Kamis, 20 Agustus 2015

IMPLEMENTASI NILAI-NILAI PANCASILA DAN UUD NKRI TAHUN 1945 DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN



IMPLEMENTASI NILAI-NILAI PANCASILA DAN UUD NKRI TAHUN 1945
    DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
(Kajian Perspektif Regulasi Bidang Ekonomi, Sumberdaya Alam,  dan Lingkungan Hidup)

Oleh:
Iskandar

Abstrak

Peranan hukum dalam pembangunan ekonomi, pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup dalam era globalisasi dan modernisasi saat ini sangatlah urgen. Hukum dapat menjadi sarana pembangunan yang menyejahterakan rakyat sekaligus juga dapat menjadi sarana yang menyengsarakan rakyat, menghancurkan dan memusnahkan sumberdaya alam dan merusak lingkungan hidup. Kajian singkat ini mendesripsikan isu hukum yaitu bagaimana mengimplementasikan nilai-nilai substansial dari Pancasila dan UUD 1945 dalam pengaturan bidang ekonomi, pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Kajian bersifat yuridis normatif. Dari hasil kajian dapat disimpulkan bahwa pengaturan di bidang ekonomi, pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup harus mengaktualisasikan nilai substansial dari Pancasila dan UUD 1945, yaitu suatu pembangunan hukum dengan mengimplementasikan asas kerakyatan atau kekeluargaan, rakyat ditempatkan pada posisi sentral, lebih memberi penekanan pada rule of moral dari pada rule of law semata. Pengaturan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup, lebih memperhatikan etika bisnis, untuk mencegah terjadinya praktik monopoli, oligopoli, kebijakan ekonomi yang mengarah kepada perbuatan kolusi, korupsi, dan nepotisme, diskriminasi yang berdampak negatif terhadap efisiensi dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan hidup, persaingan tidak sehat dan keadilan serta menghindarkan perilaku menghalalkan segala cara dalam memperoleh kentungan.

Kata kunci: Implementasi, Nilai Pancasila dan UUD 1945, Ekonomi, SDA dan LH.




IMPLEMENTASI NILAI-NILAI PANCASILA DAN UUD NKRI TAHUN 1945
DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
(Kajian Perspektif Regulasi Bidang Ekonomi, Sumberdaya Alam,   dan Lingkungan Hidup)

Oleh:
Iskandar

A.             Pendahuluan
Indonesia sudah selayaknya harus mencermati dan mengantisipasi adanya revolusi perdagangan internasional, karena sekarang ini telah terjadi perubahan paradigma di bidang hukum ekonomi, pengelolaan SDA dan lingkungan hidup. Sebelum adanya globalisasi ekonomi, pemerintah mempunyai kedaulatan penuh untuk mengubah maupun membentuk perundang-undangan bidang ekonomi dan pengelolaan SDA[1], namun sekarang ini kedaulatan tersebut sudah hilang terutama peraturan perundang-undangan di bidang perdagangan, sumber daya alam, jasa, investasi, hak kekayaan intelektual, dan ketentuan lainnya.

-------------------------------------
*  Makalah pembanding, pada acara Seminar Nasional dengan Tema “ Implementasi Nilai-Nilai Pancasila Sebagai Dasar Negara Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang diselenggarakan oleh MPR-RI bekerjasama dengan UNIB, di Hotel Santika Bengkulu, 7 Juli 2015.
** Dosen Fakultas Hukum Universitas Bengkulu.

Ketika IMF masih bercokol di Indonesia, IMF sering memaksakan pembentukan undang-undang sebagai salah satu syarat pencairan hutang.[2] Pekerjaan rumit yang harus dikerjakan oleh kalangan pemikir bidang hukum (ekonomi) yaitu bagaimana mengharmoniskan antara ketentuan hukum internasional, yang merupakan alat negara maju untuk menguras devisa suatu negara, dengan kepentingan masyarakat atau bangsa Indonesia yang sekarang dalam kondisi miskin.
Sehubungan dengan globalisasi ekonomi tersebut, perlu dilakukan pengembangan hukum (rechtsbeofening)[3] secara terintegrasi dan berkelanjutan, sesuai dengan tatanan hukum nasional (sistem hukum Indonesia) berdasarkan nilai yang terkandung dalam substansi Pancasila dan UUD 1945. Pembangunan hukum adalah suatu pekerjaan yang sama tuanya dengan pekerjaan pembangunan negara dan bangsa.[4] Hadirnya undang-undang sebagai hukum tertulis melalui perundang-undangan dan dalam proses peradilan sebagai yurisprudensi (judge made law) juga telah lazim dikenal dalam dunia hukum, demikian pula halnya dengan bagian dari hukum Indonesia yang saat ini semakin penting dan berpengaruh, yaitu hukum ekonomi yang daya berlakunya di samping dalam lingkup nasional juga internasional.
Berkait dengan pengembangan hukum (harmoni pembangunan hukum) sesuai dengan substansi Pembukaan UUD 1945, H.R. Otje Salman dan Anthon F. Susanto[5] menjelaskan bahwa alinea pertama mengandung pokok pikiran tentang nilai peri-keadilan, alinea kedua mengandung pokok pikiran tentang tujuan hukum yaitu memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, yang tercermin dari kata adil dan makmur. Alinea ketiga mengandung pemikiran religius yaitu nilai-nilai ke-Tuhanan. Alinea keempat menjelaskan tentang Pancasila, yang secara substansial merupakan konsep yang luhur dan murni. Luhur karena mencerminkan nilai-nilai bangsa yang diwariskan turun-temurun dan abstrak. Murni karena kedalaman substansi yang menyangkut beberapa  aspek pokok, baik agamis, ekonomi, ketahanan, sosial dan budaya yang memiliki corak partikular. Pancasila secara konsep dapatlah disebut sebagai suatu sistem tentang segala hal, karena secara konseptual seluruh yang tertuang dalam sila berkaitan erat dan saling tidak dapat dipisahkan, suatu kedaulatan yang utuh, yang bermuara pada nilai keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kajian dalam tulisan ini dimaksudkan untuk mendesripsikan bagaimanakah implementasi nilai substansial Pancasila dan UUD 1945 dalam pembentukan hukum, sebagai solusi bagi Indonesia dalam menghadapi sistem ekonomi global sekaligus melestarikan sumberdaya alam dan fungsi lingkungan hidup? Kajian bersifat yuridis normatif[6], yaitu dengan mengkaji bahan hukum. Analisis bahan hukum dilakukan secara yuridis kualitatif, kemudian dideskripsikan dan ditarik kesimpulan sebagai jawaban atas isu hukum yang diangkat.

B.     Pembahasan
Menurut Mubyarto, ciri-ciri sistem ekonomi berdasarkan nilai Pancasila yaitu sebagai berikut: (1) Roda kegiatan ekonomi digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial dan moral, (2) Ada tekad kuat seluruh bangsa untuk mewujudkan kemerataan sosial, (3) Ada nasionalisme ekonomi, (4) Koperasi merupakan sokoguru ekonomi nasional, dan (5) Ada keseimbangan yang selaras, serasi, dan seimbang dari perencanaan ekonomi dengan pelaksanaannya di daerah.[7] Berkaitan dengan hal itu Sri Edi Swasono menyatakan, membangun ekonomi rakyat memang memerlukan ‘pemihakan’, suatu sikap ideologis yang memihak untuk memuliakan kedaulatan rakyat. Namun dalam membangun ekonomi rakyat, pemihakan bukanlah satu-satunya justifikasi. Pembangunan ekonomi rakyat memang merupakan suatu strategi yang tepat untuk mengembangkan perekonomian nasional yaitu suatu strategi meningkatkan produktivitas rakyat (rakyat menjadi asset nasional) dan utilisasi efektif sumber daya yang tersedia, sebagai suatu strategi grassroots-based sekaligus resources based. Lebih dari itu, membangun ekonomi rakyat merupakan salah satu ujud mendasar pelaksanaan pendekatan partisipatori dan emansipatori yang dituntut oleh paham demokrasi ekonomi.[8]
Keberpihakan terhadap suatu sistem hukum sangat penting karena akan mempengaruhi kualitas hukum di bidang ekonomi, pengelolaan sumber daya alam, dan lingkungan hidup yang akan dibangun ke depan. Dalam hal ini menurut Sunaryati Hartono, sistem ekonomipun harus juga mendukung pembangunan sistem hukum secara positif, agar sistem hukum itu dapat lebih mendukung pembangunan sistem ekonomi nasional. Selama ini sistem pengelolaan ekonomi dan sumberdaya alam Indonesia yaitu sistem yang bersifat kapitalis ‘malu-malu’ (maksudnya malu-malu diakui oleh pemerintah) sehingga peraturan perundang-undang bidang ekonomi dan pengelolaan sumber daya alam lebih banyak yang mengabdi pada konglomerasi dibanding pada rakyat kecil (petani, nelayan, usaha kecil, dst).[9] Untuk menetapkan sistem ekonomi dan pengelolaan SDA yang berdasarkan nilai Pancasila sebagai sistem hukum ekonomi dan pengelolaan SDA Indonesia memang tidak mudah, karena selama ratusan tahun  telah diterapkan sistem hukum yang berkualitas liberal atau mengabdi pada kepentingan negara kapitalis.
Sebenarnya setiap produk peraturan perundang-undangan khususnya bidang ekonomi dan SDA sudah mencantumkan Pasal 33 UUD 1945 sebagai dasar hukum, namun demikian ketentuan materi muatan yang ada di dalam perundang-undang tersebut belum secara konsisten senafas dengan amanat konstitusi sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945. Bahkan tidak jarang isi pasal-pasalnya justru bertentangan. Pekerjaan besar ke depan bagi pembuat undang-undang yaitu bagaimana agar secara konsisten mampu merealisasikan amanah Pembukaan UUD 1945, misalnya yang berkaitan dengan, ‘Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” dalam setiap peraturan perundang-undangan bidang ekonomi dan pengelolaan SDA dan lingkungan hidup. Dengan adanya ketegasan ini di harapkan dalam rangka pembangunan hukum ekonomi Indonesia terkait dengan pengelolaan SDA dan upaya menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dapat menghasilkan peraturan perundang-undangan yang tidak hanya mengabdi pada pasar bebas dan merespon keinginan konglomerat, modal asing atau perusahaan transnasional, tapi lebih mengutamakan asas kekeluargaan untuk kemakmuran rakyat Indonesia.
Pembangunan hukum yang bersifat revolusioner yaitu mengubah secara sadar dan mendasar sistem hukum ekonomi dan pengelolaan sumber daya alam yang selama ini berkualitas ‘liberal’ dan di bawah kendali negara maju menjadi sistem hukum ekonomi dan pengelolaan sumber daya alam serta lingkungan hidup yang berkualitas ‘kekeluargaan atau ‘kerakyatan’[10], sebagaimana tertuang dalam nilai Pancasila dan Pasal 33 UUD 1945. Sistem Hukum Ekonomi yang berkualitas ‘kekeluargaan’ atau ‘kerakyatan’, ini sebenarnya juga merupakan sistem hukum yang tidak sekedar mengandalkan pada rule of law tapi lebih menaruh perhatian pada rule of moral atau rule of justice.[11] Sistem hukum tersebut kemudian diintegrasikan secara timbal balik dengan sistem ekonomi Pancasila. Hal ini penting, karena Pancasila merupakan Bildung[12], merupakan roh historis bangsa, yaitu untuk mengenal dirinya lebih dalam dan mengaktualkannya dengan pemahaman yang universal.
Strategi pembangunan produk hukum di Indonesia perlu juga memperhatikan konsep pembangunan hukum ekonomi dan pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan, yaitu melakukan pembangunan tidak lagi sekedar melakukan ‘bongkar pasang’ pasal-pasal dalam suatu undang-undang atau pembuatan undang-undang baru saja, tapi juga memperhatikan dan memberdayakan daya dukung aspek yang lain, yaitu:[13] 1) pendidikan hukum, 2) reformasi substansi hukum, 3) mekanisme penyelesaian sengketa yang berwibawa dan efisien; 4) pemberdayaan etika bisnis, 5) menumbuhkan jiwa nasionalis pada anggota Legislatif; 6) komitmen presiden dan wakil presiden, yang aktifitasnya dilakukan secara kait mengkait, bersama-sama, dan terus menerus saling dukung mendukung.
Perancang undang-undang, baik di tingkat pusat maupun daerah, harus mampu mengakomodasi ‘tarikan ke bawah dan ke atas’ pada sistem hukum yang sekarang terjadi di Indonesia, yang kemudian secara cerdas diramu dengan nilai-nilai substansial Pembukaan UUD 1945 dan ketentuan Pasal 33 (3) UUD 1945.[14] Kalau pembuat undang-undang berhasil melakukan langkah tersebut, produk peraturan bidang ekonomi khususnya terkait dengan pengelolaan SDA tidak saja mampu mengantisipasi tren perdagangan internasional dan mengakomodasi kepentingan daerah, tapi juga mampu merealisisasikan amanat konsitusi agar pertumbuhan ekonomi itu digunakan untuk kemakmuran rakyat, bukan mengabdi pada kepentingan asing maupun konglomerat. Selama ini banyak ketentuan perundang-undangan di bidang ekonomi yang terkait dengan pengelolaan SDA dan lingkungan hidup hanya sekedar ‘mencantumkan ketentuan Pasal 33 UUD 1945 dalam pertimbangan hukum dengan diselimuti kata ‘Mengingat’, tanpa secara konsisten menindaklanjutinya dalam pasal-pasal atau dalam batang tubuhnya, bahkan tidak jarang ketentuan dalam pasal-pasal atau batang tubuh tersebut tidak sinkron dan bahkan bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945 khususnya alinea 4 dan Pasal 33 ayat (1), (2), (3), dan (4) UUD 1945.

C.    Penutup
1.      Simpulan
Konsep pembentukan peraturan perundang-undangan dan atau pembangunan hukum Indonesia yang seharusnya dikembangkan saat ini yaitu konsep pembangunan hukum yang berdasarkan pada nilai substansial dari Pancasila dan UUD 1945, termasuk di dalamnya nilai yang terkandung dari masing-masing sila dari Pancasila yaitu suatu pembangunan hukum dengan mengedepankan pada asas kerakyatan atau kekeluargaan, yang lebih memberi penekanan pada rule of moral dari pada rule of law semata. Dalam pemanfaatan SDA dan lingkungan hidup, lebih memperhatikan etika bisnis, karena dengan etika bisnis diharapkan mampu mencegah terjadinya praktik monopoli, oligopoli, kebijakan ekonomi yang mengarah kepada perbuatan KKN, diskriminasi yang berdampak negatif terhadap efisiensi dalam pemanfaatan SDA dan lingkungan hidup, persaingan tidak sehat dan keadilan serta menghindarkan perilaku menghalalkan segala cara dalam memperoleh kentungan. Konsep ini bila diterapkan dengan konsisten dapat menjadi solusi bagi Indonesia dalam menghadapi globalilasi (pasar bebas) dalam segala bidang termasuk menjaga pelestarian SDA dan fungsi lingkungan hidup.

2.   Saran
Pembangunan hukum Indonesia harus dilakukan secara revolusioner dengan menetapkan terlebih dahulu sistem hukum Indonesia yang mendasarkan nilai substansial yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan nilai bildung dari budaya bangsa yaitu Pancasila, sehingga mampu menghasilkan sistem hukum dalam pengelolaan sumber-sumber ekonomi termasuk sumber daya alam dan lingkungan hidup, yang tidak mengabdi pada negara maju dan perusaahaan transnasional, tapi lebih berkualitas ‘kekeluargaan’ atau ‘kerakyatan’ atau mengabdi pada kepentingan rakyat, atau sistem hukum yang tidak sekedar mengandalkan pada rule of law tapi lebih menaruh perhatian pada rule of moral atau rule of justice.
Perlu dikembangkan konsep pembangunan hukum yang lebih otonom dan responsif dengan konsep berpikir lebih holistik, integral dan berpandangan jauh ke depan, sehingga dapat menghadapi berbagai tantangan permasalahan bangsa ke depan. Melakukan pembangunan hukum dalam rangka pengembangan sistem hukum, tidak lagi sekedar mengubah pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan, tapi juga hal yang substansial dari pembangunan hukum  nasional itu sendiri, yaitu dengan mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 secara nyata, bukan hanya pada tataran asas tapi juga dalam penormaan materi muatan dalam batang tubuhnya.


DAFTAR PUSTAKA


Adi Sulistiyono, 2007, Pembangunan Hukum Ekonomi Untuk Mendukung Pencapaian Visi Indonesia 2030, Pidato Pengukuhan Guru Besar, UNS, Semarang.

H.R.  Otje Salman S., dan Anthon F. Susanto, 2007, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali, Refina Aditama, Bandung.

Huala Adolf, 1991, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Rajawali Pers, Jakarta.

Iskandar, Hukum dalam Era Globalisasi dan Pengaruhnya Terhadap Pembangunan Ekonomi dan Pelestarian Lingkungan Hidup (Kajian Pengembangan Sistem Hukum Indonesia Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945), Jurnal Konstitusi PKK FH Unib, ISSN : 1829 – 7706, Volume IV, Nomor 1, Juni 2011, diterbitkan oleh Mahkamah Konstitusi RI.

Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Satjipto Rahardjo,“Transformasi Nilai-nilai dalam Pembentukan Hukum Nasional”, Majalah Badan Pembinaan Hukum Nasional No. 2, 1996.

Soetandjo Wignjoseobroto, 2002, Hukum Paradigma, Metode, dan Parmasalahannya, Jakarta, ELSAM dan HUMA.

Sri Edi Swasono, 2002, Kompetensi dan Integritas Sarjana Ekonomi, Orasi Ilmiah Reuni Akbar FE-UNDIP, Penerbit Universitas Indonesia Press.

Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung.


[1] Lihat Huala Adolf dalam bukunya, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Rajawali Pers, Jakarta, 1991, pada hlm. 51., bahwa Kedaulatan negara atas kekayaan alamnya, diakui oleh dunia internasional sebagaimana diatur dalam resolusi Majelis Umum PBB, 21 Desember 1952 yaitu tentang Prinsip “penentuan nasib sendiri ekonomi setiap negara berkembang” (economic self-determination) ditegaskan bahwa hak setiap negara untuk memanfaatkan kekayaan alamnya. Kemudian dalam resolusi Majelis Umum PBB, 14 Desember 1962 dan 25 November 1966 serta 17 Desember 1973 tentang “kedaulatan permanan” (permanent sovereignty) terhadap kekayaan alam di laut dan tanah di bawahnya dan di bawah perairan laut yurisdiksinya. Dalam Covenant on Economic, Social and Cultural Right, 16 Desember 1966, pada Pasal 1 ditegaskan tentang hak suatu negara (peoples) untuk memanfaatkan secara bebas kekayaan alamnya. Resolusi Majelis Umum PBB tentang Permanent Sovereignty over Natural Resources tahun 1974 dan Deklarasi tentang pembentukan Tata Ekonomi Internasional Baru dan Piagam Hak-hak Ekonomi dan Kewajiban Negara (Charter of Economic Rigahts and Duties of State) tahun 1974, yang menegaskan kembali kedaulatan negara untuk mengawasi kekayaan alamnya, terutama bagi negara berkembang. Demikian juga dalam Prinsip 21 dan 11 Declaration on the Human Environment dari Konferensi Stockholm, 5-6 Juni 1972, yang menyatakan bahwa negara-negara memiliki hak berdaulat untuk memanfaatkan kekayaan alamnya sesuai dengan kebijaksanaan pengamanan dan pemeliharaan lingkungannya.
[2] Misalnya dalam letter of intent 2002 mereka memaksakan dibentuknya Undang-undang Yayasan. Dalam letter of intent 2003 mereka meminta amandemen Undang-undang No. 23 tentang 1999 tentang Bank Indonesia, lihat Erni Setyowati, et.al. Panduan Praktis Pemantauan Proses Legislasi, dalam Adi Sulistiyono,  Pembangunan Hukum Ekonomi Untuk Mendukung Pencapaian Visi Indonesia 2030, Pidato Pengukuhan Guru Besar, UNS, Semarang, 2007, hlm.13.
[3] Pengembanan hukum adalah kegiatan manusia berkenaan dengan adanya dan berlakunya hukum di dalam masyarakat. Kegiatan itu mencakup kegiatan membentuk, melaksanakan, menerapkan, menemukan, meneliti, dan secara sistematik mempelajari dan mengarahkan hukum yang berlaku itu. Pengembangan hukum itu dapat dibedakan ke dalam pengembanan hukum praktikal dan pengembanan hukum teoritikal. Pengembanan hukum praktikal terutama dijalankan oleh institusi bidang legislasi, badan peradilan, lembaga bantuan hukum, dan administrasi pemerintahan pada umumnya. Sementara itu, pengembanan hukum teoritis dilakukan oleh perguruan tinggi hukum. Lihat Iskandar, Hukum dalam Era Globalisasi dan Pengaruhnya Terhadap Pembangunan Ekonomi dan Pelestarian Lingkungan Hidup (Kajian Pengembangan Sistem Hukum Indonesia Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945), Jurnal Konstitusi PKK FH Unib, Volume IV, Nomor 1, Juni 2011, diterbitkan oleh Mahkamah Konstitusi RI., hlm. 9.
[4] Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, diedit oleh Ifdhal Kasim, dkk. Elsam dan HUMA, Jakarta, 2002, hlm 363.
[5] H.R. Otje Salman S., dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali, Refina Aditama, Bandung, hlm. 158.
[6] Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 22.
[7] Iskandar, op.cit., hlm. 22.
[8] Sri-Edi Swasono, dalam Iskandar, ibid., lihat juga Adi Sulistiyono,  op.cit., hlm. 17.
[9] C.F.G. Sunaryati Hartono,  Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991, lihat juga Iskandar, op.cit., hlm. 23.
[10] Pada tahun 1931 Mohammad Hatta memunculkan istilah ‘perekonomian rakyat’ sebagai lawan dikotomis dari ‘perekonomian kolonial-kapital’ sebagai titik tolak paham strukturalismenya. Hal ini senada dengan orienntasi kerakyatan yang menjiwai kemerdekaan Indonesia untuk menggusur ‘Daulat Tuanku’ dan menggantikannya dengan ‘Daulat Rakyat’. Perekonomian kolonial-kapital ini yang bermula dengan kolonialisme VOC dan Hindia Belanda berikut cultuurstelsel serta pelaksanaan UU Agraria 1870, boleh dibilang masih berkelanjutan (dalam wujud ekonomi kapitalistik dan konglomerasi ekonomi) hingga saat ini, lihat Sri Edi Swasono, dalam  Iskandar, loc.cit.
[11] Konsep rule of moral atau rule of justice. lihat Satjipto Rahardjo, “Transformasi Nilai-nilai dalam Pembentukan Hukum Nasional”, Majalah Badan Pembinaan Hukum Nasional No. 2, 1996., hlm. 28.
[12] H.R. Otje Salman S., dan Anton F. Susanto, op.cit, hlm. 161.
[13] Lihat Adi Sulistiono, loc. cit.
[14] Adi Sulistiono, Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar