kerakyatan’, ini sebenarnya juga merupakan sistem hukum yang tidak sekedar
mengandalkan pada rule of law tapi lebih menaruh perhatian pada rule
of moral atau rule of justice.[11] Sistem hukum tersebut kemudian diintegrasikan
secara timbal balik dengan sistem ekonomi Pancasila. Hal ini penting, karena
Pancasila merupakan Bildung[12],
merupakan roh historis bangsa, yaitu untuk mengenal dirinya lebih dalam dan
mengaktualkannya dengan pemahaman yang universal.
Strategi pembangunan produk hukum di Indonesia perlu juga memperhatikan konsep
pembangunan hukum ekonomi dan pengelolaan sumber daya alam secara
berkelanjutan, yaitu melakukan pembangunan tidak lagi sekedar melakukan ‘bongkar pasang’
pasal-pasal dalam suatu undang-undang atau pembuatan undang-undang baru saja,
tapi juga memperhatikan dan memberdayakan daya dukung aspek yang lain, yaitu:[13]
1) pendidikan hukum, 2) reformasi substansi hukum, 3) mekanisme penyelesaian
sengketa yang berwibawa dan efisien; 4) pemberdayaan etika bisnis, 5)
menumbuhkan jiwa nasionalis pada anggota Legislatif; 6) komitmen presiden dan wakil
presiden, yang aktifitasnya dilakukan secara kait mengkait, bersama-sama, dan
terus menerus saling dukung mendukung.
Perancang undang-undang, baik di tingkat pusat maupun daerah, harus mampu
mengakomodasi ‘tarikan ke bawah dan ke atas’ pada sistem hukum yang sekarang
terjadi di Indonesia, yang kemudian secara cerdas diramu dengan nilai-nilai
substansial Pembukaan UUD 1945 dan ketentuan Pasal 33 (3) UUD 1945.[14] Kalau pembuat
undang-undang berhasil melakukan langkah tersebut, produk peraturan bidang
ekonomi khususnya terkait dengan pengelolaan SDA tidak saja mampu mengantisipasi tren perdagangan
internasional dan mengakomodasi kepentingan daerah, tapi juga mampu merealisisasikan amanat konsitusi
agar pertumbuhan ekonomi itu digunakan untuk kemakmuran rakyat, bukan mengabdi
pada kepentingan asing maupun konglomerat. Selama ini banyak ketentuan
perundang-undangan di bidang ekonomi yang terkait
dengan pengelolaan SDA dan lingkungan hidup hanya sekedar ‘mencantumkan ketentuan Pasal 33 UUD 1945 dalam pertimbangan
hukum dengan diselimuti kata ‘Mengingat’, tanpa secara konsisten
menindaklanjutinya dalam pasal-pasal atau dalam batang
tubuhnya, bahkan tidak jarang
ketentuan dalam pasal-pasal atau batang tubuh tersebut tidak sinkron dan bahkan bertentangan dengan Pembukaan
UUD 1945 khususnya alinea 4 dan Pasal 33 ayat (1), (2), (3), dan (4) UUD 1945.
C.
Penutup
1.
Simpulan
Konsep pembentukan peraturan
perundang-undangan dan atau pembangunan hukum Indonesia yang seharusnya dikembangkan saat ini yaitu konsep pembangunan hukum yang berdasarkan pada
nilai substansial dari Pancasila dan UUD 1945, termasuk di dalamnya nilai yang
terkandung dari masing-masing sila dari Pancasila yaitu suatu pembangunan hukum dengan
mengedepankan pada asas kerakyatan atau kekeluargaan, yang lebih memberi
penekanan pada rule of moral dari pada rule of law semata. Dalam
pemanfaatan SDA dan lingkungan hidup, lebih memperhatikan etika bisnis, karena dengan
etika bisnis diharapkan mampu mencegah terjadinya praktik monopoli, oligopoli,
kebijakan ekonomi yang mengarah kepada perbuatan KKN, diskriminasi yang berdampak negatif terhadap
efisiensi dalam pemanfaatan SDA dan lingkungan hidup, persaingan tidak sehat dan keadilan serta
menghindarkan perilaku menghalalkan segala cara dalam memperoleh kentungan.
Konsep ini bila diterapkan dengan konsisten dapat menjadi solusi bagi Indonesia
dalam menghadapi globalilasi (pasar bebas) dalam segala bidang termasuk menjaga pelestarian SDA dan fungsi lingkungan hidup.
2. Saran
Pembangunan hukum Indonesia harus dilakukan secara revolusioner dengan
menetapkan terlebih dahulu sistem hukum Indonesia yang mendasarkan nilai
substansial yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan nilai bildung dari budaya bangsa yaitu
Pancasila, sehingga mampu menghasilkan sistem hukum dalam pengelolaan
sumber-sumber ekonomi termasuk sumber daya alam dan lingkungan hidup, yang
tidak mengabdi pada negara maju dan perusaahaan transnasional, tapi lebih
berkualitas ‘kekeluargaan’ atau ‘kerakyatan’ atau mengabdi pada kepentingan
rakyat, atau sistem hukum yang tidak sekedar mengandalkan pada rule of law
tapi lebih menaruh perhatian pada rule of moral atau rule of justice.
Perlu dikembangkan konsep pembangunan hukum yang lebih otonom dan responsif dengan
konsep berpikir lebih holistik, integral dan berpandangan jauh ke depan,
sehingga dapat menghadapi berbagai tantangan permasalahan bangsa ke depan.
Melakukan pembangunan hukum dalam rangka pengembangan sistem hukum, tidak lagi
sekedar mengubah pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan, tapi juga hal yang
substansial dari pembangunan hukum
nasional itu sendiri, yaitu dengan
mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 secara nyata, bukan hanya
pada tataran asas tapi juga dalam penormaan materi muatan dalam batang tubuhnya.
DAFTAR PUSTAKA
Adi Sulistiyono, 2007, Pembangunan Hukum Ekonomi Untuk Mendukung
Pencapaian Visi Indonesia 2030,
Pidato Pengukuhan Guru Besar, UNS, Semarang.
H.R. Otje
Salman S., dan Anthon F. Susanto, 2007, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali, Refina Aditama, Bandung.
Huala Adolf, 1991, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Rajawali Pers, Jakarta.
Iskandar, Hukum dalam Era Globalisasi dan Pengaruhnya Terhadap Pembangunan
Ekonomi dan Pelestarian Lingkungan Hidup (Kajian Pengembangan Sistem Hukum
Indonesia Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945), Jurnal Konstitusi PKK FH Unib, ISSN : 1829 – 7706, Volume
IV, Nomor 1, Juni 2011, diterbitkan oleh Mahkamah Konstitusi RI.
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian
Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Satjipto Rahardjo,“Transformasi
Nilai-nilai dalam Pembentukan Hukum Nasional”, Majalah Badan Pembinaan
Hukum Nasional No. 2, 1996.
Soetandjo
Wignjoseobroto, 2002, Hukum
Paradigma, Metode, dan Parmasalahannya, Jakarta, ELSAM dan HUMA.
Sri Edi Swasono, 2002, Kompetensi dan Integritas Sarjana Ekonomi, Orasi Ilmiah Reuni Akbar FE-UNDIP, Penerbit Universitas Indonesia Press.
Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung.
[1] Lihat Huala Adolf dalam bukunya, Aspek-Aspek
Negara Dalam Hukum Internasional, Rajawali Pers, Jakarta, 1991, pada hlm. 51., bahwa Kedaulatan negara atas kekayaan alamnya,
diakui oleh dunia internasional sebagaimana diatur dalam resolusi Majelis Umum
PBB, 21 Desember 1952 yaitu tentang Prinsip “penentuan nasib sendiri ekonomi
setiap negara berkembang” (economic self-determination) ditegaskan bahwa
hak setiap negara untuk memanfaatkan kekayaan alamnya. Kemudian dalam resolusi
Majelis Umum PBB, 14 Desember 1962 dan 25 November 1966 serta 17 Desember 1973
tentang “kedaulatan permanan” (permanent sovereignty) terhadap kekayaan
alam di laut dan tanah di bawahnya dan di bawah perairan laut yurisdiksinya.
Dalam Covenant on Economic, Social and Cultural Right, 16 Desember 1966,
pada Pasal 1 ditegaskan tentang hak suatu negara (peoples) untuk memanfaatkan secara bebas kekayaan alamnya. Resolusi
Majelis Umum PBB tentang Permanent Sovereignty over Natural Resources
tahun 1974 dan Deklarasi tentang pembentukan Tata Ekonomi Internasional Baru
dan Piagam Hak-hak Ekonomi dan Kewajiban Negara (Charter of Economic Rigahts
and Duties of State) tahun 1974, yang menegaskan kembali kedaulatan negara
untuk mengawasi kekayaan alamnya, terutama bagi negara berkembang. Demikian
juga dalam Prinsip 21 dan 11 Declaration on the Human Environment dari
Konferensi Stockholm, 5-6 Juni 1972, yang menyatakan bahwa negara-negara
memiliki hak berdaulat untuk memanfaatkan kekayaan alamnya sesuai dengan
kebijaksanaan pengamanan dan pemeliharaan lingkungannya.
[2] Misalnya dalam letter
of intent 2002 mereka memaksakan dibentuknya Undang-undang Yayasan. Dalam letter
of intent 2003 mereka meminta amandemen Undang-undang No. 23 tentang 1999
tentang Bank Indonesia, lihat Erni Setyowati, et.al. Panduan Praktis Pemantauan Proses Legislasi, dalam Adi
Sulistiyono, Pembangunan Hukum
Ekonomi Untuk Mendukung Pencapaian Visi Indonesia 2030, Pidato Pengukuhan
Guru Besar, UNS, Semarang, 2007, hlm.13.
[3] Pengembanan hukum
adalah kegiatan manusia berkenaan dengan adanya dan berlakunya hukum di dalam
masyarakat. Kegiatan itu mencakup kegiatan membentuk, melaksanakan, menerapkan,
menemukan, meneliti, dan secara sistematik mempelajari dan mengarahkan hukum yang
berlaku itu. Pengembangan hukum itu dapat dibedakan ke dalam pengembanan hukum
praktikal dan pengembanan hukum teoritikal. Pengembanan hukum praktikal
terutama dijalankan oleh institusi bidang legislasi, badan peradilan, lembaga
bantuan hukum, dan administrasi pemerintahan pada umumnya. Sementara itu,
pengembanan hukum teoritis dilakukan oleh perguruan tinggi hukum. Lihat Iskandar,
Hukum dalam Era Globalisasi dan
Pengaruhnya Terhadap Pembangunan Ekonomi dan Pelestarian Lingkungan Hidup
(Kajian Pengembangan Sistem Hukum Indonesia Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945),
Jurnal Konstitusi PKK FH Unib, Volume IV, Nomor 1, Juni 2011, diterbitkan oleh
Mahkamah Konstitusi RI., hlm. 9.
[4] Soetandyo
Wignjosoebroto,
Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, diedit oleh Ifdhal Kasim, dkk.
Elsam dan HUMA, Jakarta, 2002, hlm 363.
[5] H.R.
Otje Salman S., dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum,
Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali, Refina Aditama, Bandung, hlm. 158.
[9] C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum
Nasional, Alumni, Bandung, 1991, lihat juga Iskandar, op.cit., hlm.
23.
[10] Pada tahun 1931 Mohammad
Hatta memunculkan istilah ‘perekonomian rakyat’ sebagai lawan dikotomis dari
‘perekonomian kolonial-kapital’ sebagai titik tolak paham strukturalismenya.
Hal ini senada dengan orienntasi kerakyatan yang menjiwai kemerdekaan Indonesia
untuk menggusur ‘Daulat Tuanku’ dan menggantikannya dengan ‘Daulat Rakyat’.
Perekonomian kolonial-kapital ini yang bermula dengan kolonialisme VOC dan
Hindia Belanda berikut cultuurstelsel serta pelaksanaan UU Agraria 1870, boleh
dibilang masih berkelanjutan (dalam wujud ekonomi kapitalistik dan konglomerasi
ekonomi) hingga saat ini, lihat Sri
Edi Swasono, dalam Iskandar, loc.cit.
[11] Konsep rule of moral atau rule
of justice. lihat Satjipto Rahardjo,
“Transformasi Nilai-nilai dalam
Pembentukan Hukum Nasional”, Majalah Badan Pembinaan Hukum Nasional No. 2, 1996., hlm. 28.
[14] Adi Sulistiono, Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar